28 April 2013

Kisah Hidup Manusia

Jalan nasib memang misteri
Selalu hadir kejutan kecil
Saat tiada disangka kehadirannya
Kadang membawa suka atau malah duka

Jalan takdir memang rahasia
Manusia mana yang tahu
Tuhan begitu rapi menggoreskan tintanya
Menuliskan gurat-guratan bagi makhluknya

Di situ tantangan hidup
Pada titik ini kamu akan lepas dari pikiranmu atas dunia
Melangkahlah dan biar Tuhan yang membimbing kakimu

Pasrah, lepas, dan percaya
Untuk langkah yang ada di hadapanmu
Syukur, ikhlas, dan sabar
Untuk langkah yang telah berlalu

29 April 2013
Oleh D. Sudagung

Kisah Pengelana Malam

Malam ini bulan lagi-lagi tersenyum dengan indah
Begitu teduh sekedar menatapnya
Kebiasaan baru seorang pengelana
Setiap malam tiba ia melihat ke atas
Berbicara pada rembulan
Membicarakan perjalan-perjalanan yang ia lakukan
Membicarakan siang
Mengutarakan harapannya untuk pagi
Meskipun ia sendiri bertualang di malamnya hari
Tidak sedikit pun ada rasa kesepian
Karena setiap malam ia selalu bertemu dengan rembulan
Masih menyimpan tanya akan akhir perjalanannya
Sebuah tanya yang sampai sekarang tidak bisa dijawab oleh rembulan

Namun, tidak hanya rembulan yang temani perjalanan ini
Pengelana ditemani sebuah harapan menuju cintanya
Menuju akhir yang bahagia
Menemukan cinta sejatinya
Kedua sahabat inilah yang menguatkan kaki-kakinya untuk terus melangkah melintasi malam
Rembulan dan cinta, dua ciptaan Tuhan yang selalu membuat pengelana hidup

28 April 2013
Oleh D. Sudagung

27 April 2013

Harapan di Ujung Daratan

Perlahan tapi pasti kapal ini melihat horison
Ia melihat bayang daratan dari kejauhan
Sudah hampir sampai ujar Sang Kapten
Sebayang daratan itu menjadi awal pengharapan kami
Pengharapan para pendayung sampan
Pengharapan para awak-awak kapal
Dan pengharapan Sang Kapten

Sebuah harapan yang selalu dijaga nyalanya oleh Sang Kapten
Karena jika api kecil itu padam akan jadi gelap seluruh kapal
Tidak akan ada daya ia mengarungi ganasnya samudera
Atau bahkan ia telah karam saat belum jauh dari tempat muasal

Jangan sedikit pun meremehkan harapan kawan
Sekecil apa pun ia, ialah yang menghidupi kapal itu
Sekuat apa pun kapal itu jika ia tidak dibarengi harapan untuk berlabuh
Maka, sampai akhir ia tidak akan berlabuh
Tidak akan ia mencapai daratan terindah yang diidam-idamkan

28 April 2013
Oleh D. Sudagung

25 April 2013

Aku, Kamu, dan Rembulan

Rembulan pun tersenyum malu menatapmu
Ia hanya berani melihat di balik awan nan hitam
Begitu mempesonanya dirimu hingga ia salah tingkah
Tersipu malu hingga tak berani menunjukkan rupanya

Kamu begitu cantik nona
Jangankan rembulan, aku pun begitu malu menatapmu
Aku yang hanya mencuri-curi waktu melihatmu
Sadarkah kamu akan hadirku?
Sadarkah kamu akan hadirnya rembulan yang tertutup awan?

Kamu begitu indah nona
Hingga rembulan yang tadi gagah bersinar menjadi ciut
Sinarnya kalah dengan sinarmu
Sebaris kata ini juga salah satu buktinya
Aku ciut untuk menatapmu
Bukan tidak ingin merangkai kata sekedar berbincang denganmu
Hanya saja waktu belum membukakan jalannya untuk obrolan itu
Biarlah kita berbicara lewat rembulan
Saat kamu menatap rembulan dan aku juga menatapnya
Biar rembulan yang jadi perantara pertemuan kita
Rembulan itu juga yang jadi saksi pertemuan pertama kita

25 April 2013
Oleh D. Sudagung

Rembulan Yang Tersenyum

Memandang rembulan memang nyaman
Menikmati indahnya si penguasa langit malam
Ia bersinar sendiri di gelapnya malam
Senyumnya meneduhkan
Di malam yang sepi ia menemani pengelana
Menjadi penunjuk jalan bagi petualang yang berjalan di tengah malam

Begitu pun senyumanmu di hari-hariku
Ia yang membuatku tersenyum kembali
Walaupun hanya sesaat senyuman itu menjadi penerang risauku
Hadirmu membimbingku dari gelap menuju terangku
Kamu juga yang ajarkanku kembali arti bahagia
Kamu si rembulan yang tersenyum

25 April 2013
Oleh D. Sudagung

23 April 2013

Perjumpaan dengan Si Dia

Tepat tanggal 23 April 2013, terjadi sebuah perjumpaan unik dengan seorang yang luar biasa unik menurut saya. Sebenarnya petemuan kami sudah diawali sejak tahun 2011. Lantas apa beda perjumpaan dengan pertemuan? Perjumpaan saya artikan sebagai pertemuan tatap muka saya langsung dengan dia. Sedangkan pertemuan adalah saat saya berjumpa lewat tulisan-tulisan dia. Puitis ya bahasanya? Begitulah saya. Sebelum cerita tentang saya tambah panjang menghiasi tulisan ini kita kembali ke bahasan utamanya, Si Dia.
Sebuah pertemuan yang tidak direncanakan sampai dengan seminggu lalu. Waktu itu saya melewati jalan kampus dengan kebiasaan cuci mata. Cuci mata itu bisa dengan melihat wanita, pemandangan alam, suasana kampus, dan spanduk-spanduk.  Terpampang sebuah spanduk besar di dekat gerbang masuk kampus yang pada tengahnya tertulis nama Tere Liye. Otak saya langsung berpikir memutuskan saya harus datang. Meskipun saat itu otak saya tidak bisa memutuskan untuk segera melakukan pengereman atau balik arah karena motor saya sudah terlanjur melaju kencang. Ya, janji itu pun dibuat dalam otak saya pada tanggal 23 April 2013. Lantas saya menghubungi seorang kawan yang juga minat yang sama dengan Si Dia. Kami sama-sama punya cerita sendiri soal awal pertemuan kami dan pertemuan itu sangat berkesan buat kami dan saya pribadi.
Sesampai di fakultas ingatan tentang Si Dia sedikit hilang karena kegiatan yang saya lakukan di sana ditambah dengan guyur hujan. Hujan memang musuh besar dalam kegalauan saya. Oke, maaf kembali lagi ini bukan tentang saya tapi tentang Si Dia. Kisah perjumpaan ini berlanjut dengan usaha saya pontang panting mencari cara untuk merealisasilkan janji dengan Si Dia. Sepulang dari kampus ternyata tidak ada spanduk tentang Si Dia di pintu keluar. Kecewa karena harus memutar balik ke gerbang masuk, tapi kekecawaan lebih besar dibanding usaha saya untuk memutar balik. Rencana cadangan adalah browsing di internet, mulai dari google sampai web kampus, hingga ketemu sebuah akun twitter yang me-retweet info dari panitia. Harapan itu muncul lagi kawan. Tanpa basa-basi saya ikutan retweet dan mem-followakunnya sambil tidak lupa simpan nomor kontaknya. Berhubung sudah jam 11 malam, saya urung menghubungi Sang Perantara.
Keesokan paginya saya harus datang pagi sekali ke kampus karena ada tugas negara melatih para prajurit perang futsal jurusan. Nasib baik dari Langit mempertemukan saya lagi dengan selembar besar spanduk yang sama tapi di gerbang bawah. Tanpa menunggu lama saya menghubungi Sang Perantara untuk membuat janji ketemu Si Dia. Sedikit negosiasi karena Sang Perantara menyebutkan jam 9 pagi sebagai syarat untuk bertemu menyepakati harga, tetapi akhirnya Sang Perantara masih menyediakan jam 3 sore. Baik, sepakat dan saya melanjutkan melatih.
Jam 3 dan saya terlambat karena baru bisa hadir pukul setengah 4. Nasib baik ternyata Sang Perantara masih menunggu di situ dan ditambah sebuah kabar gembira, beli 2 gratis 1. Kebetulan saya mau beli 2 janji dan bonusnya gratis 1 janji lagi. Sedikit masalah baru muncul, untuk siapa 1 janji ini? Nanti saja pikirku. Ada satu orang yang ingin diajak, tapi mengingat rutinitasnya kemungkinan itu kecil untuk bisa menghadirkan ia di janji itu. Negosiasi panjang dengan sahabat yang mendapat hak tiket kedua tentang siapa yang akan kita ajak menepati 1 janji lagi. Beberapa nama sempat direkomendasikan hingga pada hari H, sahabat kami yang kebetulan datang dari Bandung datang ke kostan. Memang hobi baca novel dan tulis menulis, langsung saya sergap dengan ajakan ikut. Sedikit penolakan karena dia belum pernah baca tulisan Si Dia, saya balas dengan menyodorkan “Rembulan Tenggelam Di Wajahmu”. Hingga deadline jam 3 sore pada tanggal 23 April 2013 masih galau sahabat saya sampai akhirnya dia memutuskan ikut menepati 1 janji gratis itu.
Sampai di tempat perjumpaan kami, duduk menunggu yang mana sih muka Si Dia? Kayak mana sih perawakannya dan kayak mana sih orangnya? Karena jujur dari sejak pertemuaan pertama, kedua, dan ketiga saya masih belum tahu yang mana Si Dia ini. Bahkan sehari sebelum perjumpaan saya sempat searching di internet hanya sepotong foto seorang suami memotret istri dan anaknya. Sebatas itu saja yang saya tahu dari wajah Si Dia. Tiga kali bertemu lewat “Sang Penandai”, “Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah”, dan “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” tidak cukup hingga saya sejak bertemu pertama kali lewat “Sang Penandai” sepakat dengan diri saya bahwa Si Dia ini hebat. Salah satu tulisan yang menginspirasi dan mungkin kemudian waktu mudah-mudahan saya disempatkan Tuhan menulis tentang tiga pertemuan saya.
Si Dia muncul dengan setelan anak muda, santai, nyantai, dan jauh dari bayangan saya. Memakai kaos lengan panjang, celana lapangan, dan semacam sepatu gunung. Badan kurus, rambut rada cepak, kalau kata sahabat saya mukanya culun. Well, itu kesan pertama pertemuan kami. Dalam bayangan saya orang ini rambutnya gondrong dan bertubuh gempal. Kecewa? Tidak, karena itu hanya rekayasa imajinasi saya dan bersyukur sempat bertemu dengan Si Dia. Inilah Darwis Tere Liye yang saya kenal lewat tulisan “Sang Penandai”. Mungkin yang lebih Anda kenal dengan “Hafalan Sholat Delisa” atau “Bidadari-bidadari Surga”. Jangan tertipu kawan dengan perawakannya yang culun. Gaya bicaranya persis sosok Ray, yang dikisahkan dalam “Rembulan Tenggelam di Wajahmu”, menguasai dan menusuk.
Sepanjang perjumpaan kami, Bang Darwis (begitu sapaan dalam perjumpaan itu) mengawali dengan kisah 3 orang mahasiswi kedokteran. Mereka bertiga adalah sahabat satu kampus, satu kelas, dan satu asrama bahkan. Setelah disahkan menjadi dokter mereka berjanji dalam sepuluh tahun mereka akan bertemu kembali dan melihat siapa diantara mereka yang paling banyak pasiennya.
Sepuluh tahun berlalu terjadilah reuni tiga sahabat tersebut. Dokter A menjadi seorang dokter umum di kotanya. Dokter umum yang sangat amat ideal. Baik hati, ramah, sering memberikan pelayanan gratis bagi yang tidak mampu dan banyak dikunjungi oleh pasien saat membuka praktek. Terhitung sampai puluhan ribu pasiennya dalam 10 tahun. Dokter B memilih menjadi dokter spesialis penanganan bencana. Meskipun bencana tidak rutin setiap saat, tapi kalau sudah terjadi seorang dokter spesiali bisa menangani ratusan sampai ribuan pasien. Jumlah pasien yang dicapai hampir sama sekitar puluhan ribu pasien. Giliran Dokter C berkisah yang hanya bilang saya selama 10 tahun ini hanya merawat 2 pasien. Bagaimana bisa? Ternyata sejak dia lulus, pulang ke kota asalnya, dan menikah ternyata Ibunya sakit keras dan lumpuh. Hingga 5 tahun setelahnya Si Ibu meninggal dunia. Nasib ternyata masih belum berbaik hati, suami Dokter C ini juga menderita sakit yang sama selama 5 tahun. Jadi, pekerjaan si Dokter C hanya merawat ibu dan suaminya. Hanya itu. Tapi, Dokter C punya rahasia kecil. Dalam 1 dan 2 tahun pertamanya merawat Si Ibu dia merasa frustasi karena ia sebagai lulusan kedokteran hanya bisa merawat seorang ibu dan tidak bisa mendapatkan apa yang bisa didapatkan oleh dokter muda yang lain. Hingga di tahun ketiga dia mulai bisa berdamai dengan perasaannya dan memutuskan menulis pengalaman dan ilmunya selama merawat Si Ibu di blog. Tanpa terasa hitungan waktu berjalan seorang editor di salah satu penerbit melihat harta karun ini dan memutuskan menghubungi Dokter C untuk menerbitkan tulisan-tulisannya dalam sebuah buku. Tidak hanya 1 buku tapi menjadi 5 buah buku, mulai dari merawat ibu sampai ilmu kedokteran baru dengan ramuan herbal. Buku itu mencapai jutaan kopi, memberikan manfaat bagi banyak orang dan ternyata buku ini yang juga dipakai oleh teman-temanya tadi. Jadi, Dokter manakah yang paling banyak memiliki pasien?
Perjumpaan kami dilanjutkan dengan beberapa sesi tanya jawab dan diawali dengan salah seorang penanya yang bertanya, “Kenapa tidak memasang profil Bang Darwis di buku?“ Jawaban yang bijak dari seorang Darwis Tere Liye adalah “Tidak ada urgensinya penulis muncul di mana pun. Saya menghargai para penulis yang hendak menulis profil dan akhirnya diketahui banyak orang. Saya juga berharap orang lain sebaliknya menghargai saya dengan prinsip saya untuk tidak meletakkan profil saya.” Bang Darwis percaya pada prinsip menulislah banyak hal dan membagikan banyak hal. Tanpa harus berharap pada likes dan comment. Karena penulis yang baik tugasnya adalah menulis. Begitulah sesi awal tanya jawab yang terjadi.
Kemudian Bang Darwis menambahkan lagi dengan sedikit kisah kebahagiaan dia sebagai penulis. Suatu ketika di pesawat ada orang di sebelah saya membaca karya saya dan ia sambil malu-malu menutup muka menangis tanpa tahu kalau di sebelahnya itu ada penulisnya. Atau saat menunggu di bandara  saya melihat orang yang membaca karya saya tanpa tahu orang yang menulisnya melewatinya. Saat menonton Hafalan Sholat Delisa di bioskop bisa melihat banyak anak kecil yang bisa mengucapkan “Aku sayang Mama”. “Itu adalah kebahagiaan buat saya, itu adalah achievement yang luar biasa buat saya.”, begitu Bang Darwis menyampaikan.
Pesan kedua dari perjumpaan kami adalah menulis itu butuh amunisi. Ibarat mengisi 6 gelas teko dengan sebuah ceret berisi air, kalau air di dalam ceret itu habis maka tidak akan terisi gelas-gelas itu. Tapi, saat kamu punya selang air yang terhubung ke mata air pegunungan bukan cuma 6 gelas yang bisa kamu isi melainkan 1 tangki air pun bisa kamu isi. Ini adalah pesan kedua Bang Darwis buat kita-kita yang punya keinginan menulis.
Pesan selanjutnya dari Bang Darwis adalah “Penulis yang baik cinta dengan dunia tulis menulis tanpa terpaksa. Ibarat buang air besar kalian tidak pernah terpaksa untuk melakukannya. Cinta itu ada karena terbiasa menulis.” Simpel bukan, semua bermula dari cinta. Kalau cinta terus mau apa? Gunung tertinggi juga akan didaki atas nama cinta, laut terdalam juga bisa diselami atas nama cinta. 1 kata yang punya banyak motivasi dan kekuataan, Cinta.
Perjumpaan ini berlanjut pada pertanyaan kisah dulu Bang Darwis mulai merintis menulis fiksi. Beliau bilang, “Saya memiliki 2 pilihan saat itu, pertama menjadi kolumnis tetap yang akhirnya menjadi pengamat ekonomi politik. Atau kedua saya menjadi penulis fiksi dan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang banyak. Simpel, konkrit, dan bermanfaat. Saya bisa menulis apa saja dengan menjadi penulis fiksi.” Lagi-lagi kesederhanaan pola pikir yang tersampaikan dengan sangat sederhana tapi punya makna yang lebih dari sekedar kata S.E.D.E.R.H.A.N.A. Kita harus punya manfaat bagi orang lain. Ini pesan ketiga yang bisa saya petik dari perjumpaan kami.
Sebuah kalimat hebat lagi yang meluncur dari Bang Darwis adalah “Apakah kalian mau bertanggung jawab terhadap setiap tulisan kalian? Bertanggung jawab terhadap setiap paragraf yang kalian tulis?”. Ini adalah kalimat nasihat agar para penulis ataupun calon penulis memperhatikan dan mempersiapkan apa yang ditulis. Karena dampak dari tulisan Anda bukan main-main. Penafsiran itu datang dari para pembaca dan bisa saja terjadi salah tafsir yang justru mempengaruhi pembaca tersebut. Maka, dari itu beliau mengisahkan dalam menulis “Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin” sangat berhati-hati supaya tidak salah pembaca menafsirkan dan tidak bisa dipungkuri masih ada saja yang salah menafsirkannya.
Melanjutkan perjumpaan kami dengan sedikit perumpamaan, manusia modern menulis 1000 kata tiap hari. Bayangkan dalam satu tahun manusia modern menulis 365.000 kata. Sedangkan satu novel rata-rata berisi 50.000 kata. Idealnya manusia modern bisa membuat 7 buah novel dalam setahun. Tapi, itu tidak terjadi dan apakah kalian akan tetap dalam kesia-siaan itu? Bangsa Indonesia merupakan salah satu yang masuk dalam kategori tersebut. Bayangkan dalam sehari ada jutaan update status Facebook dan Twitter dari orang-orang Indonesia. Tapi, hanya sedikit yang benar-benar menulis.
Salah satu kalimat inspirasi lainnya datang dari Bang Darwis. Kalimat ini yang beliau sampaikan hampir di setiap workshop atau seminar penulisan. “Saya hanya menyalakan api kecil di dada kalian, tapi yang menentukan api itu menyala besar atau malah padam adalah kalian sendiri.” Karena yang tahu apa yang nantinya kita tulis adalah diri kita dan itu ada di dalam diri kita. Mari kenali diri sendiri, mungkin begitu maksud Bang Darwis. 
“Tulisan tidak harus megah dan hebat, yang penting kalian terus menulis. Tidak berharap like dan comment. Konsisten menulis. Jangan remehkan sekecil apapun tulisan Anda, karena kita tidak tahun akan sampai di mana gaungnya.” Ini juga kalimat yang sangat inspiratif dari Bang Darwis. Perumpamaan dari beliau adalah saat kalian rutin menulis dan post di blog misalnya, lihat dalam 3-5 tahun lagi maka tulisan itu akan jadi harta karun yang paling berharga buat kalian. Memang tidak ada yang tahu sampai ke mana manfaat tulisan-tulisan kita.
Menutup perjumpaan kami setelah hampir 1 jam bertatap muka, Bang Darwis menyampaikan dua buah cerita lagi. Cerita pertama tentang seorang anak perempuan usia 15 tahun kira-kira kelas 1 SMA yang hidupnya berantakan, orang tuanya cerai dan beban hidupnya berat datang di sebuah workshop. Ia mulai menulis untuk menumpahkan gundah gulana kekesalannya. 1-2 tahun berjalan dia masih menulis tentang kekesalannya dan di tahun ketiga dia mulai menulis tentang harapan-harapan. Meskipun setiap beberapa bulan sekali ia meminta Bang Darwis mengomentari, tetap saja Bang Darwis dengan prinsipnya menolak karena kita sudah sepakat kita menulis tidak berharap likesdan comment kata beliau. Sampai suatu waktu Si Anak ini bercerita kalau ternyata ada satu anak juga di seberang pulau sana yang punya nasib yang sama bahkan ingin bunuh diri. Hingga ia menemukan tulisan Si Anak ini dan itu merubah kehidupannya karena ia merasa ada teman senasib sepenanggungan. Ajaib, tulisan kecil tersebut mampu berdampak besar pada seorang anak lainnya.
Perjumpaan kami akhirnya ditutup dengan kisah persahabatan Burung Pipit, Penyu, dan Sebatang Pohon Kelapa. Kisah ini bermula ketika mereka bertiga saling bercerita kisah petualangan masing-masing. Burung Pipit yang terbang menjelajahi langit telah sampai ke belahan dunia lain dan mengunjungi berbagai macam kota-kota baru yang berbeda-beda. Pun demikian Penyu yang berenang menyeberangi samudera menuju peradaban-peradaban baru yang berbeda dengan tempat asal mereka. Tapi, apalah daya Sebatang Pohon Kelapa yang dari sejak ia lahir sampai sekarang hanya berdiri memandangi matahari yang terbenam dan terbit. Namun, ia punya sebuah rahasia kecil. Buah kelapanya yang jatuh setiap kali dibawa ombak akan menuju ke ujung pantai yang lain dan ujung negeri yang lain. Ia tumbuh menjadi pohon kelapa lagi  dan terus begitu hingga anak peranakannya telah mencapai berbagai macam ujung dunia baru. Jadi, pohon kelapa yang kulihat di negara seberang sana adalah anak-anakmu? Begitu tanya Burung Pipit dan Penyu. Ya, memang Sebatang Pohon Kelapa tidak beranjak dari tempatnya tetapi ia menyebar buah-buahnya untuk menggapai ujung dunia yang lain.
Kesan perjumpaan pertama yang amat dalam. Berbagai kisah yang diceritakan sangat bermakna. Tidak salah penilaian awal saya sejak bertemu lewat “Sang Penandai” bahwa ini orang beda, ini orang hebat. Semoga saya dan Anda sekalian bisa menikmati membaca tulisan Bang Darwis atau bahkan kita juga jadi bagian dari penulis yang menggaungkan manfaat ke banyak orang lain tanpa berharap likes dan comment.
Ditulis di suatu pagi tanggal 24 April 2013.
Oleh D. Sudagung

Kata Hati dan Nafsu

Pernahkah kamu bertanya pada hatimu?
Ataukah kamu hanya berjalan mengikuti nafsumu?

Ini pilihan kawan
Melangkah mengikuti kata hati
Atau mengikuti melangkah dengan nafsu
Memang kamu sama berjalan
Dan kamu tetap melangkah

Hasilnya?
Tanyakan pada dirimu
Bercermin dengan dirimu
Hanya dirimu yang tahu jawabnya
Bukan datang jawaban dari orang lain

24 April 2013
Oleh D. Sudagung

Rindu Dalam Sebuah Mimpi

Bagaimana kalau rindu?
Bagaimana kalau kangen?
2 tanya dalam benak
Saat mata tiada menatap
Saat tangan tiada menyentuh
Saat hadir tiada terasa

Ibarat bulan merindukan siang
Ia hanya dapat meirndu tanpa mungkin bertemu
Karena tak ada siang dengan rembulan
Lantas bagaimana mereka akan bertemu?
Di dunia penuh mimpi dan harapanlah tempatnya
Tempat di mana tidak ada batas untuk kemustahilan
Di sana Sang Bulan dapat memeluk Sang Siang

Berandaikah aku?
Berkhayalkah aku?
Tidak kawan, aku bermimpi dan berharap
Bertemu bertemu kekasih hati dan berharap Pemilik Langit memeluk mimpiku

Oleh D. Sudagung
23 April 2013

Saat Ku Teringat dengan Kamu

Saat ku teringat dengan kamu
Aku hanya berdoa pada pemilik rembulan untuk menjagamu
Saat ku teringat dengan kamu
Aku memejamkan mata membayangkan senyuman dan wajahmu
Saat ku teringat dengan kamu
Aku terdiam mengingat setiap kenangan
Saat ku teringat dengan kamu
Aku menjadikannya energi untuk maju
Saat ku teringat dengan kamu
Aku ingin kita bahagia dengan jalan-Nya
Walau kamu tak di sampingku
Saat ku teringat dengan kamu Braga-ku

22 April 2013
Oleh D. Sudagung

17 April 2013

Gilanya Cinta

Terserah mau bilang aku gila
Terserah mungkin orang juga bilang aku gila
Ya cinta memang bikin gila
Setidaknya aku tau aku gila karena menyukaimu

Entah berapa malam aku harus termenung mengingatmu
Entah berapa pagi aku hanya duduk melamunkan senyummu
Bodoh dan konyol memang
Tapi cinta yang membuatku bodoh dan konyol

I just want to spend my time with you
Utopis, tapi itu benar dari hari 
Hanya di hati
Tidak berani kuungkapkan
Aku takut lancang untuk mengganggu waktumu
Inilah aku si bodoh, si konyol, si penakut, dan si gila yang menyukaimu

18 April 2013
Oleh D. Sudagung

15 April 2013

Sebaris Tanya di Penghujung Hari

Kalau aku kehilangan ingatanku, apa yang akan kamu lakukan?
Kalau aku tidak lagi menjadi diriku yang dulu, apa yang akan kamu lakukan?
Saat ada kalanya aku tersesat di dunia tanpa ingatan
Di titik mana kamu akan datang membawa aku keluar?
Apakah kamu hanya akan membiarkan aku hilang?
Atau kamu akan berjuang untuk mengingatkanku kembali?

Tanya di atas begitu saja muncul saat itu
Saat aku memikirkan hadirmu
Aku mungkin tidak selalu seperti ini
Tidak selalu menyukaimu seperti sekarang
Bisa saja Tuhan menguji kita dengan menghalangiku mengingatmu
Bisa saja Tuhan menguji kita dengan membuatku tak lagi mengenalmu
Seberapa besar rasa yang kita miliki saat ini, mungkin belum seberapa tanpa ujian
Begitu pun hidup seseorang manusia tanpa ujian
Ia hanya akan berjalan ditempat tanpa mengalami peningkatan kualitas

Sampai di mana rasa ini akan bertahan?
Begitu banyak tanya yang sekarang muncul dalam benakku
Begitu banyak hingga ia datang dari sejak pagi hingga malam
Tanpa mampu ku jawab
Tanya itu hanya akan terjawab dengan hadirnya kita
Bukan dengan hanya hadirnya aku atau kamu, tapi kita

15 April 2013
Oleh D. Sudagung

14 April 2013

Buku Hidupmu

Saat usiamu menua
Lembar kisah masa lalumu kian datang
Ia hadir dalam ingatanmu
Mengembalikan kepingan-kepingan ingatan yang telah lalu
Saat ia merasuk dalam harimu
Kapan kamu akan berjalan?
Kapan kamu akan melangkah?
Buku hidupmu harus terus ditulis
Bukan untuk selalu kembali pada awal halaman
Tapi ia ada untuk dirampungkan hingga tamat

12 April 2013
Oleh D. Sudagung 

Ini Negeriku

Senyuman pagi menyapa kami
Tiga manusia yang sedari malam menyusuri dunia
Bertemu beragam manusia lainnya di atas Kahuripan
Gelak tawa dan senyum santun menghiasi setiap perjumpaan kami
Masing-masing datang dan pergi dengan tujuannya

Kahuripan …
Kini aku duduk di tepian pintu
Menatap indahnya negeriku
Menatap hijaunya padi dan pepohonan
Semilir angin menerpa mukaku 
Menjadi penyemangat untuk tidak berhenti menikmati indahnya Indonesiaku

22 Maret 2013
Oleh D. Sudagung

Cinta

Cinta . . .
Sekilas tapi berarti
Sesaat tapi penuh makna
Bilangan hari t’lah membukakan mataku
Menyadarkanku akan keberadaanmu

Cinta . . .
Dunia memang gila
Begitupun aku yang tiba-tiba tergila-gila padamu
Kuasa Tuhan yang tak dapat dibendung
Membutakan aku dari menikmati dunia

Cinta . . .
Kenapa rasa itu baru datang?
Kenapa tidak dari dulu?
Kenapa tidak saat kita lebih sering bertemu?
Kenapa ketika kita hanya bertukar pesan tanpa bertatap muka?

Cinta . . .
Ku harap itu benar kamu
Kamu yang kembalikan senyuman di wajahku
Kamu yang membawa secercah cahaya
Terangi gelapnya malamku
Terangi sendunya hati
Lengkapi hidupku dengan senyumanmu

31 Maret 2013
Oleh D. Sudagung

Bukan Kamu, tapi Dia

Saat jalan menemui akhirnya
Di mana kata tiada lagi berguna
Ketika umpatan yang keluar dari mulut
Itu tanda titik buatku

Tapi tidak untuknya
Dia yang datang membawa cahaya baru
Walau itu hanya sebentar
Hadirnya membimbing hati ini perlahan
Mengubur seketika rasa yang pernah tumbuh
Menggantinya dengan rasa yang lebih baru
Di mana ada dia dan bukan kamu

Tanpa ku sadari kebersamaan kami yang sekejap menjadikan ia lebih berarti
Ia yang dulu hanya kulihat tapi tiada ku rasa
Walau sesaat aku kembali menemukan harapan
Aku melihat lagi ujung dari cahaya

Kini dia yang kunanti
Dia yang kutunggu hadirnya
Meski  aku tiada tahu isi hatinya
Aku ingin angin membawa salamku padanya
Menerpa wajahnya
Dan membisikkan cinta ke dalam hatinya

31 Maret 2013
Oleh D. Sudagung

Kamu

Kamu adalah yang membuatku tersenyum
Kamu adalah yang membuatku selalu ingin menatap hari
Tapi kamu juga yang buatku meradang
Kamu juga yang buatku merasakan sakit di hati
Segala senyummu dan sikapmu menyimpan banyak makna

Kamu bisa buatku bahagia
Kamu juga bisa buatku marah
Kamu mau tahu kenapa aku masih bertahan denganmu?
Karena cinta aku bertahan
Karena cinta aku kini masih bersamamu

17 Pebruari 2013
Oleh D. Sudagung

Sang Hitam dan Putih

Ketika hitam bertemu putih
Hitam dengan gelapnya
Putih dengan terangnya
Hitam dan putih kadang tiada menyatu
Gelap pun tiada bersama Sang Terang
Kisah hidup pun memiliki hitam dan putih

Begitu juga kita
Aku dengan sisi hitamku
Kamu dengan sisi putihmu
Kemana titik temu keduanya?
Aku masih risau dan bingung sekarang
Aku yang belum terbiasa dengan putihmu
Begitu pun kamu dengan sisi hitamku

Aku sadar tidak mungkin menuntutmu banyak hal
Karena kita punya cirinya masing-masing
Karena cintalah kita bertemu
Karena cinta kita bersama
Dan karena cinta aku ada untukmu

20 Desember 2012
Oleh D. Sudagung