27 September 2009

Kebohongan, dibenarkan atau tidak?

Dalam kehidupan manusia terkadang kita menjumpai dilematis. Yaitu, ketika diposisikan untuk memilih jujur atau bohong kepada seseorang. Memilih antara kedua hal ini bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Memang kita tahu kalau jujur itu adalah suatu hal yang baik. Namun, ada kalanya kita dihadapkan situasi yang mengharuskan kita untuk berbohong.

Kasus seperti ini mungkin sering kita hadapi. Ketika ingin jujur, tetapi kejujuran itu malah menyakitkan orang lain. Sehingga kita memilih untuk berbohong. Akan tetapi, apakah berbohong itu solusinya? Bukankah akan lebih menyakitkan jika ternyata orang yang kita bohongi itu tahu bahwa kita membohongi dia?

Meskipun niatnya baik, tetapi tidakkah nantinya akan timbul rasa kekecewaan karena orang tersebut merasa dibohongin. Bukankah hal ini yang malah membuat renggang silaturahmi? Ternyata niat yang baik, tidak menghasilkan hasil yang baik karena jalan yang kita pilih tidak baik (dengan berbohong).


Dilematis memang. Dan itu sering terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kebohongan dalam bentuk apa pun tidak lebih baik daripada suatu kejujuran. Mengutip perkataan Rasulullah bahwa katakanlah yang benar walaupun itu pahit. Selain itu, salah satu dari ciri orang yang munafik adalah orang yang berdusta (berbohong).

Hanya sekedar bahan introspeksi bagi diri saya pribadi dan kita semuanya, apakah kita sudah bisa untuk jujur? Baik itu jujur kepada diri sendiri khususnya dalam mengakui kesalahan yang kita perbuat? Atau jujur kepada orang lain dalam pergaulan kita sehari-hari?

15 September 2009

Surat Untuk Indonesiaku

Belum selesai lagi masalah di tanah Papua, kini Indonesia kembali dikejutkan oleh peristiwa menghebohkan, yaitu kasus pengeboman di salah satu hotel ternama di ibu kota. Padahal rencananya hotel tersebut akan menyambut tamu besar Indonesia di pertengahan bulan Juli ini. Kasus pengeboman seperti ini memang bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia. Sudah terjadi beberapa kali pengeboman yang pernah mendera Indonesia.

Peristiwa yang terjadi pada pukul 07.45 WIB (17/07) ini menggemparkan seantero bangsa Indonesia. Karena disaat rakyat Indonesia sudah mulai merasa aman dari ancaman terorisme, ternyata bangsa kita kembali dikejutkan oleh aksi terorisme yang sampai saat ini sudah merenggut 9 nyawa. Selain itu, kasus pengeboman ini juga terjadi menjelang hajatan besar insan sepakbola Indonesia yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 20 Juli mendatang.


Suatu hal yang patut disayangkan, karena boleh jadi event besar pada tanggal 20 Juli mendatang merupakan sebuah event yang ditunggu-ditunggu. Karena event ini mampu menyatukan seluruh masyarakat dalam semangat persaudaraan lewat sebuah pertandingan sepakbola. Namun, apa mau dikata ternyata Indonesia terlebih dahulu diberi “kado” pahit seperti ini.

Lagi-lagi nyawa orang yang tidak berdosa melayang, lagi-lagi orang yang tidak bersalah menjadi korban. Aksi terorisme di Indonesia cenderung merupakan aksi anti warga asing. Sehingga sering kali aksi tersebut ditujukan ke tempat-tempat yang seirng dikunjungi oleh warga asing, seperti hotel, restoran, atau tempat perbelanjaan.

Apakah yang dicari dari aksi tersebut? Berbagai alasan dan jawaban yang muncul, namun satu hal yang pasti mereka sudah bertindak melebihi batas kewajaran. Melakukan pengeboman yang merupakan bentuk pembunuhan massal merupakan suatu bentuk tindakan keji. Hal ini tentunya disepakati oleh kita semua. Tidakkah ada jalan lain tanpa harus menjadikan orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban.

Pernahkah mereka membayangkan bahwa yang berada di tempat kejadian adalah saudara mereka? Ataukah anak mereka? Atau mungkin orang terdekat yang amat mereka sayangi? Apakah fanatisme dan doktrin yang ditanamkan kepada mereka lebih kuat dibandingkan suara hati nurani mereka? Bukankah kita semua diciptakan dengan dianugerahi otak untuk berpikir, membedakan mana yang baik dan yang buruk?
Jika dipandang dari sudut pandang agama, kita juga semua yakin bahwa tidak ada satu agama pun yang membenarkan tindakan membunuh orang yang tidak bersalah. Dari sudut pandang hukum, jelas tindakan seperti ini merupakan pelanggaran hukum berat. Apalagi dari sudut pandang kemanusiaan, menghilangkan satu nyawa yang tidak berdosa merupakan bentuk dari hilangnya rasa kemanusiaan dalam diri seorang manusia.


Kita semua hidup di dunia semuanya menginginkan kedamaian dan ketenteraman. Tidak ada satu pun dari kita hidup hanya untuk melihat pertumpahan darah. Apalagi di bumi pertiwi ini! Sekali lagi, bumi pertiwi menangis. Negeri yang aman seperti yang dicita-citakan semua orang kembali terusik. Kita semua tidak menginginkan semua ini terus berulang. Saudaraku, kita hidup berdampingan dan mengharapkan kehidupan yang aman tanpa teror tanpa bom. Suatu keadaan negeri di mana anak cucu kita bisa hidup dengan tenang. Bukankah Rasulullah pernah mencotohkan kepada kita bagaimana kota Madinah yang dihuni masyarakat yang berbeda-beda suku dan agama bisa tentram dan aman?

Indonesiaku, bersabarlah. Tidaklah Allah memberikan cobaan yang tidak mampu ditanggung oleh umat-Nya.

We want peace! Indonesia want peace! The world want peace!

160709

Belajar Bersyukur

Oleh : Fatih Beeman

Seorang pemuda tengah termenung di tengah taman. Sungguh, taman yang indah dengan aneka warna bunga itu tak sepantasnya membuat si pemuda menekuk wajahnya. Kegembiraanlah yang seharusnya menjadi miliknya. Entah, apa yang ada di kepala si pemuda.

Sedang termenungnya ia, datanglah seorang kakek menghampiri. Si pemuda tidak menyadari, dari mana sebenarnya si kakek ini.

“Wahai anak muda, apa yang tengah engkau lakukan di sini? Aku perhatikan, tak segurat pun bahagia di wajahmu. Ada apa gerangan?”

Si pemuda mendongakkan wajahnya. Tatapannya kosong. Ia kembali menundukkan muka.

Si kakek tersenyum bijak, lalu berkata, “Anak muda, di dunia ini terlalu banyak kebahagiaan jika dibanding dengan kedukaan. Apa masalahmu?”


Si pemuda menghela napas. Ia lalu menatap si kakek.

“Aku punya masalah memang. Dan aku tidak yakin, aku bisa menyelesaikannya.”

“Masalah apa? Tidak ada satu pun masalah yang Allah tidak menyertakan penawarnya,” si kakek mencoba mengusik motivasi si pemuda yang sedang limbung.

“Adik perempuanku, menginginkan kupu-kupu yang indah.”

“Lho, bukankah ada banyak kupu-kupu di taman ini? Dan semuanya memiliki warna dan corak yang indah.”

“Aku tidak bisa menangkapnya, kek.”

“Apa engkau sudah mencobanya?”

Si pemuda menggeleng.

“Jangan dahulu engkau katakan tidak bisa sebelum engkau mencobanya. Ayo bangun, dan tangkaplah kupu-kupu mana yang engkau sukai!” si kakek mnggelorakan semangat.

“Kakek tidak lihat, jalan saja aku memakai tongkat. Apalagi harus lari-lari mengejar kupu-kupu itu!” si pemuda sengit.

“Cobalah dulu!” si kakek tak kalah sengit.

Terbakar kata-kata si kakek, maka si Pemuda pincang pun bangkit. Sambil terpincang-pincang, ia kejar kupu-kupu di tengah taman. Sampai taman itu rusak dibuatnya.

Si pemuda akhirnya menghentikan aksinya. Napanya ngos-ngosan. Sementara si Kakek tersenyum penuh simpul.

“Kakek lihat, aku tidak bisa menangkap kupu-kupu itu.”

“Hai anak muda, maukah engkau kuajari bagaimana cara menangkap kupu-kupu?”

“Kakek bisa?”

Si Kakek tak menghiraukan si pemuda. Sambil tersenyum ia melangkahkan kakinya ke tengah taman.

“Kakek mau ke mana?”

“Kakek mau menangkap kupu-kupu.”

Maka diperhatikanlah tingkah si Kakek oleh si Pemuda. Namun, si Kakek tidak melakukan apa-apa. Ia tidak berlari-lari selayaknya si Pemuda tadi. Si Kakek hanya mematung di dekat bunga yang tumbuh di tengah taman.

“Katanya mau menangkap kupu-kupu, kenapa diam?”

Si Kakek tersenyum. Ia berdiam untuk beberapa waktu, sementara si Pemuda kesal dibuatnya. Akan tetapi rasa kesalnya itu berangsur memudar setelah dengan ajaibnya, seekor kupu-kupu dengan corak dan warna yang indah menghampiri dan hinggap di tangan si Kakek. Dan perlahan, kupu-kupu itu ditangkap oleh si kakek.

“Bagaimana caranya, kek? Kakek punya ilmu apa sehingga bisa dengan mudah menangkap kupu-kupu. Aku saja tadi yang berlari ke sana ke mari tidak berhasil. Sementara kakek dengan diam saja bisa menangkapnya. Ajari aku!”

Si Kakek tersenyum.

“Anak muda, tidak selamanya yang kita inginkan itu akan dapat kita capai walau pun kita dengan susah payah mengejarnya. Apa yang kita inginkan, sungguh akan datang dengan sendirinya tanpa kita mengejarnya, asalkan kita telah benar-benar siap menerimanya!” pesan si Kakek bijak.

Si Pemuda termenung. Ia cerna betul-betul kalimat si Kakek.

Setelah mencerna kalimat si Kakek, si Pemuda pun mencobanya. Ia berjalan ke tengah taman, dan berdiam beberapa waktu. Tak lama setelah itu, seekor kupu-kupu jelita hinggap di tangannya. Dan ia, kemudian menangkapnya.** (dari buku Beginilah Seharusnya Hidup karya Fatih Beeman)

HIKMAH

Kesiapan. Inilah yang menjadi strength point dalam kehidupan kita. Segala bentuk karunia, yang mewujud dalam sebuah cita-cita, adalah bumbu kehidupan yang terus kita kejar agar bisa dikecap. Namun ada kalanya, kita kehilangan rumus bagaimana mendapatkannya.

Tetapi, ada satu ketentuan yang selama ini terlupa; bahwa segala karunia itu bisa diundang tanpa kita bersusah-susah mengejarnya. Karunia—yang menjadi cita-cita—akan datang sendiri manakala kita telah benar-benar menyiapkan diri untuk memilikinya. Bukankah Allah, hanya akan menurunkan anugerah atau pun musibah kepada hamba-Nya yang benar-benar mampu?

Maka rumus hidup adalah, ketika kita ditimpa ujian, itu semata-mata karena kita telah benar-benar siap menanggungnya. Dan ketika anugerah yang kita inginkan tidak juga datang, coba kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita telah benar-benar siap untuk menerimanya?

Berarti sekarang, tugas kita adalah bagaimana menjadi magnet karunia. Apabila kita telah menjadi magnet, maka karunia yang di langit maupun yang di dalam bumi akan tersedot menuju kita.

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana menjadi magnet karunia? Mari kita berkaca kepada kisah di atas, tentang Anak muda yang mengingini kupu-kupu. Ada dua perlakuan yang ia lakukan; pertama ia mengejar mati-matian agar mendapat kupu-kupu. Hasilnya, tak satu pun kupu-kupu yang ia dapatkan. Malahan, bunga-bunga yang tumbuh di taman itu rusak adanya. Sementara perlakuan yang kedua, si Pemuda berdiam diri di tengah taman, dan tidak lama kemudian apa yang ia impikan datang menghampiri.

Di sini ada ketenangan dan kesabaran, juga ketergesa-gesaan dan nafsu untuk segera memiliki. Dan di sini juga digambarkan efek dari dua sifat tersebut. Dengan tenang dan sabar, segala sesuatu bisa didapatkan. Tetapi dengan sifat ketergesa-gesaan, lelah yang didapatkan tanpa ada imbalan.

Berapa banyak kisah yang menceritakan tentang bagaimana orang-orang yang sabar mendapatkan buah dari kesabarannya. Yusuf alaihissalam, menjadi seorang bendahara negara kenamaan, setelah ia bersabar dan tenang menyikapi ujian yang datang padanya melalui Zulaikha. Zakaria alaihissalam, yang oleh karena kesabarannya Allah kemudian memperkenankannya memiliki keturunan meski telah berusia lanjut. Dan Muhammad Saw., seluas langit dan bumi kesabarannya hingga kedamaian yang ia genggam bisa ia tebar di seantero jagat hingga kini.

Maka kita, adakah lembar kesabaran dalam diri kita? Kalau ada, berapa banyak? Mari menjadi orang-orang yang sabar. Karena Allah berjanji dalam kitab-Nya, bahwa Dia akan selalu membersamai orang-orang yang bersabar. Kalau Allah sudah bersama, maka keinginan macam apa yang tidak akan diberikan-Nya?

-dikutip berdasarkan pesan dari group DSA (Dompet Sosial Ash Shofwah)-

310809

Budaya Indonesia (Sekali Lagi)

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 10 September 2009, pukul 09.30, saya yang sudah duduk di kursi nomor 20F pesawat tujuan Pontianak. Ketika itu saya sedang memperhatikan keseluruhan isi pesawat. Tidak lupa juga saya memperhatikan sekeliling pesawat, kebetulan saya duduk tepat di samping jendela. Begitu beragamnya penumpang di pesawat ini,pikir saya dalam hati. Mulai dari balita, anak kecil, remaja, dan orang dewasa lengkap di sini. Baik dari kalangan biasa atau dari kalangan yang lebih dari biasa. Keberagaman itu juga terlihat dari cara berpakaian dan pakaian yang mereka kenakan. Ada yang memakai kemeja rapi dengan celana bahan serta sepatu pantofel. Seorang remaja dengan tampilan "sleneh" dengan celana setengah tiang, baju kaos, dan kaca mata kuda. Serta pakaian rapi ala eksekutif berbalut jas legan.

Tiba-tiba di tengah kesibukan saya mengamati seklitar, saya tersentil dengan sebuah pemandangan yang amat heroik. Seorang bapak usia 50 tahunan yang masuk belakangan ke dalam pesawat. Di saat hampir semua orang telah duduk di kursi masing-masing, ia melenggang masuk ke dalam pesawat. Yang menjadi perhatian saya bukan kehadiran beliau, namun tampilan beliau. Takjub! Pakaian batik dipadukan dengan celana kain dilengkapi dengan sebuah blangkon.


Hal ini mengusik alam berpikir saya, ternyata masih ada orang yang menggunakan blangkon di kehidupan sehari-hari. Mungkin saya pribadi sudah jarang melihat blangkon di kehidupan sehari-hari. Mungkin hanya saya lihat di acara-acara kebudayaan Jawa atau pementasan yang mengandung unsur budaya Jawa. Blangkon mengingatkan saya akan sebuah foto di masa kanak-kanak saya, ketika saya mengenakan blangkon lengkap dengan setelannya layaknya seorang dalang wayang. Saya yang dibesarkan dalam suasana budaya Jawa (karena saat itu saya tinggal di rumah Kakek yang seorang Jawa), setidaknya tidak terlalu asing akan hal-hal tersebut.

Namun, selang waktu berjalan tepatnya saat saya melihat bapak berblangkon itu. Terbesit dalam pikiran saya, kenapa blangkon menjadi asing bagi saya? Kembali meluas pertanyaan saya dalam benak menjadi, kenapa menjadi jarang melihat blangkon d kehidupan sehari-hari? Apakah blangkon dan ceesnya (batik,kain batik, dan sebagainya) sudah tidak sesuai dengan jamannya?

Kalau jawabannya tidak, kenapa sudah jarang terlihat. Kalau jawabnnya ia, apakah mereka juga akan hilang tertelan jaman?

Kajian atau pembahasan mengenai budaya khususnya budaya Indonesia mungkin sudah seirng kita dengar dan saksikan. Tapi, mungkin efeknya belum menyentuh segenap lubuk hati. Saya tidak menggurui, tapi hanya mengajak saudara-saudara umumnya dan saya khususnya untuk kembali peduli akan keberlangsungan budaya Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Amanah keberagaman dan kekayaan budaya serta alam yang kita terima dari Sang Pencipta mudah-mudahan dapat kita jaga dan pelihara. Semoga keberagaman ini menjadi kekuatan kita untuk terus bersatu.

Untuk Indonesiaku, negeri yang kucinta!

120909