30 July 2009

Uang dan Kejayaan Sepakbola

Beberapa minggu belakangan ini, dunia sepakbola digemparkan dengan mega-transfer bintang Manchester United asal Portugal, CR7 (Cristiano Ronaldo), ke Real Madrid dengan nilai transfer 80 juta pound (130 juta dolar AS). Sebelumnya tim berjuluk Los Galacticos ini juga telah menggelontorkan uang untuk membeli pemain andalan AC Milan, Kaka', dengan nominal 56.3 juta pound. Selain itu, Karim Benzema dan Raul Albiol juga telah berhasil dilabuhkan ke Santiago Bernabeu, kandang Real Madrid, dalam waktu yang berdekatan. Fenomena Real Madrid kali ini, kembali mengingatkan kita akan era Los Galacticos jilid I yang berhasil mendatangkan Ronaldo, Luis Figo, Zinadine Zidane, dan David Beckham.

Suatu era baru kebangkitan yang dicanangkan oleh Perez (presiden direktur Real Madrid). Seperti yang kita ketahui, musim kompetisi yang lalu Real Madrid harus benar-benar mengakui ketangguhan rivalnya Barcelona yang mampu menyapu bersih 3 juara. Juara liga Spanyol, Piala Raja, dan juara liga Champions Eropa.


Sekali lagi, skenario kebangkitan Real Madrid diawali dengan dibukanya keran transfer besar-besaran. Mungkin Real Madrid merupakan salah satu contoh bagaimana uang menggerakkan suatu kapal besar klub sepakbola. Dalam beberapa tahun belakangan, kita tahu bahwa Chelsea juga melakukan hal yang sama berkat sokongan taipan minyak asal Rusia, Roman Abrhamovic. Inter Milan juga masuk dalam daftar klub yang sangat royal dalam urusan transfer pemain. Baru-baru ini juga klub asal Manchester, yaitu Manchester City mengikuti jejak beberapa klub besar yang menghabiskan uang untuk mendatangkan pemain-pemain bintang.

Pertanyaannya, apakah kebijakan transfer besar-besaran yang dilakukan relevan dengan prestasi yang didapatkan? Atau dalam bahasa ekonomi, apakah pengeluaran mereka sebanding dengan peneriman yang mereka dapatkan?

Mari kita ambil 3 klub besar sebagai sampel, yaitu Real Madrid, Inter Milan, dan Chelsea. Pertama, Real Madrid yang mengawali skenario Los Galacticos dengan mendatangkan beberapa bintang yang telah saya sebutkan di atas. Baik Zidane dan Figo bahkan merupakan pembelian terbesar Madrid pada era tersebut.

Mengutip dari Stefan Szymanski (Cass Business School, London), korelasi antara transfer pemain dengan peringkat klub di liga sebenarnya hanya sekitar 16% saja. Sebaliknya, pengeluaran untuk membayar gaji korelasinya cukup signfikan, sekitar 92%. Makin tinggi klub berani membayar pemainnya, biasanya makin tinggi pula peringkatnya di liga. Namun, berapa besar jumlah yang dibayarkan dalam bentuk transfer fee rasanya tidak terlalu memberikan kontribusi signifikan.(sumber: http://nofieiman.com/2009/06/the-economics-of-cristiano-ronaldo/)

Hal ini terlihat dari minimnya prestasi yang mereka dapatkan dalam kurun waktu lima tahun mereka hanya meraih dua prestasi, yaitu satu juara liga spanyol dan satu juara liga champions. Padahal di tim tersebut terdapat nama-nama besar seperti Zidane, Ronaldo, Figo, Beckham, dan Owen.

Kasus kedua, kita alamatkan kepada Inter Milan. Pengeluaran besar-besaran Massimo Moratti sejak tahun 1990an hanya terbalaskan dengan beberapa prestasi saja. Bahkan Inter termasuk tim yang sangat susah bersaing dengan AC Milan dan Juventus serta AS Roma pada saat itu. Kembalinya kejayaan Inter Milan sejak tahun 2005, ketika Juventus tersandung kasus Calciopolli yang berdampak pada hibah gelar scudetto kepada Inter Milan. Sejak saat itu, tim biru hitam mulai merajai Liga Italia. Namun, sekali lagi jika dibandingkan dengan apa yang telah dikeluarkan oleh mereka, penantian selama hampir 10 tahun merupakan hal yang amat ironis.

Sedikit berbeda dengan Chelsea, dua tahun pertama Roman Abrahmovic bisa dibilang sukses. Dua kali juara liga premier berturut-turut bisa dibilang sepadan dengan biaya transfer pemain yang telah dikeluarkan serta biaya transfer pelatih kontroversial Jose Mourinho. Namum, masalah yang kemudian muncul adalah pada tahun-tahun berikutnya yang mulai megindikasikan adanya penurunan kualitas dari tim biru tersebut.

Melihat beberapa kasus di atas, maka saya sedikit menambahkan bahwa permasalahan sebenarnya adalah keselarasan dan keharmonisan dalam tim tersebut. Adanya kata "bintang" yang didapatkan dari biaya transfer pemain, mengakibatkan adanya kesombongan tersendiri dari masing-masing pemain yang merasa dihargai tinggi. Sehingga kekompakan yang menjadi kunci sukses sebuah tim menjadi terabaikan.

Sebagai contoh, Barcelona musim 2008 yang berani melepas Ronaldinho dan Deco yang merupakan "bintang" mereka dalam beberapa tahun serta meletakkan Jose Pep Guardiola sebagai pelatih utama. Melepas "bintang" dan membangun kekompakan berbuah treble. Hal ini lah yang mungkin perlu dicontoh tim-tim besar yang sering kali mendatangkan pemain bintang dengan biaya yang wah. Namun, pada akhirnya tidak mampu menjangkau ekspektasi dari pendukung mereka.

Filosofi dari permainan tim memang terletak pada kerjasama dan kekompakan tim, bukan pada kebintangan seorang pemain kunci. Meskipun saya tidak memungkuri keberadaan pemain bintang memang dibutuhkan, namun apabila tidak mampu menyatukan tim malah menjadi bumerang yang malahan meruntuhkan tim.

Memang tidak selamanya uang mampu mendatangkan kejayaan khususnya dalam sepakbola.


No comments: