28 August 2013

Kapan kita mau tertib kalau tidak dari diri sendiri?

Kadang saya merasa ada yang salah dengan lingkungan saya. Saat kita sejak kecil diajarkan untuk menaati peraturan, tapi yang saya lihat justru sekarang kita mengajarkan untuk melanggar peraturan. “Aturan itu dibuat untuk dilanggar” sepertinya sudah menjadi salah satu jargon termanjur dan terkenal saat ini. 
Contoh sederhana yang saya alami dan mungkin Anda sekalian alami adalah di jalan. Jalan raya dengan aturan lalu lintasnya sudah mulai jebol untuk dapat ditaati oleh masyarakat. Sering sekali lampu merah itu tidak mampu mengerem pengguna kendaraan bermotor untuk BERHENTI. Bahkan warna kuning sudah bukan lagi hati-hati, tapi telah diterjemahkan sebagai pemacu untuk lebih cepat supaya tetap mendapatkan hijau. Bahkan yang lebih parah, saya semakin sering mendapati orang-orang yang memakan hak lampu hijau jalur di depannya. Hal ini dapat itemui di beberapa persimpangan jalan di Kota Pontianak. Silahkan saja saksikan di simpang empat Jl. Pancasila, Jl. KH. Wahid Hasyim, dan Jl. Tanjungpura. 
Tidak hanya pengguna kendaraan bermotor saja, tapi kadang pejalan kaki juga demikian. Kasusnya adalah menyeberang seenak-enaknya. Tidak ada lagi “zebra cross” untuk menyeberang jalan. Tidak ada lagi jembatan penyeberangan untuk menyeberang jalan.
Begitupun kendaraan angkutan umum. Dulu saya masih ingat masih ada yang namanya halte, yaitu tempat pemberhentian sementara kendaraan angkutan umum. Sekarang halte sudah menyebar ke pinggir jalan-jalan, contohnya di Bandung di mana angkot-angkot dan bis-bis berhenti di mana-mana.
Sampai kapan kita akan tidak menaati aturan? Apakah sampai semakin banyak angka kecelakaan lalu lintas di tengah kota? Atau sampai sodara kita yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas? Sampai kapan pemerintah dan polisi menutup mata?
Mungkin saya termasuk dari golongan orang yang selemah-lemah iman. Karena menurut Hadits, tegurlah sebuah keburukan dengan tanganmu, lalu lisanmu, dan dengan doa dan yang terakhir adalah selemah-lemah iman. Ini mungkin sebuah ekspresi keprihatianan saya ketika saya tidak mampu berbuat banyak untuk membenahi lalu lintas.
Sebuah ajakan. Ya, ajakan untuk diri saya sendiri dan orang-orang di sekitar saya. Saya pernah juga mendengarkan seorang dosen mengatkan bahwa jika kamu ingin merubah dunia, mulailah dari merubah dirimu sendiri kemudian kamu akan merubah sekitarmu dan terus demikian hingga suatu saat kamu mampu merubah dunia.
Sebuah ide kecil dan prinsip kecil yang saya lakukan, mulai menaati aturan lalu lintas seperti berhenti saat merah, tidak belok di saat ada larangan belok, memakai helm saat berkendara, dan lain-lain. Tidak bermaksud untuk sok suci, tapi membiasakan diri sendiri untuk patuh dengan aturan. Supaya saat saya diamanahi untuk membesarkan anak, mereka bisa mencontoh kebaikan kecil dari Ayahnya. Betapa indah saat semua orang Indonesia juga demikian, maka akan tertib lalu lintas kita. 
Sebuah doa dan harap dari sudut kota Jatinangor yang terinspirasi dari pengalaman saya selama pulang kampung ke Pontianak dan hobi saya menelusuri kota-kota di Indonesia.

Oleh Adityo D. Sudagung
26 Agustus 2013

Doa Untuk Cinta

Aku titip hatiku di hatimu
Begitupun cintaku 
Meskipun lama aku pergi
Tapi jangan pernah berpikir aku hilang di sekitarmu
Cinta akan bersemi indah pada waktunya
Saling menguatkan dan setia bersama menunggu waktu itu
Adalah doaku untuk aku, kamu, dan kita kepada Tuhan

Oleh Adityo D. Sudagung
19 Agustus 2013

Saat Kita dan Ingatlah

Saat hati dan hatiku meragu
Ingatlah saat pertama kita bertemu
Ingatlah saat kita saling tertawa bersama
Saat kamu merasa sendiri
Ingatlah akan hadirku di sampingmu
Ingatlah akan cintamu di dalam hati

Saat kita berbahagia
Ingatlah kita dulu pernah lalui masa susah bersama
Ingatlah kita pernah melewati kebimbangan bersama
Hingga kini kita bisa tersenyum karena saling mencinta

oleh  Adityo D. Sudagung
19 Agustus 2013