04 December 2013

Ingatlah Kawan, Tuhan Itu Dekat

Saat kita tertimpa masalah
Adakah kita kembali mendekat kepada Tuhan?
Atau kita justru lepas dari mengharap kepada Tuhan?

Saat kita mendapatkan kebahagiaan
Adakah kita kembali mendekat kepada Tuhan?
Atau kita justru lepas dari mengharap kepada Tuhan?

Tuhan selalu punya cara menjawab beribu doa kita
Menjawab berjuta tanya kita
Tuhan selalu punya cara mendamaikan hati kita
Menenteramkan gelisah

Manusia ini saja yang begitu bodoh hingga terlupa
Merasa diri paling di mata dunia
HIngga melupakan Sang Pencipta
Ia berjalan angkuh di dunia
Ia menopang pinggang dengan kesombongannya
Dan itulah kita

Tapi, sekali lagi kawan. Tuhan selalu punya cara untuk menyadarkan kita.
Menggerakkan hati-hati kita untuk kembali bersujud pada-Nya.
Atau menggerakkan orang-orang di sekitar kita untuk memberikan nasihat.
Ya, nasihat yang kau berikan pada sahabatmu mungkin suatu saat itu adalah nasihat untuk dirimu sendiri kawan.
Ingatlah ia baik-baik dan ingatlah Tuhan baik-baik.

Oleh D. Sudagung
4 Desember 2013


Menatapmu

Biarkan ku kembali ke bumi
Setelah ku melayang jauh ke bulan
Bumi tempat kau berada
Biarkan kau jadi alasaku untuk selalu kembali ke bumi

Entah ke mana pun jauhnya aku melayang
Biarkan aku selalu menatap bumi
Menatapmu

Oleh D. Sudagung
3 Desember 2013

Melukis Bahagia

Kamu datang dengan indahnya
Membawa keceriaan di hariku
Mulai mengisi hati dan pikiranku

Sebaris kata ini belum cukup
Untuk melukiskan bahagiaku karenamu
Menikmati aliran waktu seiring denganmu
Karena itu ijinkanku menitip rasa ini di hatimu
Agar utuh kebersamaan kita

Oleh D. Sudagung
3 Desember 2013

Tidak Untuk Larut Di Dalamnya

Biar ia cepat berlalu
Biar ia cepat menghilang
Berlalu bersama sang waktu
Hilang ditelan sang malam

Ia cuma bagian kisah masa lalu
Cukup dan tak lebih dari itu
Ia untuk dilihat saja
Tapi ia tidak untuk larut di dalamnya

Oleh D. Sudagung
4 Desember 2013

30 November 2013

Lihatlah Rembulan

Jika saat ini engkau tertunduk lemas
Lihatlah rembulan yang bersinar
Ia benderang indah walaupun gelap

Jika sekarang kau merasa sedih
Lihatlah sebait kata ini
Aku akan ada menghiburmu

Jika kau tersesat malam ini
Lihatlah tangan yang kuulurkan untuk menemanimu berjalan
Jangan biarkan malam merenggut senyummu
Senyumanmu lah yang harus melenyapkan gelap

Oleh D. Sudagung
30 Nopember 2013

29 November 2013

Saat Itu dan Kini

Saat itu aku pernah bertanya, "Apakah jalan kita akan bertemu?"
Saat ini aku merasa jalan ini mulai bertemu
Saat kamu mulai datang di hariku
Sekarang aku bertanya, "Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?"
Ijinkan aku menumbuhkan rasa untukmu dan biarkan ia sampai dan menyentuh hatimu

Oleh D. Sudagung
30 Nopember 2013

Kamu Indah

Kamu indah dengan senyum menggantung di wajahmu
Kamu indah dengan tawa lepas yang mempesona
Kamu indah karena kamu ada mengisi sepiku

Biar aku membingkai senyum itu dalam ingatan
Serta mengingatmu dalam hati
Dan biarkan aku mengucapkan cinta padamu

Oleh D. Sudagung
29 Nopember 2013

Ijinkan

Ijinkan aku memiliki lagi cinta
Saat dapat tersenyum karena hadirnya
Saat dapat tertawa karena kelucuannya

Ijinkan aku memiliki cinta
Saling berbagi dan duka
Beriringan dalam hidup

Ijinkan aku menemukan senyuman itu lagi

Oleh D. Sudagung
29 Nopember 2013

Akankah dan Adakah

Kamu yang tersenyum begitu menawan
Tatapan matamu indah
Tawamu membagi kebahagiaan
Hadirmu warnai hari-hariku
Akankah itu cinta? Adakah itu cinta?

Oleh D. Sudagung
29 Nopember 2013

Suatu Hari di Kursi Stasiun Kereta

Apakah itu kamu?
Yang duduk di ruang tunggu stasiun kereta
Engkau yang duduk membelakangiku
Terlihat seperti punggung yang ku kenal
Caramu duduk dan menunggu
Mengingatkan akan seseorang yang telah lama pergi
Bahkan tampak samping itu dia
Inikah hadiah Tuhan atas kerinduan itu
Sebuah pertemuan yang cukup mengobat rindu

Oleh D. Sudagung
29 Nopember 2013

Di Ujung Jalan

Dan ia mengendap di dasar lautan
Tertimbun hamparan pasir
Ia yang dulu bertahta
Kini hanya pelengkap kisah sejarah

Dan ia mulai usang
Termakan putaran waktu
Ia terkikis diamnya kata
Tanpa frase dan kalimat
Ia hanya menyisakan kosong tanpa berisi lagi

Ia yang telah dan akan berlalu
Perlahan menghilang dari hati
Dari koma ia cenderung titik

Oleh D. Sudagung
27 Nopember 2013

Waktu Tak Tepat

Kamu datang tak tepat waktu
Saat aku mulai melangkah
Bukan saat aku berdiam menantimu

Aku pergi tak tepat waktu
Saat kamu memberi jeda pada pertemuan kita
Bukannya tinggal saat kamu datang dengan senyuman

Atau waktu yang memang tak tepat mempertemukan jalan kita
Atau memang waktu juga enggan melihat kita melangkah lebih jauh
Atau waktu hanya ingin melihat kita seperti sekarang
Ada untuk bertukar canda dan senyuman tanpa ia ada membawa cinta

Oleh D. Sudagung
22 Nopember 2013

Pantaskah

Kenapa kamu datang saat hatiku tengah beralih?
Jangan salahkan hatiku berbalik arah
Kini ingatan tentangmu memenuhi hari
Meskipun kamu tak ada di hadapanku
Tapi ingatan dan hati ini memutar kenangan tentangmu
Tidak lagi dia, tapi kamu

Apa aku akan selalu memujamu dalam gelapku?
Atau ku dobrak saja istana yang mengelilingimu
Biar ku mati dalam usaha mendapatkanmu
Apakah itu pantas bagiku?
Apakah itu juga pantas bagimu?

Oleh D. Sudagung
24 Nopember 2013

Semu

Setiap tawa itu hanya sesaat
Setiap bahagia itu juga sesaat
Seperti bola yang bundar
Ia menempati bawah dan atas dalam hitungan detik

Oleh D. Sudagung
10 Nopember 2013

Harga Kesombongan

Lagi-lagi ia terjatuh terperosok di tengah jalanan
Tersengal-sengal melangkah
Dulu ia mampu berlari kencang
Tapi ia lupa dahulu ia hanya bisa merangkak
Kesombongan membunuh langkahnya
Saat inilah dia baru sadar dirinya yang lemah

Oleh D. Sudagung
9 Nopember 2013

Jakarta, Nasibmu Kini


Menikmati indahnya Jakarta
Yang terlihat hanya kendaraan dan gedung tinggi
Macet
Yang terdengar hanya suara klakson dan kendaraan
Hijau susah ditemui
Kota ini mungkin tidak akan pernah tidur
Menopang hidup manusianya

8 Nopember 2013

Hey Nona

Hey Nona
Bolehkah aku menyapamu malam ini?
Bolehkah aku menyapamu esok pagi?
Atau bolehkah aku menyapamu di waktu senja?

Hey Nona
Akankah senyumanmu itu untukku?
Senyum indah yang bersanding di wajahmu
Senyuman yang memadukan indah parasmu

Hey Nona
Bolehkah aku ada dalam harimu?
Atau bolehkah aku hadir menyapa dalam malammu?

Hey Nona
Jika kamu berkenan
Bolehkah aku meminta sedikit cahaya harapan
Agar hati bisa saling bicara menjalin asmara

Hey Nona, ku tunggu jawabmu

Oleh D. Sudagung
4 Nopember 2013

Kisah Rembulan dan Mentari

Pernahkah kalian memperhatikan rembulan?
Begitu sabar ia menanti datangnya malam
Sekalipun malam tak berbintang
Rembulan akan selalu tetap mengarungi malam seorang diri
Kendati awan gelap menghalangi
Rembulan tetap menanti waktunya datang menerangi malam

Begitu pun mentari
Yang selalu bersabar menunggu waktu pagi
Meski malam  terasa panjang
Mentari akan selalu menanti waktu menyinari pagi

Ini nasihatku pada diriku yang tak jua sabar
Bila tepat waktunya, ia pasti akan datang

Oleh D. Sudagung
4 Nopember 2013

Dilema Penulis

Sekali lagi ceritanya berakhir
Dan entah akan diawali dengan kalimat apa
Kata yang ada belum cukup
Bahkan untuk sekedar mengawali
Apakah ini pertanda?
Hanya saja aku bukan orang yang ahli memaknai tanda

Mungkin biarkan saja tintanya mengalir
Jangan kau curahkan semua yang ada
Karena nantinya ia hanya akan menjadi luberan tinta
Bukan lagi kisah indah bertabur kalimat mempesona

Oleh D. Sudagung
3 Nopember 2013

Masalah Hati Memang Selalu Rumit

Tak ada yang tahu kemana langkah kakinya esok
Tapi kita bisa memimpikannya

Tiada menyangka akan bertemu senyumannya
Seketika ia hadir walau sesaat
Tapi namanya terkenang selalu

Adakah nanti jalan kita bertemu?
Kini biar waktu yang menjawab
Karena sebaik-baik cinta adalah yang sabar menunggu waktu yang tepat
Masalah hati memang selalu rumit

Oleh D. Sudagung
3 Nopember 2013

Arti Tatapan

Mana ada senyuman itu
Mana ada sentuhan itu
Yang ada kamu duduk menatap dari kejauhan
Bahkan kita tak beradu mata
Entah kemana kau menatap sebenarnya

Oleh D. Sudagung
28 Oktober 2013

Jika Aku Tanpamu

Kau adalah alasan ku untuk tetap hidup
Tanpa kau, dia terasa lebih indah

Oleh D. Sudagung
25 Oktober 2013

Dua Kenikmatan Perjalanan

Dua kenikmatan sebuah perjalanan
Ketika kita melangkah bersama sahabat
Menelusuri jalan yang asing
Mencari setiap petunjuk untuk melanjutkan perjalanan
Perjalanan itu juga mengajarkan kita bersyukur
Ia mengajarkannya lewat mengamati dan merenungi setiap kejadian selama perjalanan
Jangan lewatkan dua nikmat ini dalam setiap perjalananmu, kawan!
Pelajaran berharga dari hal yang sangat ada di sekitar kita

Oleh D. Sudagung
24 Oktober 2013

Ku Harap Segera Berlalu

Ku buka mata
dari gelap menjadi benderang
Cahaya pagi menerobos ke dalam ruangan

Tak ada yang berubah dari tubuhku
Tapi ada yang berubah di hatiku
Ada yang tak sempurna

Ku biarkan seperti itu
Sampai suatu saat sebagian hati itu terisi dengan sempurna
Menyempurnakan nikmat Tuhan padaku

Kini ku pejamkan lagi mata ini
Berharap waktu segera berlalu

Oleh D. Sudagung
24 Oktober 2013

Cinta Diawali Sebuah Alunan Biola

Alunan suara biola memenuhi pagi itu. Dari salah satu jembatan penyebrangan di ibukota. Di bawahnya berjalan tiga pemuda dengan seribu cita-cita mengisi waktu di akhir minggu. Meskipun ketiganya tampak berbeda, namun satu yang sama di pagi itu, suara biola itu membuat mereka berpikir tentang cinta.
Pemuda pertama langsung tersentak saat ia mendengar alunan musik itu. Bukan karena indahnya saja, tapi karena lagu yang dimainkan adalah lagu kenangan dengan kekasihnya yang dahulu. Sebuah lagu yang dulu tiap malam Minggu dimainkan dengan gitarnya. Bahkan lagu itu masih mengisi hari-harinya sampai sekarang, walaupun sang kekasih sudah jauh pergi entah ke mana. Seketika dunia serasa berhenti dan putaran waktu pun ikut berhenti bagi pemuda itu. Hancur semua pertahanannya yang dibuat dari mulai meninggalkan kota kenangannya menuju ibukota. Ia yang tanpa sadar menghentikan langkah, lalu hanyut dalam alunan musik itu.
Lain lagi kisah pemuda kedua. Saat lagu itu mulai berbunyi yang dia lakukan adalah mencari sumber suara merdu itu. Terkesima dan bahagia. Bagaimana tidak, itu adalah lagu kesukaan sang kekasih. Merdu sekali. Tiada ada momen yang lebih indah dari pagi ini. Baru saja mereka bertemu semalam dan sekarang harus mendengar alunan musik seindah ini semakin membuatnya tersenyum lepas. Berbunga hatinya, dengan pasti ia melangkah menaiki jembatan penyebrangan itu.
Kini di saat yang sama pemuda ketiga yang tiada pernah berkekasih melengkapi kisah keduanya. Ia ibarat irisan kedua kisah di atas. Ia yang sedih karena sampai sekarang tidak berkesempatan mempunyai kekasih dan ia yang bersemangat untuk mencari seorang kekasih. Saat suara biola itu mulai berbunyi yang muncul di benaknya adalah perasaan iri karena dia belum pernah merasakan romansa berdua dengan kekasih. Ia membayangkan cerita-cerita kawan mengenai masa indah menikmati waktu berdua dengan alunan musik merdu seperti ini. Hancur remuk, tapi sebenarnya itu tidak lebih remuk dibandingkan kisah pertama. Ia tidak lama larut dalam alunan lagu itu karena sejurus kemudian ia mendapatkan aura positif seperti kisah kedua.
“Andaikan aku punya kekasih, pasti indah menyanyikan lagu ini bersama.”, ujarnya dalam batin.
Sebuah kalimat yang mengembalikan jiwa si pemuda ketiga pada hari itu. Tegaklah kepalanya memandang dunia dan menaiki tangga itu. Sambil tersenyum membayangkan wajah kekasih yang samar-samar itu dia menaiki tangga tanpa beban. Memang tak secepat langkah pemuda kedua, namun ia juga tak selambat langkah pemuda pertama.
Itulah cinta. Satu rasa yang memberikan begitu banyak cerita. Hanya karena sebuah gesekan biola yang mengalunkan musik indah, ia kemudian menjelma menjadi 3 kisah yang menghiasi pagi. Semua bermula dari sebuah alunan biola.
Oleh D. Sudagung
17 Nopember 2013

Pengamatan Si Pengukur Jalan

Pernahkah kita memperhatikan kondisi di jalan raya akhir-akhir ini?

Saya dalam satu tahun terakhir berpikir-pikir atas apa yang saya amati dari rutinitas berkendara di Kota Bandung dan sekitarnya. Adalah fakta bahwa aturan-aturan di jalan semakin ditinggalkan, tanda tidak boleh parkir, tanda tidak boleh stop, dilarang memutar, menyebrang jalan sembarangan, menerobos lampu merah, tidak mengenakan helm, melawan arus, dan sebagainya.


image


image


image


Suatu hal yang menjadi perhatian saya adalah mengenai hubungan pejalan kaki dan pengendara kendaraan bermotor. Sering sekali saya temui pengendara motor dan mobil tidak memberikan hak pada pejalan kaki untuk menyebrang. Jangankan untuk pejalan kaki, sering kali sesama pengadara kendaraan tidak mau mengalah. Hal ini sudah menjadi kejadian yang sering terjadi menunjukkan bahwa sesama pengguna jalan saling tidak menghormati.

Namun, satu hal yang unik dan menarik perhatian saya dari hubungan pejalan kaki dan pengendara kendaraan adalah pejalan kaki juga terkadang tidak menghargai pengguna jalan yang lain atau bahkan dirinya sendiri. Pernyataan ini muncul di benak saya saat saya sering melihat kejadian orang-orang yang menyebrang sembarang tempat, orang-orang yang menyebrang di lampu merah saat lampu lalu lintas berwarna “hijau”.


image


Untuk kejadian yang pertama, dalam beberapa kasus saya melihat masalahnya bisa muncul karena dua hal. Pertama, kebiasaan dari orang-orang yang mengabaikan zebra cross dan jembatan penyebrangan. Ada kecenderungan “ngoboi” atau semau-maunya di jalan, dan tidak hanya dilakukan oleh pengendara motor tapi juga dilakukan oleh pejalan kaki. Kedua, dalam beberapa kasus pejalan kaki tidak diberi tempat untuk menyebrang jalan. Salah satu yang saya perhatikan adalah jarak antar zebra croos terlalu jauh. Kalau mau menyebrang harus berjalan agak jauh sehingga tidak praktis, mungkin ini yang ada di benak beberapa pejalan kaki. Saya mengamati dari mulai zebra cross di depan kampus IKOPIN, Jatinangor, sampai dengan depan kampus UNPAD, Jatinangor tidak tedapat zebra cross. Logisnya, muncul pertanyaan bagaimana mahasiswa UNPAD menyebrang jalan jika tidak ada zebra cross? Bukankah ini artinya kita mengambil hak perlindungan bagi para penyebrang jalan?

Kejadian yang kedua adalah salah satu kejadian paling unik yang membuat saya berpikir bahwa pejalan kaki juga sudah tidak teratur di jalan. Tertular oleh kebiasaan para pengguna motor dan mobil yang cenderung melanggar lampu lalu lintas. Beberapa kali saya melihat orang-orang yang menyebrang saat lampu lalu lintas berwarna hijau. Seolah-olah karena menganggap mendapat hak special di jalan, mereka menggunakan kekuasaan itu untuk melanggar aturan.

Jika kita melihat kejadian-kejadian yang terjadi di jalanan yang semakin padat, macet, dan tidak teratur dapat saya tarik satu kesimpulan bahwa pengguna jalan tidak sabaran. Ketidaksabaran ini yang membuat kita tidak menghargai pengguna jalan yang lain. Untuk itu kita harus mulai mengintrospeksi diri. Apakah kita semua tidak mendambakan jalan yang lancar dan teratur? Lantas apa yang bisa kita ubah dari perilaku kita saat ini?

Upaya pertama adalah mengembalikan kembali budaya saling menghargai di jalan. Semua pengguna jalan memiliki haknya yang harus kita hargai. Sikap saling menghargai ini harus diterapkan kembali dalam diri kita masing-masing.

Lantas, untuk masalah penyebrangan jalan apa yang dapat kita lakukan? Suatu ide yang saya rasa bisa diterapkan dalam menyikapi hal ini adalah menggalakkan budaya menyebrang pada tempatnya. Pada tempatnya berarti tempat dalam arti fisik dan tempat dalam arti waktunya. Zebra cross dipertimbangkan lagi jarak dan penempatannya sehingga pejalan kaki diberikan haknya untuk menyebrang. Jika jalan tersebut dirasakan terlalu berbahaya untuk disebrangi, ada baiknya jembatan penyebrangan dibuat seperti di depan kampus UNPAD.

Kemudian, yang kedua adalah mempromosikan budaya menyebrang yang baik. Kita bisa mulai dengan memberikan plang “menyebrang di sini” di setiap tempat penyebrangan jalan. Kita mulai dengan ajakan dan jangan lupa dengan mulai merubah diri kita. Satu kalimat yang sangat bagus adalah “Kalau mau merubah dunia, jangan lupa untuk mulai dengan merubah diri sendiri.” Kalau satu per satu kita sudah bisa membudayakan tertib, kita tunggu waktunya langkah-langkah kecil itu menjadi ombak yang menggulung dan merubah kebudayaan tidak teratur saat ini.

Oleh D. Sudagung
5 November 2013

Laskar Payung Cihampelas

Pernahkah kalian melihat langit gelap?
Pernahkah kalian meneteskan hujan?
Pernahkah kalian melihat senyuman di saat itu?
Sebagian kita mengumpat akan datangnya hujan
Hanya menyumpah dan melipat wajah

Lihatkah kalian sekumpulan anak yg tersenyum bahagia?
Tertawa mereka menikmati hujan
Karena kita saatnya mereka meraup recehan
Dari sebilah payung yang disiapkan sedari cerah
Mereka menemani langkah kalian yang mengumpat datangnya hujan yg membasahi
Merekalah laskar payung Cihampelas

Oleh D. Sudagung
21 Oktober 2013

17 October 2013

Andi dan Kisah Takbirannya

Berapa berharga momen takbiran buat Anda? Apa artinya takbiran bagi Anda? Apakah ia hanya momen berpesta? Apakah ia hanya momen menabuh gendering? Apakah ia momen melakukan konvoi? Tentu tidak sekedar itu jika kalian bertanya pada Andi. Baginya takbiran lebih besar artinya dari sekedar itu. Ia menemukan makna baru dari sebuah takbiran sekitar 5 tahun yang lalu. Tepat setahun kepergian sang nenek, lengkap menutup kisah seorang cucu tanpa kakek dan nenek.
Lebaran Idul Adha pertama tanpa kakek dan nenek. Di situ ia mulai memikirkan sesuatu hal yang sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun terakhir setelah meninggalnya Sang Kakek. Tapi, baru saat itu tepat 5 tahun lalu ia memikirkan hal itu. Andi memiliki seorang paman tertua yang semenjak Sang Kakek meninggal dunia ditunjuk memimpin takbiran selepas Idul Adha di rumah keluarga besarnya. Suatu hal yang pasti terjadi itu adalah Sang Paman tidak pernah lancar memimpin takbir. Bukan karena ia tidak hafal atau tidak fasih, tapi karena ia selalu terisak sambil menangis ketika bertakbir. Andi dan sepupu-sepupu sebaya dan yang lebih muda jelas tidak paham akan hal itu. Bahkan seorang adik sepupu pernah iseng sekedar bertanya polos, “Paman kok cengeng, Ma?”
Andi muda belum paham dengan apa yang terjadi saat itu. Tahun berikutnya, mereka kedatangan adik Paman yang bertugas di luar kota. Sebuah kunjungan yang jarang terjadi mengingat letak kota tempatnya bertugas yang sangat jauh. 3 hari 3 malam perjalanan darat dan disambung dengan semalam menggunakan perahu. Sebuah kehormatan untuk memimpin takbiran pun dilimpahkan kepada beliau. Tanpa diduga-duga. Paman yang satu ini pun juga melakukan hal yang sama, terisak setiap kalimat takbir ia kumandangkan. Lagi-lagi hal ini terjadi di momen yang sama. Otak Andi mulai bertanya-tanya. Tapi, ia menyimpan pertanyaan itu dalam hati sambil terus mengikuti takbiran dan tentunya makan-makan setelahnya.
3 tahun kemudian hal itu masih terus terjadi. Pemandangan yang sama hingga Andi memberanikan diri menanyakan pada ibunya yang merupakan adik dari Si Paman. “Ma, paman kenapa selalu menangis kalau takbiran?”
Dengan bijak Si Ibu menjawab, “Dulu kakekmu semasa hidupnya yang memimpin takbiran setiap lebaran sejak mama kecil.”
Sebuah jawaban sederhana yang kemudian membuat Andi berpikir jauh ke belakang. Sosok ayah yang sangat melekat di ingatan Sang Anak. Itu kesimpulan sementara Andi. Betapa Sang Anak merindukan sosok ayah. Jawaban ini juga diperkuat oleh kalimat setelah Si Paman memimpin doa, “Abang ingat bapak duduk di sini memimpin takbir.” Nuansa haru pun terllihat di setiap wajah paman dan bibi Andi, bahkan di wajah sepupu-sepupu Andi yang mungkin ada beberapa yang tidak sempat bertemu Si Kakek.
Dua tahun berjalan, Si Paman dipanggil menemui ayah dan ibunya. Kejadian yang cepat dan tidak diduga-duga oleh keluarga besar Andi. Bahkan tetangga sekalipun yang pada waktu salat subuh berjamaah masih berjumpa dan berbincang-bincang dengan beliau. Kuasa Tuhan tiada berbatas, tiada yang bisa menyangkal datangnya maut. Sebuah perpisahan bagi keluarga besar Andi, tapi perjumpaan lagi bagi Sang Anak dengan orang tuanya.
Tahun ini karena paman pertama sudah meninggal, kemudian paman kedua berada di kotanya. Maka, adalah giliran paman ketiga yang memimpin takbiran. Hey, dan ternyata kejadian itu pun terjadi lagi. Sambil menahan tangis dan haru, gema takbir berkumandang di ruang tengah rumah kakek Andi. Setelah takbiran Si Paman berujar, “Aku ingat Abang yang memimpin takbir tahun lalu di sini.” Suasana haru pun menyelimuti keluarga besar Andi saat itu. Begitu dalam arti takbiran bagi mereka. Begitu dalam pula arti keluarga bagi mereka. Sekarang Andi tidak pada posisi memberikan kesimpulan sementara. Ia sudah pada kesimpulan akhirnya. Betapa mereka begitu mencintai keluarganya.
Mungkin umur tidak bisa ditebak, mungkin juga perpisahan tidak bisa ditolak, tapi cinta itu akan selalu ada bersama mereka yang memeluk erat cinta pada keluarganya. Ketika kita masih sempat untuk mencintai orang tua kita, saudara kita, kakek dan nenek kita, maka sayangilah mereka dan berikan yang terbaik bagi mereka. Tunjukkan pada mereka selagi kalian dapat bertatap muka bahwa kalian mencintai mereka dan ingin membahagiakan mereka. Sederhana kawan. Tidak lebih sulit dari sekedar memberi perhatian, keluarga tidak akan meminta banyak. Mereka hanya ingin yang terbaik buat kita, itulah kebahagiaan mereka. Bahagiakanlah mereka selagi kalian masih dapat menemuinya setiap hari.

Oleh D. Sudagung
18 Oktober 2013

12 October 2013

Karena Itu

Biarkan aku mencintaimu dan melihatmu berbahagia karena itu
Biarkan aku menyayangimu dan melihatmu tersenyum karena itu
Karena itulah bahagiaku dan
Karena itulah senyumanku

Sebuah tulisan pagi untukmu yang terdalam

Oleh D. Sudagung
13 Oktober 2013

Antara Tahun Ganjil dan Genap, Kisah 2008-2013

Berdasarkan statistik di  halaman blogger saya, muncul satu fenomena. Tulisan saya di setiap tahun ganjil selalu lebih banyak dibanding tulisan saya di tahun genap setelahnya. Kenapa? Fenomena apa yang terjadi di setiap tahun genap 8 tahun terakhir?

Secara garis besar tahun 2008 dan 2010 saya terlalu sibuk dengan seseorang (lebih tepatnya seseorang di masing-masing tahunnya). Merajut mimpi bersama kala itu. Menyusun rencana-rencana besar bersama. Hingga terlena dengan dunia mimpi itu dan lupa untuk menulis di dunia nyata. 2008 juga adalah masa awal saya menjelajahi kota ini, ya kota di mana semua mimpi saya di mulai. Tersesat di dunia khayal baru, menemukan dunia baru di luar sini, menemukan teman-teman baru, menemukan kami yang baru. Di tahun ini saya mulai menggantungkan mimpi. Mungkin itu satu alasan kenapa tulisan berhenti. Hanya alasan, tidak lebih dari itu. Bukan pembelaan atas kemalasan saya saat itu. Saya hanya terlena dan terlupa.

Sedangkan 2010, saya memulai mimpi yang baru. Mimpi dengan seorang yang baru. Mimpi dengan dia yang benar-benar berawal dari sebuah perjumpaan. Awal perkenalan kami yang entah dari mana jalannya kami bisa bertemu. Tuhan selalu punya misteri dalam setiap langkah-langkah kita. Di awali tidak saling mengenal sampai  dengan akhir tahun sebelum masuknya tahun 2010, hingga seperti kata saya kami mulai bermimpi bersama. Dunia saya saat itu hanya dia dan kami. Lagi-lagi terlupa akan dunia saya di tulisan-tulisan. Saya terlalu menikmati keindahan masa kami.

Di tahun genap ketiga, 2012, adalah masa merenungkan diri. Awal tahun yang buruk (atau baik) entah dari sudut pandang yang mana saya melihatnya. Biar Tuhan saja yang tahu jawabannya, karena jawaban manusia belum tentu setepat jawaban Sang Pencipta. Sesaat saya kuat saat itu, hingga bulan ketiga datang dan saya sadar saya sangat lemah. Bayang-bayang dia, bayang-bayang mimpi-mimpi kami selalu hadir. Entah  itu rasa bersalah atau itu rasa penyesalan yang datang. Seolah setiap sudut kota menertawakan saya. Jatuh dan bangun menyusun kembali hati yang saya hancurkan sendiri. Entah di hati itu nantinya akan muncul namanya atau kosong menyisakan ruang untuk sebuah nama yang baru. Di tahun ini, saya mengerti arti mencintai. Saat kita mencintai tanpa tahu cinta itu terbalas, dan yang kita tahu hanya mencintai. Bahkan ingin rasanya menghampiri cinta itu, tapi tak pernah bisa. Hey Braga simpan baik-baik kisah kami di hatimu.

Tapi, di tahun 2012 juga saya mengerti arti dari “tidak ada yang kebetulan di dunia ini”. Berharap bayangannya yang dulu pernah hadir digantikan oleh hati yang baru. Petunjuk itu datang di ibukota. Terlintas sebuah wajah yang dulu pernah saya kenal. Wajah yang sangat saya kenal dan orang itu ada di tanah kelahiranku. Lagi-lagi tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, perjumpaan itu terjadi di akhir Agustus. Senyumannya tidak berubah. Masih senyum yang dulu pernah ku intip dari jauh. Kini senyuman itu ada di hadapanku. Meskipun kala itu saya baru saja dihadang hujan yang begitu deras, tetapi senyumanmu begitu menghangatkan. Akhir tahun 2012 menjadi indah kembali karena senyuman itu. Aku kembali menyusun kepingan-kepingan terakhir pada tempatnya dan mulai menulis nama baru di hati. Perlahan, karena nama yang lama begitu lekat terukir. Tapi, aku yakin nama baru ini yang akan lebih lekat memeluk hatiku. Tahun ini juga adalah tahuun penuh petualangan. Hampir 7 tempat atau lebih yang saya datangi dalam setahun. Suatu hadiah yang baik dari Tuhan untuk menghibur hati yang tercecer.

Setelah tahun-tahun genap, saya kembali akan bercerita tentang tahun-tahun ganjil di antara tahun genap tersebut. Diawali dengan tahun 2009. Ini adalah tahun di mana momen terjatuh terkeras terjadi di tengah tahun. Tiada yang menyangka mimpi-mimpi itu hilang tertiup angin. Meskipun begitu keras kau memegangnya, ia pun melayang juga.  Pertama kalinya merasakan kepingan itu berserakan. Saat itulah saya merasa teman-teman selalu ada bahkan saat saya sempat melupakan mereka. Terima kasih kawan, terima kasih sabahat. Tidak ada keinginan menulis saat itu, hilang sudah terbawa angin. Yang ada hanya langkah yang ingin menikmati dunia. Tapi, Tuhan begitu baik dengan mempertemukan seseorang lagi. Seseorang yang asing dan benar-benar baru dalam kisah hidup saya. Orang yang tadinya hanya dikenalkan dan entah bisikan dari mana hingga aku berani membukakan hati untuknya. Awal yang baru untuk sebuah kisah yang baru di kota yang baru. Ini semua sangat baru di akhir tahun 2009. Awal baru bagi mimpi yang baru pula. Dari tiada menjadi ada, dan semua segera penuh akan kisahnya. Hidupku yang baru, dengan seseorang yang baru, dan kisah kami yang baru.

Tahun ganjil kedua adalah tahun 2011. Masa di mana kisah baru itu berada pada puncaknya. Saat ia berdiri di atas segala puncak kejayaan.  Dan benar kata pepatah, semakin tinggi pohon maka anginnya juga semakin kencang.Tahun ini juga sebagai pribadi saya berdiri pada suatu titik terberat dengan suatu amanah besar. Titipan besar dari Tuhan dan keluarga baru saya. Begitu banyak pelajaran yang saya dapat, hingga saya rasa ia layak dituliskan. Tidak hanya saya yang layak mendapatkan itu, tapi orang-orang yang membaca pun layak. Masa-masa penuh kesibukan, masa-masa saya merasa kembali tidur adalah kembali pada dunia mimpi dan tidak ingin cepat terbangun. Kisah hati ini juga mengalami pasang surutnya yang dengan sengaja dan tidak sengaja saya buat. Kesalahan saya yang merasa paling benar, tapi hatinya bisa memaafkan. Tahun ini adalah masa-masa menulis sejarah hidup saya, kami, dan kita.

Kini kita sampai pada tahun 2013. Tahun semua cerita berkumpul. Tahun di mana nyala api kecil di hati dinyalakan dua kali untuk kembali pada dunia menulis. Disertai lanjutan akhir tahun 2012 yang bahagia hingga ke awal tahun yang membangkitkan semangat. Jogja banyak menyimpan cerita. Tahun ini pula saya mengerti arti bersabar. Kadang-kadang sesuatu tidak akan selalu sesuai dengan keinginan kita. Kadang-kadang waktu tidak bisa diburu-buru karena keinginan kita. Kesalahan yang saya buat begitu besar harganya. Mengembalikan lagi masa-masa tersulit dengan hati yang sempat kosong. Tapi, kini biarkan waktu yang menjalankan perannya. Hati itu akan menemukan jalan pulang dengan sendirinya, tapi tidak dengan dipaksa. Kalau hati itu memang milik kita, maka ia akan kembali pada rumahnya.

Bagaimana akhirnya? Biar waktu yang menjawab.

Oleh D. Sudagung
13 Oktober 2013

11 October 2013

Buah Kesabaran

Buah kesabaran adalah ketenangan
Mungkin kau tadinya bukan orang yang bersabar
Selalu terburu-buru dalam langkahmu

Tapi, Tuhan dengan baik-Nya memaksamu berhenti, duduk, dan berdiam menyadari kesalahanmu
Ia tak ingin kau larut
Layaknya gula di dalam segelas air
Hilang wujudmu
Hilang dirimu

Tamparan terkeras itu hadir saat kau dibutakan dunia
Membuka lagi matamu kalau hidup tak sesempit dunia butamu
Hidup lebih terang dan berwarna
Tidak hanya gelap dan hitam

Oleh D. Sudagung
11 Oktober 2013

Namamu (Yang) Terukir di Hati

Semakin lama rasa ini menguat
Yang tadinya hanya sekadar ada
Kini mulai memenuhi hati
Pelan tapi pasti kamu hadir dalam hidupku

Penuh tawa serta sedih
Begitupun bahagia dan amarah
Satu per satu mereka temani hari-hariku denganmu

Aku tak kan berbohong untuk sekedar membuatmu tersenyum
Karena senyumanmu yang tulus telah membuatku jatuh hati
Pada hatimu, pada dirimu
Sekarang namamu (Yang) terukir di hati

Oleh D. Sudagung
29 September 2013

Cinta dan Setia

Cinta itu harus ditempa dengan timah panas dengan palu besi
Maka, cinta itu menjadi pedang terbaik
Cinta itu harus dirawat dengan air dan pencahayaan yang baik
Maka, ia menjadi bunga terbaik

Ia harus melalui rintangan sebelum ia mencapai puncaknya
Tiada cinta tanpa ujian
TIada kesetiaan tanpa cinta
Mereka saling berpadu dalam hidup

Oleh D. Sudagung
29 September 2013

Tiada Berbohong

Semakin lama diam
Rasa itu makin kuat
Hanya mampu menatap kata
Walau muka tiada bertemu

Aku tahu hati memang tiada berbohong
Hati ini merindumu

Oleh D. Sudagung
29 September 2013

Langkahku di Pagi Hari

Menelusuri kota di pagi hari
Saat mentari masih tersenyum manja
Dan udara pagi begitu lekat memelukku
Sesekali burung dan serangga bernyanyi

Oleh D. Sudagung
28 September 2013

Tanpa Syarat

Cinta itu tiada diduga
Tapi dia ada
Meski kau hanya menjaganya dalam diam tanpa memilikinya
Biarkan ia tiada dalam ada dan kamu ada dalam tiada
Cinta tidak akan memaksakan logikamu
Ia menerima cintanya
Untuk berbahagia atas kebahagiaan cintanya
Cinta tulus tanpa syarat

Oleh D. Sudagung
12 September 2013

Sedikit Ujian, Beberapa Hambatan

Tuhan memberikan cinta pada saat yang tepat
Sedikit ujian, beberapa hambatan untuk memastikan cinta itu tepat
Cinta yang memberikan bahagia
Bukan cinta yang membenci

Kini indah saat ku melihatmu
Mencintaimu jadi anugerah terbaik dari Tuhan

Oleh D. Sudagung
25 September 2013

Kaki Kita

Biarkan saja kaki kita melangkah
Karena mungkin jika kita berjodoh langkah kita akan beririsan
Entah itu kapan dan pada titik yang mana
Biarkan ia menjadi rahasia Sang Waktu

Kaki kita hanya mampu melangkah
Bukan ia yang tentukan pertemuan
Tapi waktu dan takdir yang sudi mempertemukan

Tiada pertemuan tanpa waktu
Begitu pun pertemuan tak kan ada tanpa takdir

Oleh D. Sudagung
13 September 2013

09 October 2013

“Masihkah Anda Tidak Mengenakan Helm Saat Berkendara?”

Kalimat judul di atas bukan kalimat promosi dari petugas kepolisian. Kalimat itu adalah satu pertanyaan besar yang muncul setelah dua pertanyaan besar saat melihat orang-orang yang naik sepeda motor tidak mengenakan helm.

Pertanyaan pertama, “Kenapa tidak memakai helm?” Jawaban yang paling sering dijawab, “Kan gak ada polisi.”, “Kan dekat.”, dan rentetan alasan (jawaban) yang seolah membenarkan naik sepeda motor tanpa mengenakan helm.

Pertanyaan kedua, “Kalau kecelakaan bagaimana?” Biasanya orang-orang yang seperti ini saya apresiasi dengan keyakinannya akan Tuhan yang tinggi. Jawaban yang paling sering keluar adalah, “Umur di tangan Tuhan, siapa yang tau.” dan sejenisnya.

Kedua tanya jawab sederhana ini merupakan anekdot dari fenomena enggannya masyarakat mengenakan helm saat berkendara. Walaupun saya tidak bisa menyatakan hasil tanya jawab ini dapat mewakili jawaban orang-orang yang enggan mengenakan helm. Tapi, inilah cuplikan realita yang ada di sekeling kita. Silahkan buktikan dua pertanyaan ini!

Inti dari tulisan ini bukan membahas kenapa mereka enggan atau tidak. Tapi adalah pertanyaan yang akan selalu muncul setelahnya, “What will happen next?” Sebelum itu, saya rasa peristiwa tadi pagi cukup menyadarkan saya dan menambah rasa percaya saya bahwa memakai helm itu penting.

Di kampus saya, tepatnya di depan atm centre terjadi kecelakaan. Sebuah motor yang hendak lurus tiba-tiba ditabrak oleh mobil yang datang dari sebelah kanan. Seolah mobil itu tidak melihat ada motor di sebelah kirinya dan langsung banting stir hendak merapat ke kiri jalan. Alhasil, terlemparlah pengendara sepeda motor sekitar 2-3 meter dari tempat dia tertabrak. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan ini.
Biar saya jelaskan lokasi kecelakaan ini. Di depan atm centre adalah tempat yang tidak terlalu padat kendaraan. Di seberangnya terdapat shelter angkot gratis kampus. Cenderung banyak mahasiswa pejalan kaki yang lalu lalang. Yang artinya pengendara sepeda motor atau mobil tidak akan memacu kendaraannya di daerah tersebut. Ditambah lagi kejadian ini terjadi sekitar pukul 09.00. Jam masuk kuliah buat kebanyakan mahasiswa. Bahkan kedua kendaraan yang mengalami kecelakaan, baik mobil maupun motor, tidak dalam keadaan melaju kencang.

Yang dapat kita tarik hikmahnya adalah celaka atau musibah tidak hanya terjadi saat Anda berkendara dengan kencang. Tapi, bisa saja datang saat Anda merasa tenang-tenang saja.
Satu hal yang terkait dengan judul di atas adalah pengendara sepeda motor menggunakan helm. Bayangkan oleh Anda, saat ia tidak mengenakan helm. Mungkin tadi saya dan beberapa orang di sekitar situ sudah menggotong badannya supaya bisa dibawa ke rumah sakit terdekat menggunakan mobil.

Bayangkan juga dalam kecelakaan yang sama jika salah satu pengendara melaju dengan kencang dan yang naik motor tidak menggunakan helm.Dengan memakai helm, kita sudah mengurangi dampak dari kecelakaan tersebut khususnya melindungi bagian kepala. Atau bayangkan jika kecelakaan ini terjadi di jalan raya yang padat dan yang naik motor tidak menggunakan helm. Di tempat yang sepi saja bisa terjadi kecelakaan, apalagi di tempat yang padat. Lengah sedikit nyawa bisa melayang, ditambah lagi tidak mengenakan helm.

Mungkin ada yang mengatakan pada saya, “Takdir orang siapa yang tahu.” Tapi, ingat satu hal kita diberikan akal untuk berpikir supaya setidaknya kita bisa berusaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau setidaknya meminilasir efek dari kecelakaan itu sendiri. Setidaknya kita sudah berusaha dan tidak berlaku sombong dengan sok jago anti pakai helm. Saya juga teringat salah satu kalimat himbauan dari polisi, “Ingat keluarga menanti di rumah.” Mungkin kecelekaan itu terjadi hanya pada diri kita, tapi apakah kita juga memikirkan nasib keluarga kita di rumah saat mendengar kabar tersebut? Harus ikut menanggung biaya pengobatan atau malah pemakaman? Atau kita sudah tidak peduli lagi dengan senyuman keluarga kita?

Barulah kemudian akan muncul pertanyaan di judul tulisan ini, “Masihkah Anda Tidak Mengenakan Helm Saat Berkendara?”

Oleh Adityo D. Sudagung
10 Oktober 2013

05 October 2013

Cita-citanya (Mau) Berqurban

Tidak terasa minggu depan sudah masuk tanggal 10 Zulhijjah, alias hari Raya Idul Adha. Suatu kewajiban bagi orang-orang yang mampu adalah berhaji. Terus, bagaimana buat orang yang ingin berhaji tapi tidak mampu? Pilihannya ada dua, menabung untuk haji dan berqurban. Saya ingin sedikit cerita untuk poin kedua.

Berqurban adalah ibadah yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim. Beliau diminta menyembelih anaknya, Nabi Ismail. Namun, karena keikhlasan keduanya, Allah mengganti Nabi Ismail sesaat sebelum disembelih dengan qibas (sejenis domba atau kambing). Sejak saat itu umat islam dianjurkan berqurban pada hari tasyrik (10,11,12,13 Zulhijjah).
Saya merujuk pada tulisan di salah satu website, yaitu http://www.fimadani.com/7-hikmah-dan-keutamaan-qurban-idul-adha/ mengenai 7 hikmah dan keutamaan Qurban Idul Adha. Saya tidak akan banyak menjelaskan mengenai hal ini. Tapi, lebih pada ide bagaimana berqurban?
Ide ini muncul pada tahun 2010 saat saya masih berstatus mahasiswa semester 5. Saya terinspirasi dari datangnya hari raya Idul Adha. Sebenarnya ide awal saya adalah menabung untuk keperluan mendadak. Tapi, ternyata ketika teringat bahwa setiap tahun ada momen untuk berqurban. Kenapa tidak saya menabung untuk berqurban? Ide itu adalah 1 hari Rp 5.000,00. Sederhana, sisihkan uang Rp 5.000,00 setiap hari. Kenapa Rp 5.000,00? Karena saat itu saya berpikir ini nominal yang paling logis buat anak kosan.

Kita lanjutkan dengan hitung-hitungan yang didapat. Jika sebulan diasumsikan 30 hari, maka sebulan kita mendapatkan Rp 150.000,00/bulan. Kemudian kita kalikan 12, maka kita dapatkan uang Rp 1.800,000,00/tahun. Uang setahun itu sudah cukup untuk kita berqurban satu ekor kambing. Baru-baru ini saya mensurvei harga kambing di beberapa website yang menyediakan jasa penyaluran qurban. Rata-rata harga kambing adalah 1,2-2 juta rupiah, yang artinya kita (insyallah) bisa berqurban.

Saya sendiri sebenarnya sedikit terlena dengan ide ini, jujur saja saya hanya mengingat itu tanpa punya usaha yang kuat untuk melakukannya. Baru sejak tahun 2013 ini saya meniatkan bahwa tahun depan, saya ingin berqurban menjalankan perintah Allah. Amin.

Kalau kita lihat di tv, beberapa orang yang tidak mampu saja bisa menabung untuk berangkat haji. Berangkat haji yang membutuhkan uang puluhan juta saja mereka-mereka yang tidak semampu kita bisa, kenapa kita yang mampu untuk sekedar berqurban tidak bisa? Ini adalah salah satu tamparan terkeras buat saya untuk mengusahakan sekuat tenaga supaya bisa setidak-tidaknya mengeluarkan qurban setiap tahun.
Besar harapan semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi Anda sekalian. Semoga jika Allah berkenan ditambah dengan niat yang kuat, kita semua bisa menjalankan ibadah qurban setiap tahun.

Oleh Adityo D. Sudagung
06 Oktober 2013

30 September 2013

Mencari Damai

Damai itu milik semua
Damai itu adalah hak
Dan hak itu hakikat bagi setiap orang
Tentu saja dengan menuntaskan kewajibannya

Saat orang telah menjalankan tugasnya menjaga keamanan
Janganlah kau renggut hak damainya tersebut
Bukan mereka tidak ingin melawan
Mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti kalian

Tapi, sayang kalian tidak cukup dewasa mengerti mereka
Sampaikanlah kebaikan dengan cara yang baik
Bukan dengan mengobarkan api di tengah padang rumput
Jika Anda berlaku baik, orang lain juga akan menghargai Anda

Oleh Adityo D. Sudagung
06 September 2013

Sapa Pagi Sang Pelukis

Pagi yang indah
Sekali lagi Tuhan memberikan anugerah-Nya
Mentari pagi yang menenangkan
Membuat kita melupakan kesedihan

Pagi yang tenang
Saat burung bernanyi
Angin sepoi-sepoi menerpa
Dan pelukis yang merenung
Begitu syahdu tanpa ingin dilewatkan

Pagi yang cerah
Cahaya mentari yang indah
Berdiri gagah di cakrawala
Menyapaku hangat
Membangkitkan lagi jiwa yang lusuh

Oleh Adityo D. Sudagung
29 Agustus 2013

Ada Di Dalam Tiada

Merasakan hadirnya setelah ia menghilang
Tapi tiada merasa saat ia hadir
Bukankah ssat hadir ia ada?
Dan saat ia hilang maka ia tiada?

Kadang banyak misteri Tuhan yang tak mampu terjawab
Sejenak dipikirkan, namun sekejap ia terlupakan
Begitulah manusia, begitu gampang terlupa
Sibuk ia dengan kesenangan di depan matanya
Padahal ada sebagian hati menunggu kehadirannya
Saat ia kembali, ia hanya bertemu dengan sesal

Tiada lagi sebagian hati itu
Karena telah tergadai oleh senang sesaatmu
Inilah hidup, jalani dengan baik supaya tiada penyesalan

Oleh Adityo D. Sudagung
28 Agustus 2013

21 September 2013

Critical Review: International Relations in Indonesia: historical legacy, political intrusion, and commercialization

Hubungan Internasional di Indonesia mulai berkembang sejak tahun 1960-an. Adalah Universitas Gadjahmada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang menjadi universitas pertama menyediakan jurusan Hubungan Internasional. Hal ini dikarenakan kebutuhan pemerintah Indonesia untuk mendidik calon-calon diplomat. Hubungan Internasional kemudian ikut tumbuh seiring diawali kelahirannya di beberapa universitas tersebut. Fenomena ini dituliskan oleh Bob S. Hadiwinata dalam artikelnya yang mengulas perkembangan Hubungan Internasional di Indonesia mulai dari periode awal hingga tahun 2008. Pada tulisan berjudul “International relations in Indonesia: historical legacy, political intrusion, and commercialization, Hadiwinata memotret perkembangan Hubungan Internasional yang berkembang sangat pesat di Indonesia. Setidaknya terdapat beberapa argumen penting dalam tulisan ini yang dapat penulis kategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu sejarah, kondisi politik domestik, dan komersialisasi pendidikan.

Pada periode awal Hubungan Internasional dibawa dari luar Indonesia dikarenakan kebutuhan. Salah satu poin yang diutarakan oleh Hadiwinata adalah sejarah Indonesia mempengaruhi lahirnya Hubungan Internasional di Indonesia. Pengaruh besar Amerika Serikat pada tahun 1960-1970 dalam perkembangan Hubungan Internasional sangat jelas terasa. Salah satunya adalah penggunaan buku-buku Hubungan Internasional yang didominasi oleh pemikir Realis dari Amerika Serikat, seperti George F. Kennan, H. J. Morgenthau,  Kenneth Waltz, Ernst B. Haas, dan sebagainya. Bukti lainnya dapat terlihat pada salah satu buku terbitan Suwardi Wiriaatmadja, yaitu Pengantar Hubungan Internasional. Di mana dalam tulisan ini sangat terpengaruh oleh pemikiran Morgenthau dan Kennan.

Selain itu, hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat di era Orde Baru ikut berperan besar dalam perkembangan studi Hubungan Internasional. Seperti disebutkan dalam tulisan Hadiwinata ini, beberapa penstudi Hubungan Internasional melanjutkan studinya di Amerika Serikat. Hasil dari studi mereka ini mempengaruhi universitas tempat mereka bernaung, di mana mulai dibukanya beberapa mata kuliah Studi Kawasan di Indonesia. Studi Kawasan ini sendiri menjadi salah satu ciri khas Hubungan Internasional di Amerika Serikat. Ditambah lagi dengan pengalaman pahit pemerintah Indonesia dengan Komunisme mengakibatkan aliran Marxisme sangat diasingkan, bahkan menjadi salah satu aliran sesat di masa itu. Hal ini semakin memperkuat pengaruh pemikiran Realisme pada penstudi Hubungan Internasional di Indonesia.

Menurut penulis, perihal sejarah ini merupakan salah satu poin penting dalam perkembangan studi Hubungan Internasional di Indonesia. Sebagai ilmu yang memang berkembang dan lahir di Barat, sudah sepantasnya Indonesia sangat terpengaruh pada siapa yang pertama kali mempekenalkan ilmu tersebut. Layaknya seorang balita yang baru belajar berbicara, kata-kata yang pertama diucapkan dan teringat adalah kata-kata yang diajarkan pertama kali oleh orang tuanya. Begitu pun ilmu Hubungan Internasional yang diajarkan di Indonesia sangat terpengaruh oleh penyebar pertama dari ilmu tersebut. Di mana dalam hal ini Amerika Serikat melalui penstudinya yang ikut merumuskan kurikulum di UGM dan tujuan studi penstudi Hubungan Internasional generasi pertama yang memilih Amerika Serikat sebagai tempat studi. Ditambah dengan paham anti-komunisme yang berkembang di Indonesia pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, membuat pemikiran Marxisme sebagai asal dari Komunisme mendapat tentangan yang keras. Mengingat juga pada saat itu, kondisi dunia sedang dihadapkan pada pertentangan power antara dua kubu besar, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sehingga konsep-konsep seperti power, national interest, balance of power, dan sebagainya dirasa relevan untuk dijelaskan dalam studi Hubungan Internasional, khususnya di Indonesia. Sehingga pemikiran-pemikiran Realisme menjadi lebih mudah diterima.

Argumentasi kedua yang dipaparkan oleh Bob S. Hadiwinata adalah kondisi politik di Indonesia. Kondisi politik ini dijelaskan oleh Hadiwinata dalam empat penjelasan utama. Pertama, terdapat hubungan yang erat antara penstudi Hubungan Internasional dan birokrasi. Kedua, pengaruh pemerintah sangat kuat di kalangan akademisi. Ketiga, rasa nasionalisme yang tinggi di kalangan penstudi Hubungan Internasional terkait dengan arah kebijakan pemerintah. Keempat, posisi Indonesia di ASEAN tidak popular di kalangan penstudi Hubungan Internasional.

Pada poin pertama disebutkan bahwa beberapa penstudi ilmu sosial di Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan birokrasi. Keterkaitan ini terlihat dari diberikannya posisi menteri yang diserahkan kepada akademisi ilmu sosial. Beberapa nama seperti Emil Salim, Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardhana, Radius Prawiro, dan Mochtar Kusumaatmadja pernah menjabat sebagai menteri di era Orde Baru. Kondisi ini dipengaruhi oleh posisi menteri yang prestisius dan insentif sebagai penstudi yang tidak seberapa dibanding menjadi pejabat publik. Hadiwinata menjelaskan kondisi ini menjadi salah satu alasan kurang berkembangnya ilmu sosial dan hubungan internasional. Ketersediaan waktu penstudi yang menjadi birokrat tersita oleh tugas-tugasnya ketimbang menghabiskan waktu mengembangkan penelitian untuk kemajuan ilmu sosial. Penulis melihat hal ini menjadi sangat wajar karena merupakan pilihan realistis untuk mengabdi pada negara ketimbang melanjutkan pengajaran atau penelitian yang apresiasinya minim. Bahkan sampai sekarang apresiasi untuk penelitian dari berbagai pihak masihlah minim.

Kedua, kekuasaan pemerintah di era Orde Baru sangatlah kuat dimana salah satunya adalah di kampus. Beberapa kebijakan-kebijakan yang mengatur pergerakan di kampus sangatlah ketat. Mulai dari program “Naturalisasi kampus” dan pengontrolan organisasi sosial yang berdampak pada penggunaan akademisi ilmu sosial sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai kekuasaan. Pergerakan mahasiswa dan akademisi menjadi terbatas. Karena dalam beberapa kasus jika ditemukan pemikiran mereka bertentangan dengan pemerintah, maka dampaknya sangat besar. Diantaranya adalah penangkapan, pengasingan, perusakan citra diri, atau bahkan bisa saja diculik dan tidak kembali. Beberapa kasus yang disebutkan dalam tulisan Hadiwinata ini adalah pemberhentian Arief Budiman, Ariel Haryanto, dan George Aditjondro. Kondisi seperti ini menurut penulis semakin memperkuat alasan ilmu sosial, khususnya ilmu Hubungan Internasional tidak berkembang di Indonesia. Khususnya di era Orde Baru di mana semuanya sangat bergantung pada keinginan pemerintah. Kekuasaan yang hampir absolut menyebabkan penstudi tidak bisa mengembangkan ilmu secara keseluruhan. Ilmu-ilmu yang dikembangkan cenderung praktis dan hanya menguntungkan pemerintah.

Seperti juga disebutkan kemudian oleh Bob S. Hadiwinata bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan tidak lepas dari siapa yang mendonorkan dana penelitian. Sering kali penelitian hanya ditujukan untuk menjawab masalah atau isu yang berguna bagi pendonor. Baik dari pemerintah ataupun swasta yang berkepentingan. Hal ini ikut mempengaruhi poin ketiga mengenai rasa nasionalisme penstudi. Akibat dari orientasi penelitian yang ditujukan pada kebutuhan pemerintah mengakibatkan perkembangan objek kaji hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia saja. Mulai dari hubungan bilateral, kepentingan nasional, dan sebagainya.
Bahkan pada poin keempat disebutkan bahwa ASEAN sebagai tempat di mana Indonesia berada tidak menjadi menarik. Salah satunya akibat nasionalisme yang tinggi sehingga menjadikan penelitian terhadap negara di kawasan Asia Tenggara lainnya tidak menarik. Karena di Indonesia masih berkembang nasionalisme yang malah berujung pada sentimen pribadi terhadap suatu negara tertentu, contohnya Malaysia. Masyarakat secara umum atau bahkan penstudi tidak sedikit yang terjebak pada sentimen terhadap Malaysia. Hal ini mengingat beberapa sejarah dan beberapa kasus terbaru yang mengarahkan Malaysia sebagai public enemy. Belum lagi dihadapkan oleh kendala bahasa negara-negara Asia Tenggara lainnya yang tidak populer di Indonesia.

Penulis mengakui poin ketiga dan keempat merupakan kenyataan yang terjadi di kalangan mahasiswa Hubungan Internasional hingga saat ini. Merupakan alasan yang logis bagi para mahasiswa kemudian mengambil objek kaji yang lebih banyak sumber referensinya seperti di Eropa, Amerika, Timur Tengah, atau Amerika Latin. Tidak bisa dipungkiri bahan-bahan mengenai negara-negara di Asia Tenggara masih sangat minim. Disamping itu faktor biaya yang sangat besar untuk berpergian ke negara yang dikaji membuat para mahasiswa cenderung bermain aman dengan meneliti negara-negara yang lebih banyak referensinya di internet atau di perpustakaan.

Menurut penulis, salah satu masalah yang dihadapi oleh mahasiswa Hubungan Internasional adalah ketersediaan bahan rujukan. Buku-buku referensi untuk studi Hubungan Internasional masih sangat kurang di Indonesia, sehingga banyak penulis temukan rekan-rekan sesama mahasiswa yang lebih banyak memilih melakukan pencarian rujukan hanya sebatas artikel di internet. Ketersediaan buku di perpustakaan atau akses ke kedutaan sangat terbatas bagi para mahasiswa sarjana. Sehingga tidak sedikit yang merasa kapok menekuni studi Hubungan Internasional yang berujung pada hasil penelitian skripsi menjadi serba seadanya. Kondisi ini merupakan suatu proses seleksi alam yang tidak terkontrol. Mengingat peminat dari jurusan Hubungan Internasional di Indonesia meningkat sangat pesat, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan pesat pada jumlah penstudi atau penelitinya.

Menurut penulis, nasionalisme juga penting dalam perkembangan ilmu Hubungan Internasional di Indonesia. Supaya bisa menunjukkan nilai-nilai Indonesia yang dapat diadopsi bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Seperti contohnya, Deklarasi Juanda yang akhirnya diimplementasikan ke dalam United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) menunjukkan bahwa dari segi pemikiran orang-orang Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan orang-orang di negara maju. Meskipun di sisi yang lain nasionalisme yang membutakan justru membuat kita menjadi tinggi hati dan tidak bisa bersifat netral. Padahal ilmu Hubungan Internasional bersifat lebih luas dan tidak hanya sebatas pada Indonesia saja.

Kondisi pendidikan tinggi di Indonesia terkini kemudian dibahas dalam argumen keempat oleh Bob S. Hadiwinata dalam tulisan ini. Beliau menyebutkan mengenai komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini turut mendorong rendahnya kualitas penelitian Hubungan Internasional. Banyaknya jumlah peserta didik dan perkembangan jumlah jurusan Hubungan Internasional yang sangat pesat ternyata tidak didukung oleh sistem pendidikan yang baik dari pemerintah. Atas nama pemenuhan kebutuhan keuangan universitas, maka jumlah mahasiswa diutamakan dibanding dengan kualitas pengajaran dan kualitas penelitian.

Pengaruh yang dirasakan adalah habisnya waktu para peneliti Hubungan Internasional untuk mengajar dan melakukan proses bimbingan kepada mahasiswa. Demikian juga penulis melihat dampaknya pada para calon peneliti (mahasiswa sarjana) Hubungan Internasional. Dengan jumlah mahasiswa yang tidak sebanding dengan jumlah pengajar mengakibatkan proses penyerapan ilmu menjadi terhambat. Padahal para mahasiswa sarjana ini merupakan cikal bakal penerus dari para peneliti-peneliti yang sudah ada. Jika proses kaderisasinya saja sudah tidak baik, bagaimana menghasilkan peneliti dan penelitian yang baik pula.

Kemudian kebijakan dari pemerintah mengenai promosi golongan para penstudi yang lebih menitikberatkan pada poin pengajaran dan bimbingan. Hal ini mengakibatkan poin pengabdian pada masyarakat dan penelitian menjadi dinomorduakan, bahkan cenderung diabaikan. Menjadi wajar kemudian para dosen-dosen lebih mengejar untuk menghabiskan waktu untuk menambah poin dari mengajar dan proses bimbingan mahasiswa. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa ada sistem yang ikut menghambat proses perkembangan ilmu Hubungan Internasional di Indonesia.

Meskipun telah disinggung bahwa besar kemungkinan para lulusan sarjana ini melanjutkan studi ke negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, Jerman, Jepang, dan lainnya. Tetapi, sistem yang ada saat ini masih menyisakan masalah. Pada akhir tulisannya, Hadiwinata menyebutkan bahwa perlu dilakukan revolusi pada manajemen pendidikan tinggi. Pernyataan ini penulis lihat dilatarbelakangi oleh fenomena hubungan akademisi dan birokrat yang terus terpelihara, proses promosi golongan, prioritas waktu penstudi untuk mengajar saja sehingga kualitas penelitian tidak mengalami kemajuan. Walaupun penstudi muda melanjutkan studi di luar negeri, tetapi sekembalinya dari studinya mereka kembali melanjutkan sistem yang diwariskan tersebut.

Penulis melihat dari tulisan ini argumen-argumen yang disampaikan saling terkait. Mulai dari sejarah perkembangan Hubungan Internasional hingga sistem warisan sejarah tersebut. Kemudian ditambah dengan sistem terkini yang menuntut kampus untuk mencari dana lebih dari para mahasiswa (komersialisasi). Hal ini mengerucut pada dampak yang paling krusial seperti disebutkan oleh Bob S. Hadiwinta, yaitu kualitas penelitian dan perkembangan ilmu Hubungan Internasional yang berjalan di tempat. Meskipun tidak secara keseluruhan berjalan di tempat sejak tahun 1960an karena memang terdapat beberapa perkembangan yang baik pula.

Tetapi, jelas terdapat satu faktor penghambat perkembangan ilmu Hubungan Internasional yang penulis temukan dalam tulisan ini, yaitu terkait hasil publikasi dan penelitian. Buktinya adalah tidak adanya satu pun jurnal Hubungan Internasional yang terakreditasi nasional. Penulis melihat bukti ini adalah yang sangat menegaskan bahwa ilmu Hubungan Internasional masih belum terlalu berkembang di Indonesia. Penyebabnya sudah tampak mulai dari rentetan sejarah, pengaruh sistem kekuasaan yang mengekang perkembangan akademisi, preferensi kajian penelitian, sampai dengan waktu peneliti yang terbatas.

Penulis sampai pada kesimpulan bahwa perkembangan ilmu Hubungan Internasional tidak lepas dari pengaruh Amerika Serikat sebagai rujukan utama. Kemudian, ilmu Hubungan Internasional di Indonesia mengalami beberapa kendala dalam perkembangannya dikarenakan oleh pengaruh negara yang sangat kuat di era Orde Baru, masuknya akademisi ke dalam birokrasi pemerintahan, paham nasionalisme yang berlebihan, kajian yang hanya disesuaikan dengan kepentingan negara atau lembaga donor, dan yang terkini adalah komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Penulis menilai tulisan Bob S. Hadiwinata cukup komprehensif menjelaskan mengenai Hubungan Internasional di Indonesia sejak awal kelahirannya hingga tahun 2008. Hanya saja penulis melihat terdapat beberapa kali penyampaian alur yang maju mundur. Seperti pada sub-bab 1 mengenai sejarah, tapi kemudian dibahas kembali di sub-bab 2 dan 3. Sehingga pada beberapa bagian bacaan ini kurang mengalir dan membuat pembaca seolah kembali lagi ke penjelasan yang sebelumnya. Meskipun kemudian pada sub-bab 5 penjelasan mengenai komersialisasi sudah dapat memperjelas pembaca bahwa semua itu mengerucut pada gagasan merevolusi manajemen pendidikan tinggi di Indonesia.

Melalui tulisan tersebut, penulis mendapat beberapa tambahan informasi yang patut diapresiasi. Terutama mengenai sejarah studi Hubungan Internasional di Indonesia. Sudah sering penulis membaca mengenai ilmu Hubungan Internasional secara umum, isu-isu Hubungan Internasional dan perspektif yang digunakan dalam ilmu ini. Tetapi, baru lewat tulisan ini penulis dibawa menjelajahi sejarah dan perkembangan ilmu Hubungan Internasional di Indonesia. Mengutip dari pernyataan Presiden Soekarno pada peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1966, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”. Penulis berpendapat masalah-masalah yang dipaparkan oleh Hadiwinata sebenarnya dapat diperbaiki dengan mengulas kembali asal mula terjadinya masalah-masalah tersebut.

Dengan demikian, para penstudi Hubungan Internasional di Indonesia dapat memikirkan langkah-langkah untuk mengembangkan ilmu Hubungan Internasional, khususnya meningkatkan kualitas publikasi penelitian yang lebih baik. Walaupun nantinya tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa kubu yang membela sejarah dan beberapa yang ingin memperbaiki sejarah. Tetapi, bukankah perkembangan ilmu Hubungan Internasional sendiri juga dihiasi dengan Great Debates sehingga memunculkan isu-isu atau teori-teori baru yang memperkaya ilmu itu sendiri? Tidak ada salahnya kita berdebat selama dapat memunculkan pemikiran dan gagasan yang baru demi kemajuan ilmu Hubungan Internasional di Indonesia.

Oleh Adityo D. Sudagung

"International Relations in Indonesia: historical legacy, political intrusion, and commercialization", merupakan tulisan dari Bob S. Hadiwinata yang dipublikasikan pada tanggal 6 November 2008 pada International Relations of the Asia-Pasific Advance Access.