27 October 2011

Kumaha Aing We

Reputasi?

How do I Build my Reputation?

Pertanyaan di atas memerlukan jawaban sebuah proses. Proses yang saya lakukan dalam membentuk reputasi terhadap diri saya pribadi. Selama ini prinsip yang saya anut adalah biarlah orang menilai apa pun terhadap diri saya, karena inilah saya apa adanya. Untuk apa menutup-nutupi kekurangan kalau kekurangan itu adalah memang bagian dari diri saya pribadi. Selain itu, yang juga menjadi prinsip saya adalah biarkan orang lain menilai tanpa perlu dipamer-pamerkan. Mereputasikan diri saya istilahkan sebagai melakukan tindakan yang apa adanya sebagaimana saya biasanya.

Apa yang saya lakukan adalah karena saya ingin melakukannya dan mudah-mudahan tidak ada rasa kesombongan karena ingin dipandang baik oleh orang lain. Secara pribadi saya lebih menghargai orang-orang yang berani menunjukkan jati dirinya apa adanya. Tanpa harus memakai topeng. Tanpa harus mengenakan pakaian-pakaian yang bertujuan memperindah tampilannya di depan orang lain. Buat apa Anda terlihat cantik atau Anda terlihat indah jika di dalam keterlihatan cantik dan keterlihatan indah itu Anda sejatinya jelek?

Reputasi adalah bagaimana penilaian manusia melihat seseorang atau dalam kata lain bagaimana seseorang dilihat oleh manusia lainnya. Satu poin yang saya garisbawahi adalah reputasi merupakan bentukan pemikiran dan penilaian manusia yang tidak akan pernah lepas dari “subjektifitas”. Penilaian secara manusia dapat berubah-ubah tergantung seberapa subjektif penilai tersebut. Faktor-faktor kedekatan dan yang paling utama adalah faktor kemanusiaan (baca: rasa tidak enak) kepada kerabat atau orang yang kita kenal akan sangat mempengaruhi penilaian. Hal ini yang coba saya angkat bahwa mencari reputasi yang serba subjektif dan manusiawi ini bukanlah menjadi tujuan utama.

Utopiskah saya? Bahkan mendefinisikan utopis itu terlalu tinggi bagi saya. Tapi, begitulah adanya dan begitulah kenyataan duniawi yang sering kita temukan. Saya dinilai baik atau saya dinilai buruk tergantung si penilai atau si manusia tersebut. Apalah arti penilaian baik dari manusia jika saya tidak mendapat nilai baik dari Sang Pencipta. Seperti itulah kurang lebih ilustrasi jalan yang saya tempuh dalam rangka mereputasikan diri saya. Manusia juga bisa salah, tapi Allah tidak akan salah. Maka dari itu walaupun orang lain menilai saya adalah orang baik atau buruk bukanlah menjadi soal, karena yang lebih tahu apa yang saya perbuat adalah saya dan Allah.

Reputasi atau penilaian dari orang lain menurut saya adalah sebuah koreksi pribadi dan bukan menjadi suatu tolak ukur kepuasan dalam melakukan hal yang baik. Jika menurut orang lain itu adalah salah atau buruk, maka saya harus melihat rekaman tindakan saya dan menjadikan pelajaran. Kemudian jika orang menilai itu baik, maka tidak kemudian saya berbangga hati dan membusungkan dada karena hal tersebut tidak lepas dari tuntunan Allah. Karena saya yakin yang menilai dengan adil adalah Allah. Untuk itu ada sebuah pernyataan yang saya dengar dalam sebuah ceramah yang juga menjadi salah satu penyemangat saya adalah “Lakukanlah yang kamu yakini benar dan jangan saling menyalahkan kepada orang yang berbeda jalan dengan kita. Karena yang akan memberikan penilaian di hari akhir adalah Allah”.

Dari sebaris kalimat indah tersebut, saya kemudian memantapkan diri untuk insyallah jika Allah berkenan saya akan tetap melakukan sesuatu dengan cara dan gaya saya sendiri. Meningat reputasi bagi saya adalah bagaimana tetap menjadi diri sendiri. Dalam jargon Sunda, “Kumaha aing wae!”

diposting pertama kali di :

http://www.facebook.com/groups/150466301718640/doc/151329681632302/

23 October 2011

Suudzon Terhadap TNI?


Tersenyum simpul, itulah reaksi saya ketika menerima artikel ini. Sepengetahuan saya TNI memang tidak boleh terjun di dunia bisnis dan juga politik. Setelah saya membaca artikel ini, ternyata ada klausul yang membolehkan tentara masuk ke ranah bisnis. Yaitu, dengan dalil atas nama pemerintah dan negara jika ia duduk di Badan Usaha Milik Negara. Informasi baru dan tambahan pengetahuan bagi saya.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa apa yang saya yakini adalah TNI sebagai instrumen pertahanan negara harusnya tetap pada koridornya dan tidak terjun ke dunianya masyarakat sipil. Terjun disini dalam arti ikut dalam kegiatan politik atau bisnis. Karena menurut saya, tugas dan fungsi mulia yang mereka embang lebih besar dari sekedar ikut-ikutan bergabung di partai politik atau berenang di dunia bisnis. Tuntutan pekerjaan mereka mengamankan setiap jengkal Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman yang datang secara fisik.
Muncul pertanyaan terkait artikel ini, apakah sudah aman Indonesia dari ancaman sampai ada anggota TNI seperti Marsekal Madya TNI Rio Mendung Thalieb yang bisa ikut dalam dunia bisnis? Kalau dibilang aman, menurut saya ancaman tidak bisa diprediksi kapan datangnya sehingga menuntut kewaspadaan dan kesigapan pihak terkait. Lantas kenapa kasus ini bisa terjadi?
Kasus ini agak janggal karena terdapat dua perbedaan opini. Pertama, menurut Laksamana TNI Agus Suhartono menyatakan bahwa Bapak Rio Mendung tidak melakukan pelanggaran karena dia sudah memasuki masa 8 bulan sebelum pensiun. Dan berdasarkan UU TNI, anggota yang akan memasuki masa 1 tahun sebelum pensiun boleh melakukan penjajakan dan persiapan pensiun. Akan tetapi, pernyataan yang berbeda meluncur dari Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Beliau menyebutkan bahwa Rio yang saat itu menjabat Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional tidak diperkenankan terjun ke dunia bisnis. Hal ini dikarenakan beliau saat itu masih memangku jabatan struktural di TNI.
Sebagai warga negara yang baik, saya mencoba menyimak kedua pendapat yang bertolak belakang ini. Ada kondisi-kondisi di mana suatu aturan dapat di-multi-tafsirkan. Contohnya dalam hal ini berbeda kacamata, maka berbeda pula pemaknaan dan implementasinya. “Hebat” sekali aturan di negara kita ini, yang saya lihat di beberapa aturan ada celah yang bisa dipolitisirkan. Ada celah untuk memanfaatkan kepentingan-kepentingan tertentu bagi keuntungan segelintir orang. Saya melihat adanya sebuah kepentingan yang bermain dibalik perbedaan pernyataan antara petinggi negara ini. Lord Acton pernah menyebutkan, “Power tends to corrupt”. Saya melihat terkesan ada pihak yang mungkin bermain di balik kasus ini atau mungkin saja posisi Rio itu sendiri mendapat tempat tersendiri di tubuh TNI. Bukan bermaksud berburuk sangka, tapi perbedaan pernyataan ini memicu orang untuk berburuk sangka. Akan lain ceritanya jika kedua petinggi selevel Panglima TNI dan Menteri Pertahanan memberi pernyataan yang sama dalam kasus Rio ini.
Silahkan Anda memberikan pandangan dan saya berharap Anda dapat menambah pengetahuan saya dan kita semua yang membaca terhadap salah satu potret bangsa Indonesia. Semoga dari potret ini dapat menimbulkan sebuah perbaikan bagi negara kita Indonesia. Being different is not always bad, just believe what you believe it’s right.
ditulis pertama kali di :