07 March 2015

Senyuman

Akhirnya aku sampai di kota ini. Kota penuh kebisingan. Kota yang sehari-hari matahari bersinar sangat terang. Cuaca yang cukup ekstrim dibandingkan kampungku di kaki gunung. Sesuram apa pun kau, di sini adalah tempatnya orang mencari rejeki yang lebih baik. Sangat pantas begitu banyaknya orang mau ke sini, termasuk aku. Ya, aku anak ingusan yang selepas lulus kuliah mencoba peruntungan. Bermodal ijazah sarjana mungkin itu cukup.

Di kota ini aku memilih mencari kostan di pusatnya kota. Bukan pusat yang kalian bayangkan akan penuh gedung mewah dan tinggi. Aku memilih sisi lain dari pusat kota. Jalanan kecil, penuh bangunan menengah dan rumah yang berhimpitan. Untungnya aku memilih lantai 3 yang cukup untuk melihat hamparan pemandangan kota.

"Lihatlah Bu, anakmu akan jadi orang di kota." ucapku saat menyusun beberapa foto di dinding kamar.

Hari berlalu, beberapa minggu berlalu. Aku masih saja sekedar mampir di kantor-kantor besar. Sekedar menitipkan berkas-berkas. Ternyata begitu keras kota ini. Pantas saja Ibuku sempat tak setuju.

"Daripada kau ke kota mending kau kelola peternakan Ibu, Nak." jawaban ibuku saat aku meminta ijin merantau.

"Aku ingin tantangan baru, Bu. Aku ingin lebih dari sekedar mengurusi sapi, domba, dan ayam di sini. Bosan. Sedari dulu juga aku sudah membantu. Sekarang aku ingin ke kota, titik." ujarku lantang saat Ibu tidak juga memberikan ijin.

Sudahlah, mungkin Ibu yang tidak percaya dengan kemampuanku. Itu pikiranku saat itu. Ternyata keberatan Ibu cukup beralasan. Kau tidak akan cukup bermodalkan ijazah di kota besar semacam ini.

Di sore yang ketujuh, aku hanya menghempaskan diri di kursi goyang di balkon kosan. Membakar sebatang rokok. Menerawang jauh ke langit. Anakmu bodoh, Bu.

Entah apa kata orang tentang suasana langit sore ini. Tapi bagiku sore ini begitu suram. Tambah lagi aku bisa melihat beberapa orang yang baru pulang kerja. Walau tampak lelah, tapi aku melihat guratan bahagia di sana. Setidaknya itu tafsiranku, karena bekerja kau dapat penghasilan lalu kau bisa belanjakan untuk apa saja. Tidak bingung sepertiku yang harus makan apa malam ini. Rokok pun aku hanya mampu membeli 1 atau 2 batang saja. Belum lagi grup whatsapp-ku berbunyi dengan beberapa chat dari teman yang cerita masa-masa awal kerjanya.

Aku? Masih bekerja menerawang langit. Aku memilih menghabiskan saja waktu di malam ini tanpa rencana melamar esok hari. Aku off dulu besok. Semangatku hilang bersama tenggelamnya matahari sore.

Tahukan apa yang terjadi saat banyak hal yang kau pikirkan? Susah tidur, gelisah, atau dalam bahasa kekinian orang menyebutnya galau. Aku mulai putus asa berkutat di kota ini. Padahal baru seminggu. Baru saja tujuh hari dan aku sudah cukup lelah di sini.

"Andai saja aku dengarkan kata-kata Ibuku saat itu.", ucapku dalam hati.

Satu tarikan nafas panjang di malam hari cukup jelas memperlihatkan rasa frustasiku. Aku memutuskan merebahkan diri di karpet. Untuk apa aku nyaman tidur di kasur sementara saat bangun aku tetap saja susah?

Malam itu musnah sudah keinginanku untuk membuang waktu dengan tidur yang panjang. Aku kembali melanjutkan renunganku. Kali ini sepetak kamar sepi berukuran 2 x 3 ini yang jadi saksi.

Di tengah lamunanku, aku teringat ibuku pernah menitipkanku sepucuk surat yang tidak boleh kubuka saat itu.

Dia berpesan, “Bukalah surat ini saat kau benar-benar perlu saja. Semoga bisa sedikit membantu.”

Aku langsung saja mencoba mencari-cari surat itu. Sialnya aku lupa dimana keberadaan surat itu. Aku pikir karena kata ibu nanti saja bacanya aku taruh saja sembarangan di antara tumpukan barang-barang bawaanku.

Setelah cukup lama mencari, akhirnya surat itu ketemu. Dia terselip di antara baju-baju tidurku.

Anakku. Saat kamu membaca surat ini mungkin kamu sedang susah hati. Ibu hanya bisa berpesan untuk meluruskan niatmu, Nak. Kenapa kamu ingin merantau? Carilah jawaban pertanyaan itu, Nak. Kalau sudah kamu temukan, peluk erat-erat alasan itu dan selalu ucapkan saat semangatmu mengendur. Sertakan juga ia dalam doa dan sholatmu. Insyallah Tuhan akan membimbingmu ke jalan yang baik. Ibu selalu mendoakanmu dan mendukungmu dari sini. Ketahuilah, Nak, Ibu tidak pernah membenci ataupun menolak keputusanmu merantau.

Bergetar hatiku membacanya. Betapa ibuku menyanyangiku. Sempat aku mengira ibuku tidak senang dengan perantauanku. Selama ini aku salah. Mungkin benar kata orang dahulu: Kasih anak sepanjang jalan, sementara kasih ibu sepanjang masa.

ps: Coba kamu cari rumah makan tua yang dikelola oleh orang-orang tua. Mungkin kamu bisa dapat banyak cerita dan pelajaran dari mereka. 

Itu nasihat terakhir di baris bawah surat ibuku.

Apa maksudnya?

————————————————

Pagi ini aku terbangun lebih awal. Pertama, karena masih banyak pikiran di kepala. Kedua, termotivasi surat dari ibu. Pagi di ibukota tidak begitu buruk. Aku bisa melihat sinar fajar merah muncul di balik langit. Udara yang masih segar. Saking sibuknya aku mencari kerja, aku lupa menikmati pemandangan indah ini. Sebuah tarikan nafas panjang mengawali pagi.

"Aku ingin menyerap energi positif pagi ini.", ucapku dalam hati.

Benar kata orang, suasana hati mempengaruhi sudut pandang dalam melihat sesuatu. Surat semalam aku bingkai di dinding kamar di samping kaca. Terima kasih Ibu. Setiap pagi dan malam aku pandangi. Suatu energi baru datang ke diriku. Minggu kedua aku jalani dengan semangat. Ibarat dopping, surat ibu menguatkan setiap langkah kaki. Dari 1 pintu ke pintu perusahaan yang lainnya. Begitupun minggu ketiga dan keempat, hingga minggu kedelepan.

Namun, nasib masih enggan tersenyum padaku. Menuju minggu kesepuluh rasa lelah itu datang lagi. Belakangan aku sudah jarang menatap surat ibu. Karena aku harus pergi pagi dan pulang larut malam hanya demi memasukkan lamaran kerja. Sehingga mungkin saja efek doppingnya berkurang. Semangat itu mengendur. Aku juga mulai lupa indahnya menatap matahari pagi dari balkon.

Pada suatu malam di sela perjalanan pulangku dari memasukkan lamaran kerja, tanpa sengaja aku melihat sebuah rumah makan tua. Tempat ini masih asing bagiku karena baru sekali ini aku melewatinya. Biasanya aku melewati jalan besar di depan. Entah apa yang mengilhami aku untuk memutar lewat jalan belakang hingga akhirnya aku berdiri di sini.

"Apa istimewanya sebuah rumah makan tua? Ini saja sudah mati segan hidup tak mau", ucapku dalam hati.

Rumusnya sederhana, saat kau lapar dan mencium bau makanan kau akan selalu datang mendekat. Di mana ada gula di situ ada semut. Di mana ada perut yang lapar, pastilah kau akan mencari makanan. Perutku lebih kuat daripada otakku, sehingga aku memutuskan untuk berdamai dengan cap sinisku akan rumah makan ini.

"Silahkan, selamat datang!", seorang ibu-ibu tua dengan logat tionghoa menyapaku terlebih dahulu.

Tidak lama kemudian suaminya yang menyapa, “Mau pesan apa?”

Aku pun membaca daftar menunya. Hmmmmm. Cukup banyak pilihan. Tapi, aku kemudian memilih kwetiau goreng. Lama memang aku tidak memakan kwetiau goreng yang banyak di jual di kampungku. Apalagi yang jual orang Tionghoa, biasanya enak pikirku.

"Kwetiau gorengnya satu ya, Bu, sama susu kacang kedelai gak pake es."

"Ditunggu sebentar ya." jawab Ibu sambil mengangkat daftar menu dari mejaku.

Tidak lama kemudian makanan dan minumanku datang. Seperti biasa masakan-masakan khas Tionghoa, tidak perlu menunggu lama. Tampilan nakanannya sederhana, penuh dengan daging, baso, babat, urat, dan usus. Lengkap dengan daun bawang dan toge. Oke, aku cukup banyak terkontaminasi acara-acara di tv soal kuliner jadinya spontan mengontari penampilan. Baunya harum menambah tingkat laparku. Tanpa basa basi kwetiau itu aku santap. Enak. Enak sekali. Sudah lama tidak memakan kwetiau seenak ini. Suapan demi suapan berlalu hingga habis sudah sepiring kwetiau. Kenyang dan memuaskan.

Aku menyempatkan melihat-lihat sekitar rumah makan ini. Banyak foto-foto jaman dulu yang terbingkai rapi. Dari foto itu aku bisa bilang rumah makan ini tidak banyak berubah. Hanya orang dalam foto saja yang menua. Selebihnya lokasi meja dan perabotannya persis sama. Kemudian aku juga penasaran kenapa ada lima tempat masak di situ. Aku coba mencari-cari di foto mana yang menunjukkan tempat memasak mereka.

"Suka sejarah juga?", bapak tua koki sekaligus pemilik rumah makan ini menyapaku.

"Oh, iya, Pak. Menarik foto-fotonya."

Bapak itu sambil mengemasi piring dan gelas di mejaku. Ia membuka pembicaraan, “Kalau masih ada waktu luang biar saya jelaskan foto-foto itu.”

"Boleh Pak."

Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Lupa bahwa aku tadinya ingin pulang cepat dan istirahat. Supaya besok bisa lebih awal berangkat.

Pak Tua itu duduk menjelaskan foto itu satu per satu. Peletakan foto itu cukup membantu karena disusun secara historis berurutan dari awal rumah makan ini berdiri sampai yang terbaru. Foto terbaru adalah foto Pak Tua, Nyonya, anak dan cucunya. Pak Tua sangat bersemangat menceritakan awal karirnya.

"Kau lihat wajan yang ku gantung di tengah itu?", Pak Tua menunjuk satu buah wajan yang terpasang gagah di dinding tua itu.

"Itu wajan pertamaku, pemberian ayahku sebelum melepas kepergianku merantau. Dia pesan kalau mau merantau, jadilah perantau yang sukses dan kalau kau mau jadi tukang masak,  jadilah tukang masak yang sukses. Jangan lupa untuk berbahagia dengan kesuksesanmu.", matanya mulai berkaca-kaca.

Hampir 1 jam Pak Tua bercerita. Asyik sekali dia menceritakan kisah-kisah itu. Nyonya, begitu aku memanggil istrinya, juga ikut membagi kisah-kisah mereka. Malam ini aku belajar arti kegigihan. Pak Tua ini merantau dari seberang pulau dengan modal wajan, surat dari saudara jauh, beberapa potong pakaian dan seamplop uang. Aku cukup malu kalau berkaca dengan kondisiku di awal merantau.

"Pak, kenapa kompornya ada 5?", di jeda cerita Pak Tua aku memberanikan bertanya suatu hal yang mengganjal pikiranku sedari tadi.

Nyonya yang menjawab, “Kompor itu adalah milik koki-koki yang lain. Kami pernah punya 4 koki lainnya. Mereka seumuran kamu saat pertama bekerja. Sudah seperti anak kami sendiri. Selang waktu berjalan, aku berunding dengan Bapak. Kalau mereka terus di sini bersama kami, mereka hanya akan tenggelam dalam bayang-bayang kami. Tidak berkembang.”

Pak Tua menimpali, “Kamu tahu filosofi induk burung? Saat kamu telah cukup siap untuk terbang ke dunia, induknya tidak pernah menahan kepergiannya. Mereka merelakan kepergian anak-anaknya ke dunia yang luas. Dengan satu harapan, anak-anak itu akan menjadi burung yang tangguh dan lebih baik dari mereka.”

"Walaupun kami sangat bersyukur mereka selalu menyempatkan untuk pulang kembali ke sini.", tambah Nyonya.

"Aku kira ini rumah makan yang hendak mati. Mereka berdua ditinggalkan menua di sudut kota ini dengan sisa-sisa kenangan yang hidup di sini. Aku salah. Kisah mereka lebih besar dari sudut otakku yang sempit.", aku bergumam dalam hati.

"Setiap tanggal 14 kami selalu tutup. Karena mereka selalu pulang kembali ke sini. Selalu saja mereka berlagak seperti koki dan kamilah pelanggan. Mereka berlomba memasakkan kami menu-menu restoran mereka. Aku bahagia. Kami tidak dilupakan walaupun mereka jauh lebih sukses dari kami yang hanya berujung di sini.", lanjut Pak Tua.

"Tapi aku lebih bahagia berujung di sini bersamamu.", timpal Nyonya yang membuat raut wajah Pak Tua memerah.

Rumah makan ini ternyata penuh rasa kekeluargaan dan penuh kebahagiaan. Tampilan luar memang bisa menipu. Mungkin ini maksud ucapan temanku dulu, “Kau hanya butuh sedikit senyuman, kisah, dan sahabat baik untuk berbahagia.”

"Aku lihat kamu membawa map lamaran kerja? Boleh aku lihat?", Pak Tua tiba-tiba bertanya.

Aku spotan menyodorkan map yang lengkap dengan semua kelengkapan melamarku.

"Mungkin kami perlu tambahan pegawai. Kalau kamu berkenan, kamu bisa mulai kerja besok. Kami sudah tidak seenergik dulu, pun juga tidak secekatan dulu. Sepertinya Tuhan berbaik hati membuatmu singgah dan membawa lamaran ini.", Pak Tua berkata dengan sangat serius sekaligus hangat.

"Iya, boleh juga. Mungkin kalau kamu bersedia sedikit lelah di rumah makan ini kamu boleh mulai bekerja besok. Kamu boleh memakai kamar di atas untuk istirahat siangmu. Tenang saja, Nak. Kamu bebas makan di sini selama menjadi pegawai kami.", Nyonya ikut membujukku kali ini.

"Baiklah. Terima kasih banyak Pak dan Nyonya. Kalau mau sekarang juga saya siap bekerja.", jawabku tegas.

"Tenang anak muda. Pulanglah dan beristirahat. Besok pagi kami tunggu pukul 7. Terima kasih banyak telah mau mendengarkan kisahku yang panjang dan bersedia membantu kami yang tua ini.”

Beginilah keseharianku sekarang. Menjadi bagian dari keluarga besar ini. Suatu kebanggaan dan kebahagian aku bisa bekerja di sini. Terima kasih Tuhan, terima kasih Ibu untuk doa yang tak pernah putus. Untukmu Ayah yang di sana, aku selalu mendoakanmu.

Pada suatu hari saat aku asyik menikmati pekerjaanku dan juga keromantisan mereka. Hey, perlu kalian tahu mereka adalah pasangan paling romantis yang pernah aku lihat. Selalu makan bersama. Pak Tua tidak mau memulai makan kalau Nyonya tidak makan bersamanya. Begitupun sebaliknya. Atau tiap pagi aku selalu menjadi saksi dua manusia yang berjalan dengan bahagianya memasuki rumah makan ini. Begitu juga saat pulang. Saling merangkul tangan. Sesekali Pak Tua mengelus rambut putih kekasihnya. Nyonya juga tidak sungkan mengelus pipi kekasihnya yang sudah tampak keriput.

Satu rutinitas yang selalu membuatku berdecak kagum. Pak Tua selalu yang pertama membukakan pintu saat mereka hendak masuk dan keluar rumah makan, sambil mempersilahkan Tuan Puterinya berjalan dahulu.

Rumah makan ini mungkin kuat karena dibangun oleh orang-orang yang berbahagia. Aku menemukan ruang belajar baru soal pekerjaan dan kerja keras, juga tentang kehidupan, khususnya cinta. Setiap hari aku selalu terpesona dengan keromantisan mereka berdua.

Rumusnya sederhana kalau kata Pak Tua, “Aku harus selalu menjadi alasannya tersenyum. Pantang bagiku melihatnya berwajah susah.”

Di tengah lamunanku saat itu tiba-tiba Pak Tua membuka pembicaraan.

"Nak, jangan cuma bekerja seperti kuda. Aku lihat kamu selalu siap paling pagi dan pulang paling terakhir selama 3 bulan ini. Kamu juga jarang menikmati hari libur dan memilih mengecek persediaan rumah makan ini. Sekali-kali lakukanlah hal lain yang memang kamu suka. Supaya hidupmu tidak kembali jenuh. Bukankah kamu pernah bilang kejenuhan itu musuh paling jahat."

"Aku menikmati hari-hari dan waktuku di sini, Pak. Aku tidak pernah jenuh belajar, bekerja, dan menyaksikan kisah cinta kalian di sini. Tidak pernah, Pak.", aku hanya menjawab dalam hati.

"Aku lihat kamu cukup bagus menulis. Tulisan tanganmu rapi. Lihatlah menu di sini yang kau poles jadi lebih indah dibaca. Atau beberapa penjelasan soal makanan yang kau pajang di etalase depan. Banyak pelanggan yang senang."

"Baik, Pak.", jawabku singat sambil memikirkan usulan itu.

Cukup lama aku berpikir sebelum tidur malam hari. Mungkin ada benarnya aku coba menulis lagi.

Maukah kau kuceritakan satu kisah cinta yang abadi?

Kalimat pertamaku setelah lama tidak menulis lagi. Mungkin ini kisah yang baik untuk ditulis. Terinspirasi dari kisah Pak Tua dan istrinya. Kisah mereka yang sudah banyak membuatku berubah menjadi lebih baik. Akhirnya aku memberanikan menulis lagi setelah Pak Tua menasihatiku semalam. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang akan membacanya nanti.

7 Maret 2015
D. Sudagung