02 July 2015

Mimpi Kami

Kisah ini bermula dari kebiasan unik kakekku. Saat aku kecil aku sering mengikuti kakek jalan pagi. Pada umumnya ini adalah jalan pagi yang biasa saja. Tapi, selalu saja ada yang berbeda menjelang putaran akhir perjalanan kami. Kakek selalu menyempatkan untuk membeli beberapa bungkus nasi kuning. Setelahnya beliau mengajakku melewati beberapa jalanan kecil di sekitar komplek. Selagi menyusuri jalan-jalan tersebut kakekku sering sekali disapa oleh orang-orang di sekitar situ. Dulu aku pikir mungkin kakekku ini artis. Betapa bangganya aku.

Ternyata kakekku lebih dari sekedar artis. Nasi kuning yang dibelinya itu adalah pembedanya dengan artis biasa. Kakek selalu menyempatkan mampir ke beberapa tempat di akhir perjalanan kami setiap pagi. Beliau selalu menghampiri seorang pemulung yang bertangan satu di dekat pasar. Ia memberikan sebungkus nasi kuning kepada beliau. Tidak berhenti di situ, bungkus nasi kuning lainnya juga dibagikan kepada tukang becak, lalu pedagang sayur keliling yang sudah sepuh dan seumuran beliau juga tidak luput dari pemberiannya. Kakek juga selalu mampir ke perempatan di dekat komplek di mana terdapat seorang pengemis yang tiap pagi menanti recehan di sana. Selain kepada pengemis, kakek juga membagikan makanan tersebut ke anak-anak jalanan yang sedang asyik mengamen di simpang lampu merah.

Sebelum pulang kakek juga selalu menyempatkan mampir ke pos satpam dan berbincang-bincang dengan satpam komplek. Di situ kakek biasa mengajakku sarapan bersama dengan satpam. Bukan tempat sarapan yang terbaik, tapi di sini kakek mengajarkanku untuk menikmati kesederhanaan. Sebungkus nasi kuning dan segelas teh manis selalu menjadi menu rutin sarapan kami di pos satpam.

“Kek, kenapa kita selalu sarapan di situ? Kenapa gak di rumah aja?”, tanyaku pada suatu waktu.

“Kalau di rumah, kita bisa makan bersama dengan nenek dan ibumu. Memang enak dan lebih ramai. Tapi, coba lihat Pak Satpam tadi. Kalau kita tidak makan di sana, dia makan dengan siapa?”

Rute jalan pagi kami juga kerap berbeda menjelang akhir bulan. Kakek selalu mengajakku berjalan lebih jauh ke panti asuhan dan panti jompo yang berjarak 3 km dari komplek rumah.  Kakek sering mengajakku ikut ke sini kalau aku sedang libur. Di tempat ini aku melihat kakek terlihat lebih ceria daripada wajah tuanya yang mulai keriput. Tampat wajah yang bahagia saat dia berbagi cerita dengan anak-anak panti dan juga rekan-rekan seumurannya yang ada di panti.

“Kita beruntung, masih bisa kumpul dengan keluarga setiap hari. Mereka di sini mungkin sudah lama tidak bertemu keluarga mereka. Teman-teman di panti saja yang mungkin menemani hari-hari mereka. Kelak saat kamu besar, kamu akan mengerti semua ini.”, sambil mengusap kepalaku di perjalanan pulang.

Ya, memang benar saat itu aku tidak terlalu paham maksud rute jalan-jalan pagi kakek. Waktu kecil dulu aku pernah bertanya dengan polosnya kepada ayah tentang kebiasaan kakek saat sedang makan malam di rumah.

“Yah, kenapa kakek suka bagi-bagi makanan dan menyapa orang di jalan?”

“Itu adalah cara kakekmu bersyukur dengan apa yang dia dapatkan selama ini. Semua kebahagiaan dan rejeki yang dia dapat boleh jadi adalah karena doa-doa orang yang sedari dulu ditolongnya.”, jawaban sederhana ayah itu cukup mewakili pertanyaan besarku terhadap kakek.

Itulah apa yang aku ketahui tentang kakek di masa kecilku. Karena di umur 7 tahun, aku dan keluarga memutuskan untuk tidak menumpang lagi di rumah kakek dan tinggal di rumah sendiri. Walaupun demikian aku masih sering main ke rumah kakek setiap minggu.

***

Memasuki masa remaja, aku mulai bertanya-tanya tentang kisah kakek lebih jauh kepada ayahku. Pertanyaan itu aku lontarkan pada suatu makan malam bersama ayah.

“Ayah, itu foto kakek bukan?”

“Iya itu foto kakekmu waktu muda.”

“Itu foto di mana? Dengan siapa itu kakek salaman?”

“Itu di kantor gubernur. Kakekmu dulu mendapat penghargaan dari gubernur. Dari muda kakekmu diutus merantau ke sini, diminta membangun daerah sini. Pengabdian bertahun-tahun membangun kota dan daerah ini. Dulu katanya kakek itu ikut kelompok perintis daerah-daerah di pelosok sana untuk pemetaan daerah pemekaran dan daerah tinggal masyarakat transmigran. Kakekmu sudah sering berjabat tangan dengan walikota dan gubernur. Hanya saja dia belum sempat ketemu dengan presiden yang diidam-idamkannya, Bung Karno. Lihat saja di rumah kakek berapa banyak buku dan koleksi kliping korang tulisan Bung Karno yang dikoleksi kakekmu. Kakekmu dulu sering cerita cita-citanya bertemu dengan Bung Karno. Namun, sampai akhir hayat Bung Karno kakek belum sempat bertemu dan berjabat tangan.”  

Kakek dulu berpesan pada ayah, “Merantaulah kamu ke Jawa, ketemu orang banyak, belajar banyak, belajar dari masyarakat yang beragam dan berbeda dengan di sini, ketemu orang besar. Jawa adalah asal usul kita. Siapa tahu, kamu nanti yang ketemu presiden gantiin bapak.”

“Kakekmu tidak sempat lagi pulang ke Jawa karena kesibukan di sini selama bertahun-tahun. Di usia senjanya dia sangat rindu ingin pulang. Ia ingin bertemu saudara-saudaranya di Jawa. Sampai sekitar 20 tahun lalu, saat kamu berumur 10 tahun, ia memutuskan untuk pulang ke Jawa karena ingin jalan-jalan. Kepergiannya itu adalah kepulangannya yang terakhir ke Jawa. Kakek benar-benar pulang dan tidak kembali lagi ke rumahnya di sini. Dia telah pulang ke rumahnya yang sebenarnya. Persis di samping ayah dan ibunya.”, ayah melanjutkan kisah tentang kakek.

Ayah sempat terdiam sebentar saat dia menceritakan tentang kakek  yang telah tiada. Sembari menarik nafas panjang, ayah merubah topik pembicaraan menjadi tentang dirinya sendiri.

“Dari merantau itu, dulu ayah sempat berjabat tangan dengan panglima TNI, menteri, anggota dpr. Tidak salah memang pesan kakekmu waktu itu. Ayah banyak mendapatkan pelajaran berharga selama merantau saat muda dulu. Hanya saja presiden yang belum sempat ayah temui. Mungkin nanti kamu yang bise bertemu dengan beliau.”, ujar ayah sebelum melanjutkan makan malamnya.

Aku cukup lama memikirkan pesan yang diceritakan tentang pengalaman kakek dan ayah, begitu juga amanah yang dibebankan padaku sebagai penerus cita-cita mereka. Siapa tau memang ada jalan. Siapa yang tau kan? Aku hanya berdoa dalam hati semoga suatu saat aku bisa mewujudkan cita-cita mereka.

Makan malam itu adalah makan malam sehari sebelum keberangkatanku merantau. Ayah sengaja mengajakku untuk berbincang-bincang sebelum melepasku pergi ke Jawa. Mungkin ayahku bukanlah ayah yang paling romantis dan bisa mengungkapkan sayang kepada anak-anaknya. Tapi, melalui cerita-cerita dan perhatiannya aku tahu dia sangat menyayangiku. Perbincangan sederhana tentang mimpi dan cita-cita. Cita-cita kakek dan ayah untuk bertemu presiden yang sekarang dipercayakan kepadaku.

***

Pagi ini aku berdiri di depan cermin, merapikan sisiran rambutku, memastikan aku menggunakan pakaian terbaik. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari di mana semua cita-cita kakek dan ayahku terkabul. Aku diundang menghadap presiden sebagai perwakilan dari akademisi di bidang perekonomian. Kami beberapa perwakilan dari beberapa universitas diminta memberi masukan mengenai pembangunan ekonomi di Indonesia.

Sebelum berangkat, aku menyempatkan menelpon ayahku.

“Ayah, nanti lihat berita ya di tv?”, ucapku kepada ayah di rumah.

Doa itu terkabul. Cita-cita itu terwujud. Di balik cermin itu aku melihat sosok kakek dan ayahku. Aku adalah bagian dari mereka. Sekarang aku akan membawa mereka ikut serta menghadap presiden. Aku akan membawa mereka pada cita-cita yang belum terwujud selama hidup mereka.
“Kek, lihatlah! Cucumu akan menuntaskan mimpi kita bertiga, berjabat tangan dengan presiden.”

2 Juli 2015
D. Sudagung