17 October 2013

Andi dan Kisah Takbirannya

Berapa berharga momen takbiran buat Anda? Apa artinya takbiran bagi Anda? Apakah ia hanya momen berpesta? Apakah ia hanya momen menabuh gendering? Apakah ia momen melakukan konvoi? Tentu tidak sekedar itu jika kalian bertanya pada Andi. Baginya takbiran lebih besar artinya dari sekedar itu. Ia menemukan makna baru dari sebuah takbiran sekitar 5 tahun yang lalu. Tepat setahun kepergian sang nenek, lengkap menutup kisah seorang cucu tanpa kakek dan nenek.
Lebaran Idul Adha pertama tanpa kakek dan nenek. Di situ ia mulai memikirkan sesuatu hal yang sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun terakhir setelah meninggalnya Sang Kakek. Tapi, baru saat itu tepat 5 tahun lalu ia memikirkan hal itu. Andi memiliki seorang paman tertua yang semenjak Sang Kakek meninggal dunia ditunjuk memimpin takbiran selepas Idul Adha di rumah keluarga besarnya. Suatu hal yang pasti terjadi itu adalah Sang Paman tidak pernah lancar memimpin takbir. Bukan karena ia tidak hafal atau tidak fasih, tapi karena ia selalu terisak sambil menangis ketika bertakbir. Andi dan sepupu-sepupu sebaya dan yang lebih muda jelas tidak paham akan hal itu. Bahkan seorang adik sepupu pernah iseng sekedar bertanya polos, “Paman kok cengeng, Ma?”
Andi muda belum paham dengan apa yang terjadi saat itu. Tahun berikutnya, mereka kedatangan adik Paman yang bertugas di luar kota. Sebuah kunjungan yang jarang terjadi mengingat letak kota tempatnya bertugas yang sangat jauh. 3 hari 3 malam perjalanan darat dan disambung dengan semalam menggunakan perahu. Sebuah kehormatan untuk memimpin takbiran pun dilimpahkan kepada beliau. Tanpa diduga-duga. Paman yang satu ini pun juga melakukan hal yang sama, terisak setiap kalimat takbir ia kumandangkan. Lagi-lagi hal ini terjadi di momen yang sama. Otak Andi mulai bertanya-tanya. Tapi, ia menyimpan pertanyaan itu dalam hati sambil terus mengikuti takbiran dan tentunya makan-makan setelahnya.
3 tahun kemudian hal itu masih terus terjadi. Pemandangan yang sama hingga Andi memberanikan diri menanyakan pada ibunya yang merupakan adik dari Si Paman. “Ma, paman kenapa selalu menangis kalau takbiran?”
Dengan bijak Si Ibu menjawab, “Dulu kakekmu semasa hidupnya yang memimpin takbiran setiap lebaran sejak mama kecil.”
Sebuah jawaban sederhana yang kemudian membuat Andi berpikir jauh ke belakang. Sosok ayah yang sangat melekat di ingatan Sang Anak. Itu kesimpulan sementara Andi. Betapa Sang Anak merindukan sosok ayah. Jawaban ini juga diperkuat oleh kalimat setelah Si Paman memimpin doa, “Abang ingat bapak duduk di sini memimpin takbir.” Nuansa haru pun terllihat di setiap wajah paman dan bibi Andi, bahkan di wajah sepupu-sepupu Andi yang mungkin ada beberapa yang tidak sempat bertemu Si Kakek.
Dua tahun berjalan, Si Paman dipanggil menemui ayah dan ibunya. Kejadian yang cepat dan tidak diduga-duga oleh keluarga besar Andi. Bahkan tetangga sekalipun yang pada waktu salat subuh berjamaah masih berjumpa dan berbincang-bincang dengan beliau. Kuasa Tuhan tiada berbatas, tiada yang bisa menyangkal datangnya maut. Sebuah perpisahan bagi keluarga besar Andi, tapi perjumpaan lagi bagi Sang Anak dengan orang tuanya.
Tahun ini karena paman pertama sudah meninggal, kemudian paman kedua berada di kotanya. Maka, adalah giliran paman ketiga yang memimpin takbiran. Hey, dan ternyata kejadian itu pun terjadi lagi. Sambil menahan tangis dan haru, gema takbir berkumandang di ruang tengah rumah kakek Andi. Setelah takbiran Si Paman berujar, “Aku ingat Abang yang memimpin takbir tahun lalu di sini.” Suasana haru pun menyelimuti keluarga besar Andi saat itu. Begitu dalam arti takbiran bagi mereka. Begitu dalam pula arti keluarga bagi mereka. Sekarang Andi tidak pada posisi memberikan kesimpulan sementara. Ia sudah pada kesimpulan akhirnya. Betapa mereka begitu mencintai keluarganya.
Mungkin umur tidak bisa ditebak, mungkin juga perpisahan tidak bisa ditolak, tapi cinta itu akan selalu ada bersama mereka yang memeluk erat cinta pada keluarganya. Ketika kita masih sempat untuk mencintai orang tua kita, saudara kita, kakek dan nenek kita, maka sayangilah mereka dan berikan yang terbaik bagi mereka. Tunjukkan pada mereka selagi kalian dapat bertatap muka bahwa kalian mencintai mereka dan ingin membahagiakan mereka. Sederhana kawan. Tidak lebih sulit dari sekedar memberi perhatian, keluarga tidak akan meminta banyak. Mereka hanya ingin yang terbaik buat kita, itulah kebahagiaan mereka. Bahagiakanlah mereka selagi kalian masih dapat menemuinya setiap hari.

Oleh D. Sudagung
18 Oktober 2013

12 October 2013

Karena Itu

Biarkan aku mencintaimu dan melihatmu berbahagia karena itu
Biarkan aku menyayangimu dan melihatmu tersenyum karena itu
Karena itulah bahagiaku dan
Karena itulah senyumanku

Sebuah tulisan pagi untukmu yang terdalam

Oleh D. Sudagung
13 Oktober 2013

Antara Tahun Ganjil dan Genap, Kisah 2008-2013

Berdasarkan statistik di  halaman blogger saya, muncul satu fenomena. Tulisan saya di setiap tahun ganjil selalu lebih banyak dibanding tulisan saya di tahun genap setelahnya. Kenapa? Fenomena apa yang terjadi di setiap tahun genap 8 tahun terakhir?

Secara garis besar tahun 2008 dan 2010 saya terlalu sibuk dengan seseorang (lebih tepatnya seseorang di masing-masing tahunnya). Merajut mimpi bersama kala itu. Menyusun rencana-rencana besar bersama. Hingga terlena dengan dunia mimpi itu dan lupa untuk menulis di dunia nyata. 2008 juga adalah masa awal saya menjelajahi kota ini, ya kota di mana semua mimpi saya di mulai. Tersesat di dunia khayal baru, menemukan dunia baru di luar sini, menemukan teman-teman baru, menemukan kami yang baru. Di tahun ini saya mulai menggantungkan mimpi. Mungkin itu satu alasan kenapa tulisan berhenti. Hanya alasan, tidak lebih dari itu. Bukan pembelaan atas kemalasan saya saat itu. Saya hanya terlena dan terlupa.

Sedangkan 2010, saya memulai mimpi yang baru. Mimpi dengan seorang yang baru. Mimpi dengan dia yang benar-benar berawal dari sebuah perjumpaan. Awal perkenalan kami yang entah dari mana jalannya kami bisa bertemu. Tuhan selalu punya misteri dalam setiap langkah-langkah kita. Di awali tidak saling mengenal sampai  dengan akhir tahun sebelum masuknya tahun 2010, hingga seperti kata saya kami mulai bermimpi bersama. Dunia saya saat itu hanya dia dan kami. Lagi-lagi terlupa akan dunia saya di tulisan-tulisan. Saya terlalu menikmati keindahan masa kami.

Di tahun genap ketiga, 2012, adalah masa merenungkan diri. Awal tahun yang buruk (atau baik) entah dari sudut pandang yang mana saya melihatnya. Biar Tuhan saja yang tahu jawabannya, karena jawaban manusia belum tentu setepat jawaban Sang Pencipta. Sesaat saya kuat saat itu, hingga bulan ketiga datang dan saya sadar saya sangat lemah. Bayang-bayang dia, bayang-bayang mimpi-mimpi kami selalu hadir. Entah  itu rasa bersalah atau itu rasa penyesalan yang datang. Seolah setiap sudut kota menertawakan saya. Jatuh dan bangun menyusun kembali hati yang saya hancurkan sendiri. Entah di hati itu nantinya akan muncul namanya atau kosong menyisakan ruang untuk sebuah nama yang baru. Di tahun ini, saya mengerti arti mencintai. Saat kita mencintai tanpa tahu cinta itu terbalas, dan yang kita tahu hanya mencintai. Bahkan ingin rasanya menghampiri cinta itu, tapi tak pernah bisa. Hey Braga simpan baik-baik kisah kami di hatimu.

Tapi, di tahun 2012 juga saya mengerti arti dari “tidak ada yang kebetulan di dunia ini”. Berharap bayangannya yang dulu pernah hadir digantikan oleh hati yang baru. Petunjuk itu datang di ibukota. Terlintas sebuah wajah yang dulu pernah saya kenal. Wajah yang sangat saya kenal dan orang itu ada di tanah kelahiranku. Lagi-lagi tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, perjumpaan itu terjadi di akhir Agustus. Senyumannya tidak berubah. Masih senyum yang dulu pernah ku intip dari jauh. Kini senyuman itu ada di hadapanku. Meskipun kala itu saya baru saja dihadang hujan yang begitu deras, tetapi senyumanmu begitu menghangatkan. Akhir tahun 2012 menjadi indah kembali karena senyuman itu. Aku kembali menyusun kepingan-kepingan terakhir pada tempatnya dan mulai menulis nama baru di hati. Perlahan, karena nama yang lama begitu lekat terukir. Tapi, aku yakin nama baru ini yang akan lebih lekat memeluk hatiku. Tahun ini juga adalah tahuun penuh petualangan. Hampir 7 tempat atau lebih yang saya datangi dalam setahun. Suatu hadiah yang baik dari Tuhan untuk menghibur hati yang tercecer.

Setelah tahun-tahun genap, saya kembali akan bercerita tentang tahun-tahun ganjil di antara tahun genap tersebut. Diawali dengan tahun 2009. Ini adalah tahun di mana momen terjatuh terkeras terjadi di tengah tahun. Tiada yang menyangka mimpi-mimpi itu hilang tertiup angin. Meskipun begitu keras kau memegangnya, ia pun melayang juga.  Pertama kalinya merasakan kepingan itu berserakan. Saat itulah saya merasa teman-teman selalu ada bahkan saat saya sempat melupakan mereka. Terima kasih kawan, terima kasih sabahat. Tidak ada keinginan menulis saat itu, hilang sudah terbawa angin. Yang ada hanya langkah yang ingin menikmati dunia. Tapi, Tuhan begitu baik dengan mempertemukan seseorang lagi. Seseorang yang asing dan benar-benar baru dalam kisah hidup saya. Orang yang tadinya hanya dikenalkan dan entah bisikan dari mana hingga aku berani membukakan hati untuknya. Awal yang baru untuk sebuah kisah yang baru di kota yang baru. Ini semua sangat baru di akhir tahun 2009. Awal baru bagi mimpi yang baru pula. Dari tiada menjadi ada, dan semua segera penuh akan kisahnya. Hidupku yang baru, dengan seseorang yang baru, dan kisah kami yang baru.

Tahun ganjil kedua adalah tahun 2011. Masa di mana kisah baru itu berada pada puncaknya. Saat ia berdiri di atas segala puncak kejayaan.  Dan benar kata pepatah, semakin tinggi pohon maka anginnya juga semakin kencang.Tahun ini juga sebagai pribadi saya berdiri pada suatu titik terberat dengan suatu amanah besar. Titipan besar dari Tuhan dan keluarga baru saya. Begitu banyak pelajaran yang saya dapat, hingga saya rasa ia layak dituliskan. Tidak hanya saya yang layak mendapatkan itu, tapi orang-orang yang membaca pun layak. Masa-masa penuh kesibukan, masa-masa saya merasa kembali tidur adalah kembali pada dunia mimpi dan tidak ingin cepat terbangun. Kisah hati ini juga mengalami pasang surutnya yang dengan sengaja dan tidak sengaja saya buat. Kesalahan saya yang merasa paling benar, tapi hatinya bisa memaafkan. Tahun ini adalah masa-masa menulis sejarah hidup saya, kami, dan kita.

Kini kita sampai pada tahun 2013. Tahun semua cerita berkumpul. Tahun di mana nyala api kecil di hati dinyalakan dua kali untuk kembali pada dunia menulis. Disertai lanjutan akhir tahun 2012 yang bahagia hingga ke awal tahun yang membangkitkan semangat. Jogja banyak menyimpan cerita. Tahun ini pula saya mengerti arti bersabar. Kadang-kadang sesuatu tidak akan selalu sesuai dengan keinginan kita. Kadang-kadang waktu tidak bisa diburu-buru karena keinginan kita. Kesalahan yang saya buat begitu besar harganya. Mengembalikan lagi masa-masa tersulit dengan hati yang sempat kosong. Tapi, kini biarkan waktu yang menjalankan perannya. Hati itu akan menemukan jalan pulang dengan sendirinya, tapi tidak dengan dipaksa. Kalau hati itu memang milik kita, maka ia akan kembali pada rumahnya.

Bagaimana akhirnya? Biar waktu yang menjawab.

Oleh D. Sudagung
13 Oktober 2013

11 October 2013

Buah Kesabaran

Buah kesabaran adalah ketenangan
Mungkin kau tadinya bukan orang yang bersabar
Selalu terburu-buru dalam langkahmu

Tapi, Tuhan dengan baik-Nya memaksamu berhenti, duduk, dan berdiam menyadari kesalahanmu
Ia tak ingin kau larut
Layaknya gula di dalam segelas air
Hilang wujudmu
Hilang dirimu

Tamparan terkeras itu hadir saat kau dibutakan dunia
Membuka lagi matamu kalau hidup tak sesempit dunia butamu
Hidup lebih terang dan berwarna
Tidak hanya gelap dan hitam

Oleh D. Sudagung
11 Oktober 2013

Namamu (Yang) Terukir di Hati

Semakin lama rasa ini menguat
Yang tadinya hanya sekadar ada
Kini mulai memenuhi hati
Pelan tapi pasti kamu hadir dalam hidupku

Penuh tawa serta sedih
Begitupun bahagia dan amarah
Satu per satu mereka temani hari-hariku denganmu

Aku tak kan berbohong untuk sekedar membuatmu tersenyum
Karena senyumanmu yang tulus telah membuatku jatuh hati
Pada hatimu, pada dirimu
Sekarang namamu (Yang) terukir di hati

Oleh D. Sudagung
29 September 2013

Cinta dan Setia

Cinta itu harus ditempa dengan timah panas dengan palu besi
Maka, cinta itu menjadi pedang terbaik
Cinta itu harus dirawat dengan air dan pencahayaan yang baik
Maka, ia menjadi bunga terbaik

Ia harus melalui rintangan sebelum ia mencapai puncaknya
Tiada cinta tanpa ujian
TIada kesetiaan tanpa cinta
Mereka saling berpadu dalam hidup

Oleh D. Sudagung
29 September 2013

Tiada Berbohong

Semakin lama diam
Rasa itu makin kuat
Hanya mampu menatap kata
Walau muka tiada bertemu

Aku tahu hati memang tiada berbohong
Hati ini merindumu

Oleh D. Sudagung
29 September 2013

Langkahku di Pagi Hari

Menelusuri kota di pagi hari
Saat mentari masih tersenyum manja
Dan udara pagi begitu lekat memelukku
Sesekali burung dan serangga bernyanyi

Oleh D. Sudagung
28 September 2013

Tanpa Syarat

Cinta itu tiada diduga
Tapi dia ada
Meski kau hanya menjaganya dalam diam tanpa memilikinya
Biarkan ia tiada dalam ada dan kamu ada dalam tiada
Cinta tidak akan memaksakan logikamu
Ia menerima cintanya
Untuk berbahagia atas kebahagiaan cintanya
Cinta tulus tanpa syarat

Oleh D. Sudagung
12 September 2013

Sedikit Ujian, Beberapa Hambatan

Tuhan memberikan cinta pada saat yang tepat
Sedikit ujian, beberapa hambatan untuk memastikan cinta itu tepat
Cinta yang memberikan bahagia
Bukan cinta yang membenci

Kini indah saat ku melihatmu
Mencintaimu jadi anugerah terbaik dari Tuhan

Oleh D. Sudagung
25 September 2013

Kaki Kita

Biarkan saja kaki kita melangkah
Karena mungkin jika kita berjodoh langkah kita akan beririsan
Entah itu kapan dan pada titik yang mana
Biarkan ia menjadi rahasia Sang Waktu

Kaki kita hanya mampu melangkah
Bukan ia yang tentukan pertemuan
Tapi waktu dan takdir yang sudi mempertemukan

Tiada pertemuan tanpa waktu
Begitu pun pertemuan tak kan ada tanpa takdir

Oleh D. Sudagung
13 September 2013

09 October 2013

“Masihkah Anda Tidak Mengenakan Helm Saat Berkendara?”

Kalimat judul di atas bukan kalimat promosi dari petugas kepolisian. Kalimat itu adalah satu pertanyaan besar yang muncul setelah dua pertanyaan besar saat melihat orang-orang yang naik sepeda motor tidak mengenakan helm.

Pertanyaan pertama, “Kenapa tidak memakai helm?” Jawaban yang paling sering dijawab, “Kan gak ada polisi.”, “Kan dekat.”, dan rentetan alasan (jawaban) yang seolah membenarkan naik sepeda motor tanpa mengenakan helm.

Pertanyaan kedua, “Kalau kecelakaan bagaimana?” Biasanya orang-orang yang seperti ini saya apresiasi dengan keyakinannya akan Tuhan yang tinggi. Jawaban yang paling sering keluar adalah, “Umur di tangan Tuhan, siapa yang tau.” dan sejenisnya.

Kedua tanya jawab sederhana ini merupakan anekdot dari fenomena enggannya masyarakat mengenakan helm saat berkendara. Walaupun saya tidak bisa menyatakan hasil tanya jawab ini dapat mewakili jawaban orang-orang yang enggan mengenakan helm. Tapi, inilah cuplikan realita yang ada di sekeling kita. Silahkan buktikan dua pertanyaan ini!

Inti dari tulisan ini bukan membahas kenapa mereka enggan atau tidak. Tapi adalah pertanyaan yang akan selalu muncul setelahnya, “What will happen next?” Sebelum itu, saya rasa peristiwa tadi pagi cukup menyadarkan saya dan menambah rasa percaya saya bahwa memakai helm itu penting.

Di kampus saya, tepatnya di depan atm centre terjadi kecelakaan. Sebuah motor yang hendak lurus tiba-tiba ditabrak oleh mobil yang datang dari sebelah kanan. Seolah mobil itu tidak melihat ada motor di sebelah kirinya dan langsung banting stir hendak merapat ke kiri jalan. Alhasil, terlemparlah pengendara sepeda motor sekitar 2-3 meter dari tempat dia tertabrak. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan ini.
Biar saya jelaskan lokasi kecelakaan ini. Di depan atm centre adalah tempat yang tidak terlalu padat kendaraan. Di seberangnya terdapat shelter angkot gratis kampus. Cenderung banyak mahasiswa pejalan kaki yang lalu lalang. Yang artinya pengendara sepeda motor atau mobil tidak akan memacu kendaraannya di daerah tersebut. Ditambah lagi kejadian ini terjadi sekitar pukul 09.00. Jam masuk kuliah buat kebanyakan mahasiswa. Bahkan kedua kendaraan yang mengalami kecelakaan, baik mobil maupun motor, tidak dalam keadaan melaju kencang.

Yang dapat kita tarik hikmahnya adalah celaka atau musibah tidak hanya terjadi saat Anda berkendara dengan kencang. Tapi, bisa saja datang saat Anda merasa tenang-tenang saja.
Satu hal yang terkait dengan judul di atas adalah pengendara sepeda motor menggunakan helm. Bayangkan oleh Anda, saat ia tidak mengenakan helm. Mungkin tadi saya dan beberapa orang di sekitar situ sudah menggotong badannya supaya bisa dibawa ke rumah sakit terdekat menggunakan mobil.

Bayangkan juga dalam kecelakaan yang sama jika salah satu pengendara melaju dengan kencang dan yang naik motor tidak menggunakan helm.Dengan memakai helm, kita sudah mengurangi dampak dari kecelakaan tersebut khususnya melindungi bagian kepala. Atau bayangkan jika kecelakaan ini terjadi di jalan raya yang padat dan yang naik motor tidak menggunakan helm. Di tempat yang sepi saja bisa terjadi kecelakaan, apalagi di tempat yang padat. Lengah sedikit nyawa bisa melayang, ditambah lagi tidak mengenakan helm.

Mungkin ada yang mengatakan pada saya, “Takdir orang siapa yang tahu.” Tapi, ingat satu hal kita diberikan akal untuk berpikir supaya setidaknya kita bisa berusaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau setidaknya meminilasir efek dari kecelakaan itu sendiri. Setidaknya kita sudah berusaha dan tidak berlaku sombong dengan sok jago anti pakai helm. Saya juga teringat salah satu kalimat himbauan dari polisi, “Ingat keluarga menanti di rumah.” Mungkin kecelekaan itu terjadi hanya pada diri kita, tapi apakah kita juga memikirkan nasib keluarga kita di rumah saat mendengar kabar tersebut? Harus ikut menanggung biaya pengobatan atau malah pemakaman? Atau kita sudah tidak peduli lagi dengan senyuman keluarga kita?

Barulah kemudian akan muncul pertanyaan di judul tulisan ini, “Masihkah Anda Tidak Mengenakan Helm Saat Berkendara?”

Oleh Adityo D. Sudagung
10 Oktober 2013

05 October 2013

Cita-citanya (Mau) Berqurban

Tidak terasa minggu depan sudah masuk tanggal 10 Zulhijjah, alias hari Raya Idul Adha. Suatu kewajiban bagi orang-orang yang mampu adalah berhaji. Terus, bagaimana buat orang yang ingin berhaji tapi tidak mampu? Pilihannya ada dua, menabung untuk haji dan berqurban. Saya ingin sedikit cerita untuk poin kedua.

Berqurban adalah ibadah yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim. Beliau diminta menyembelih anaknya, Nabi Ismail. Namun, karena keikhlasan keduanya, Allah mengganti Nabi Ismail sesaat sebelum disembelih dengan qibas (sejenis domba atau kambing). Sejak saat itu umat islam dianjurkan berqurban pada hari tasyrik (10,11,12,13 Zulhijjah).
Saya merujuk pada tulisan di salah satu website, yaitu http://www.fimadani.com/7-hikmah-dan-keutamaan-qurban-idul-adha/ mengenai 7 hikmah dan keutamaan Qurban Idul Adha. Saya tidak akan banyak menjelaskan mengenai hal ini. Tapi, lebih pada ide bagaimana berqurban?
Ide ini muncul pada tahun 2010 saat saya masih berstatus mahasiswa semester 5. Saya terinspirasi dari datangnya hari raya Idul Adha. Sebenarnya ide awal saya adalah menabung untuk keperluan mendadak. Tapi, ternyata ketika teringat bahwa setiap tahun ada momen untuk berqurban. Kenapa tidak saya menabung untuk berqurban? Ide itu adalah 1 hari Rp 5.000,00. Sederhana, sisihkan uang Rp 5.000,00 setiap hari. Kenapa Rp 5.000,00? Karena saat itu saya berpikir ini nominal yang paling logis buat anak kosan.

Kita lanjutkan dengan hitung-hitungan yang didapat. Jika sebulan diasumsikan 30 hari, maka sebulan kita mendapatkan Rp 150.000,00/bulan. Kemudian kita kalikan 12, maka kita dapatkan uang Rp 1.800,000,00/tahun. Uang setahun itu sudah cukup untuk kita berqurban satu ekor kambing. Baru-baru ini saya mensurvei harga kambing di beberapa website yang menyediakan jasa penyaluran qurban. Rata-rata harga kambing adalah 1,2-2 juta rupiah, yang artinya kita (insyallah) bisa berqurban.

Saya sendiri sebenarnya sedikit terlena dengan ide ini, jujur saja saya hanya mengingat itu tanpa punya usaha yang kuat untuk melakukannya. Baru sejak tahun 2013 ini saya meniatkan bahwa tahun depan, saya ingin berqurban menjalankan perintah Allah. Amin.

Kalau kita lihat di tv, beberapa orang yang tidak mampu saja bisa menabung untuk berangkat haji. Berangkat haji yang membutuhkan uang puluhan juta saja mereka-mereka yang tidak semampu kita bisa, kenapa kita yang mampu untuk sekedar berqurban tidak bisa? Ini adalah salah satu tamparan terkeras buat saya untuk mengusahakan sekuat tenaga supaya bisa setidak-tidaknya mengeluarkan qurban setiap tahun.
Besar harapan semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi Anda sekalian. Semoga jika Allah berkenan ditambah dengan niat yang kuat, kita semua bisa menjalankan ibadah qurban setiap tahun.

Oleh Adityo D. Sudagung
06 Oktober 2013