02 July 2015

Mimpi Kami

Kisah ini bermula dari kebiasan unik kakekku. Saat aku kecil aku sering mengikuti kakek jalan pagi. Pada umumnya ini adalah jalan pagi yang biasa saja. Tapi, selalu saja ada yang berbeda menjelang putaran akhir perjalanan kami. Kakek selalu menyempatkan untuk membeli beberapa bungkus nasi kuning. Setelahnya beliau mengajakku melewati beberapa jalanan kecil di sekitar komplek. Selagi menyusuri jalan-jalan tersebut kakekku sering sekali disapa oleh orang-orang di sekitar situ. Dulu aku pikir mungkin kakekku ini artis. Betapa bangganya aku.

Ternyata kakekku lebih dari sekedar artis. Nasi kuning yang dibelinya itu adalah pembedanya dengan artis biasa. Kakek selalu menyempatkan mampir ke beberapa tempat di akhir perjalanan kami setiap pagi. Beliau selalu menghampiri seorang pemulung yang bertangan satu di dekat pasar. Ia memberikan sebungkus nasi kuning kepada beliau. Tidak berhenti di situ, bungkus nasi kuning lainnya juga dibagikan kepada tukang becak, lalu pedagang sayur keliling yang sudah sepuh dan seumuran beliau juga tidak luput dari pemberiannya. Kakek juga selalu mampir ke perempatan di dekat komplek di mana terdapat seorang pengemis yang tiap pagi menanti recehan di sana. Selain kepada pengemis, kakek juga membagikan makanan tersebut ke anak-anak jalanan yang sedang asyik mengamen di simpang lampu merah.

Sebelum pulang kakek juga selalu menyempatkan mampir ke pos satpam dan berbincang-bincang dengan satpam komplek. Di situ kakek biasa mengajakku sarapan bersama dengan satpam. Bukan tempat sarapan yang terbaik, tapi di sini kakek mengajarkanku untuk menikmati kesederhanaan. Sebungkus nasi kuning dan segelas teh manis selalu menjadi menu rutin sarapan kami di pos satpam.

“Kek, kenapa kita selalu sarapan di situ? Kenapa gak di rumah aja?”, tanyaku pada suatu waktu.

“Kalau di rumah, kita bisa makan bersama dengan nenek dan ibumu. Memang enak dan lebih ramai. Tapi, coba lihat Pak Satpam tadi. Kalau kita tidak makan di sana, dia makan dengan siapa?”

Rute jalan pagi kami juga kerap berbeda menjelang akhir bulan. Kakek selalu mengajakku berjalan lebih jauh ke panti asuhan dan panti jompo yang berjarak 3 km dari komplek rumah.  Kakek sering mengajakku ikut ke sini kalau aku sedang libur. Di tempat ini aku melihat kakek terlihat lebih ceria daripada wajah tuanya yang mulai keriput. Tampat wajah yang bahagia saat dia berbagi cerita dengan anak-anak panti dan juga rekan-rekan seumurannya yang ada di panti.

“Kita beruntung, masih bisa kumpul dengan keluarga setiap hari. Mereka di sini mungkin sudah lama tidak bertemu keluarga mereka. Teman-teman di panti saja yang mungkin menemani hari-hari mereka. Kelak saat kamu besar, kamu akan mengerti semua ini.”, sambil mengusap kepalaku di perjalanan pulang.

Ya, memang benar saat itu aku tidak terlalu paham maksud rute jalan-jalan pagi kakek. Waktu kecil dulu aku pernah bertanya dengan polosnya kepada ayah tentang kebiasaan kakek saat sedang makan malam di rumah.

“Yah, kenapa kakek suka bagi-bagi makanan dan menyapa orang di jalan?”

“Itu adalah cara kakekmu bersyukur dengan apa yang dia dapatkan selama ini. Semua kebahagiaan dan rejeki yang dia dapat boleh jadi adalah karena doa-doa orang yang sedari dulu ditolongnya.”, jawaban sederhana ayah itu cukup mewakili pertanyaan besarku terhadap kakek.

Itulah apa yang aku ketahui tentang kakek di masa kecilku. Karena di umur 7 tahun, aku dan keluarga memutuskan untuk tidak menumpang lagi di rumah kakek dan tinggal di rumah sendiri. Walaupun demikian aku masih sering main ke rumah kakek setiap minggu.

***

Memasuki masa remaja, aku mulai bertanya-tanya tentang kisah kakek lebih jauh kepada ayahku. Pertanyaan itu aku lontarkan pada suatu makan malam bersama ayah.

“Ayah, itu foto kakek bukan?”

“Iya itu foto kakekmu waktu muda.”

“Itu foto di mana? Dengan siapa itu kakek salaman?”

“Itu di kantor gubernur. Kakekmu dulu mendapat penghargaan dari gubernur. Dari muda kakekmu diutus merantau ke sini, diminta membangun daerah sini. Pengabdian bertahun-tahun membangun kota dan daerah ini. Dulu katanya kakek itu ikut kelompok perintis daerah-daerah di pelosok sana untuk pemetaan daerah pemekaran dan daerah tinggal masyarakat transmigran. Kakekmu sudah sering berjabat tangan dengan walikota dan gubernur. Hanya saja dia belum sempat ketemu dengan presiden yang diidam-idamkannya, Bung Karno. Lihat saja di rumah kakek berapa banyak buku dan koleksi kliping korang tulisan Bung Karno yang dikoleksi kakekmu. Kakekmu dulu sering cerita cita-citanya bertemu dengan Bung Karno. Namun, sampai akhir hayat Bung Karno kakek belum sempat bertemu dan berjabat tangan.”  

Kakek dulu berpesan pada ayah, “Merantaulah kamu ke Jawa, ketemu orang banyak, belajar banyak, belajar dari masyarakat yang beragam dan berbeda dengan di sini, ketemu orang besar. Jawa adalah asal usul kita. Siapa tahu, kamu nanti yang ketemu presiden gantiin bapak.”

“Kakekmu tidak sempat lagi pulang ke Jawa karena kesibukan di sini selama bertahun-tahun. Di usia senjanya dia sangat rindu ingin pulang. Ia ingin bertemu saudara-saudaranya di Jawa. Sampai sekitar 20 tahun lalu, saat kamu berumur 10 tahun, ia memutuskan untuk pulang ke Jawa karena ingin jalan-jalan. Kepergiannya itu adalah kepulangannya yang terakhir ke Jawa. Kakek benar-benar pulang dan tidak kembali lagi ke rumahnya di sini. Dia telah pulang ke rumahnya yang sebenarnya. Persis di samping ayah dan ibunya.”, ayah melanjutkan kisah tentang kakek.

Ayah sempat terdiam sebentar saat dia menceritakan tentang kakek  yang telah tiada. Sembari menarik nafas panjang, ayah merubah topik pembicaraan menjadi tentang dirinya sendiri.

“Dari merantau itu, dulu ayah sempat berjabat tangan dengan panglima TNI, menteri, anggota dpr. Tidak salah memang pesan kakekmu waktu itu. Ayah banyak mendapatkan pelajaran berharga selama merantau saat muda dulu. Hanya saja presiden yang belum sempat ayah temui. Mungkin nanti kamu yang bise bertemu dengan beliau.”, ujar ayah sebelum melanjutkan makan malamnya.

Aku cukup lama memikirkan pesan yang diceritakan tentang pengalaman kakek dan ayah, begitu juga amanah yang dibebankan padaku sebagai penerus cita-cita mereka. Siapa tau memang ada jalan. Siapa yang tau kan? Aku hanya berdoa dalam hati semoga suatu saat aku bisa mewujudkan cita-cita mereka.

Makan malam itu adalah makan malam sehari sebelum keberangkatanku merantau. Ayah sengaja mengajakku untuk berbincang-bincang sebelum melepasku pergi ke Jawa. Mungkin ayahku bukanlah ayah yang paling romantis dan bisa mengungkapkan sayang kepada anak-anaknya. Tapi, melalui cerita-cerita dan perhatiannya aku tahu dia sangat menyayangiku. Perbincangan sederhana tentang mimpi dan cita-cita. Cita-cita kakek dan ayah untuk bertemu presiden yang sekarang dipercayakan kepadaku.

***

Pagi ini aku berdiri di depan cermin, merapikan sisiran rambutku, memastikan aku menggunakan pakaian terbaik. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari di mana semua cita-cita kakek dan ayahku terkabul. Aku diundang menghadap presiden sebagai perwakilan dari akademisi di bidang perekonomian. Kami beberapa perwakilan dari beberapa universitas diminta memberi masukan mengenai pembangunan ekonomi di Indonesia.

Sebelum berangkat, aku menyempatkan menelpon ayahku.

“Ayah, nanti lihat berita ya di tv?”, ucapku kepada ayah di rumah.

Doa itu terkabul. Cita-cita itu terwujud. Di balik cermin itu aku melihat sosok kakek dan ayahku. Aku adalah bagian dari mereka. Sekarang aku akan membawa mereka ikut serta menghadap presiden. Aku akan membawa mereka pada cita-cita yang belum terwujud selama hidup mereka.
“Kek, lihatlah! Cucumu akan menuntaskan mimpi kita bertiga, berjabat tangan dengan presiden.”

2 Juli 2015
D. Sudagung

12 June 2015

Namanya Cinta

Pertemuan pertamaku adalah saat ada acara malam keakraban di kampus tetangga. Aku cukup beruntung bisa hadir ke acara yang begitu romantis. Biasanya malam keakraban identik dengan persembahan musik tiap angkatan. Yang kadang kala tidak sejalan dengan tema keakraban karena masing-masing penampil memiliki ego akan angkatannya. Begitulah image makrab dalam benakku.
Kampusku memang cukup modern jika aku mengasosikan modern dengan kehidupan orang modern jaman sekarang. Saat orang-orang yang mengaku modern hidup dalam dunianya sendiri. Sibuk dengan gadget, urusan kantornya, sampai abai dengan orang-orang di sekitarnya. Jika itu definisi modern yang aku anut, ya mungkin makrab di kampusku tergolong modern. Tiap-tiap angkatan hanya akan ramai saat temannya yang tampil. Saat orang lain yang tampil, mereka atau boleh kubilang kami hanya sibuk dengan lingkaran kami.
Tapi, malam ini begitu berbeda. Ini adalah makrab yang berbeda, jauh berbeda dari kesan modern yang ku anut. Kalau kami menerapkan modernitas, maka makrab kali ini boleh ku bilang tradisional. Bagaimana tidak. Liatlah betapa aku tidak bisa membedakan mana yang tua dan muda. Mereka membaur jadi satu di satu ruangan besar. Deretan makanan yang tersaji di pinggir ruangan. Meja-meja makan bundar di tengah ruangan. Serta beberapa space kosong di depan meja makan. Dan juga sebuah panggung. Apa yang kulihat sekarang seperti jamuan makanan kenegaraan.
Lihatlah meja yang satu. Aku duga itu adalah seorang guru besar. Karena perawakannya yang sudah sepuh, berambut putih, mimik wajah yang bijak. Sementara di sebelahnya ada yang tampak muda sekali, dugaanku mahasiswa baru, ada juga dosen muda, dan beberapa mahasiswa lainnya duduk semeja. Begitu pun meja-meja lain di dalam ruangan ini.
“Oi, bro. Ayo duduk. Matamu biasa aja kalau liat yang bening.”, temanku mengusik pengamatanku sambil mengibaskan tangan ke depan mataku.
“Asem kau, boi. Aku bukan lagi jelalatan. Aku gak lagi cari yang bening. Tapi ini beda, boi. Beda.”
“Kan aku udah bilang, kau gak akan rugi datang ke sini. Untungnya temanku Si Is sakit dan gak bisa dateng. Jadi undangannya bisa kau pakai.”
“Yayaya.”, aku masih keheranan memperhatikan jamuan “tradisional” ini.
“Prof, ini teman saya namanya Jati.”, temanku memperkenalkanku pada seorang dosennya yang sudah lebih dahulu duduk di meja yang akan kami tempati.
“Halo, salam kenal. Panggil saja Pak Yusuf. Kamu juga satu, kan sudah saya bilang kalau di luar kampus tidak usah pakai prof-prof segala. Kita hidup di negara bebas. Prof bagi saya hanya sekedar pemberian dan amanah dari civitas. Mari-mari, Dek. Silahkan duduk. Saya kira saya belum pernah melihatmu. Mahasiswa semester berapa?”
“Saya dari fakultas kehutanan, Prof. Eh, Pak.”, aku agak grogi ngobrol dengan guru besar. Secara, kepangkatan di kampusku cukup dijaga dengan baik. Bahkan sangat dijaga dengan baik. Jangan harap kau bisa berbincang sedekat ini dengan mahaguru.
“Oh, mahasiswa tetangga. Hahaha. Maaf-maaf saya tidak tahu. Kenal dimana kamu, Ga?”
“Teman kostan, Pak. Berhubung Si Is sakit. Jadi saya ajak aja dia. Daripada malam mingguan bengong ngeliatin tv, ngobrol dengan ikan peliharaannya, atau dia maen gitar dan nyanyi-nyanyi galau. Hahaha.”, temanku Yoga dengan semangat membuka segala kartu rahasiaku.
Ya, begitulah hingga akhirnya aku bisa hadir di acara “tradisional” yang buatku sangat kental dengan nuansa keakraban. Bukan hanya itu alasan acara ini begitu spesial bagiku. Ada hal lain yang membuatnya spesial. Dia.
Dia ada di sana di ujung meja sana. Tampil dengan balutan gaun indah yang diulurkan panjang di bawah lutut. Rambut indahnya terurai dengan begitu anggunnya. Perempuan ini beda. Jelas terlihat pesona kecantikannya.
Entah apa aku saja yang terpana atau dia termasuk primadona di kampus temanku. Kesan pertama begitu mempesona. Mungkin inilah maksud dari mata turun ke hati.
Dari sejak awal mulai acara sampai pertengahan aku sering mencuri pandang ke arahnya. Menikmati senyumannya yang manis. Sesekali aku salah tingkah saat kebetulan mata kami beradu pandang.
“Kamu kenapa lagi, bro? Kasak kusuk aja dari tadi.”
“Cantik, boi.”
“Iya aku tau pembawa acaranya emang cantik. Bunga kembang desa itu di sini.”
“Bukan itu. Tapi yang di sana. Yang pake gaun warna merah. Duduk di deretan belakang persis di samping hiasan bunga.
“Oh, itu. Bagus juga seleramu, bro. Aku kira kau hanya selera dengan sejenis ikan cupang atau ikan mas. Hahaha.”
“Asem tenan. Kau kira aku ini apa? Putra duyung? Aku masih suka perempuan, boi. Hanya saja sampai hari ini belum ada yang menggetarkan hati seperti Dia.”
“Lah, mulai lagi ini pujangga mengeluarkan kata-kata puitis. Mau ku kenalkan?”
“Nanti dulu, boi. Aku harus tampil dulu. Boi, boleh aku menyumbang sebuah lagu?”
“Serius kamu, bro?”
“Ya, serius. Sudah jadi kebiasaan di keluarga kami menyanyikan lagu untuk seorang yang dipuja.”, aku memasang wajah serius saat melontarkan candaan soal tradisi keluarga itu.
“Kamu kira aku percaya bualanmu.”
“Bagus kalau kau cerdas. Tapi, aku serius ingin menyumbangkan lagu. Temani aku, Boi. Kita akustikan berdua bikin surprise performance aja. Gimana?”
“Sebentar aku coba nego ke panitia.”, Yoga beranjak pergi menyampaikan usulku ke panitia.
Entah jurus apa yang digunakan, tapi aku tahu temanku ini jarang sekali gagal saat berdiplomasi. Sudah tabiatnya tidak pernah mau kalah dan penuh siasat. Dari jauh Yoga memberikan tanda jempol. Itu dia tandanya. Baiklah, saatnya mengahangatkan suasana. Kalian akan melihat duet Ariel Noah dan Cakra Khan di atas panggung.
Kami naik ke panggung dan memperkenalkan diri dengan nama “Yoga and friend”.
“Baiklah. Sebenarnya tidak ada rencana kami akan tampil di sini. Namun, karena ada request special dari temanku ini. Akhirnya kami ada di sini untuk menghibur kalian semua.”, seperti vokalis band terkenal temanku memberikan intro yang meyakinkan untuk penampilan kami.
Temanku memang terkenal akan suara merdunya layaknya Cakra Khan. Keriuhan ruangan menjadi bukti shahih popularitasnya.
Aku? Bukannya mau sombong, tapi aku juga primadona di kampus karena suara serak-serak basah ala Ariel Noah. Mungkin mereka saja yang belum tahu, mari kita hangatkan suasana, kawan.
“Kami akan membawakan sebuah lagu yang cukup klasik. Lagu era 90an dari Padi. Mungkin kamu mau menambahkan, bro?”, si Yoga mempersilahkan aku menyampaikan sepatah dua patah kata.
“Lagu ini sangat spesial. Lagu yang begitu dalam liriknya. Untuk kalian semua. Untuk kamu yang duduk di sana.”, aku mengakhiri prologku sambil menunjuk ke arah Dia.
Petikan gitar kami memecah keheninganan ruangan. Audiens begitu terhanyut dengan alunan suara kami. Begitu berkesannya sampai mereka juga ikut menyanyi bersama kami.
“… Karena dia begitu indah.” aku menutup lagu itu sambil membuat pose jari menunjuk ke arahnya.
Norak? Biarkanlah. Toh, kesempatan tidak datang dua kali. Mumpung ada waktu dan kesempatan, aku keluarkan aja jurus merayu yang sempat diajarkan Kakakku dulu. Syukur-syukur dia terpesona, kalau pun tidak toh aku tidak perlu malu karena kita belum saling kenal.
“Setidaknya aku tidak penasaran untuk mengucapkan dia begitu indah, Boi.”, ucapku saat temanku menanyakan aksi gilaku malam ini.
“Aku salut, bro, dengan keberanianmu. Walaupun aku jago nyanyi tapi aku belum tentu seberani itu ke orang yang ku taksir. Gokil!”
Malam ini aku tidur nyenyak. Bukan hanya karena perut kenyang dan acaranya sangat bagus. Tapi, karena aku ingin segera bertemu Nona Cantik di dalam mimpi. Senyumannya itu. Masih terbayang-bayang jelas dalam khayalanku. Aku tertidur membayangkan iya tersenyum menyanyikan lagu tidur untukku.
“Wahai Tuhan, ciptaan-Mu begitu indah. Kalau boleh izinkan aku mencintainya dengan sempurna.”, sebaris doa yang ku ucap sebelum tidur.
——————-
Pernahkah kalian merasa amat bahagia? Sehingga kau sering lupa waktu, lupa hari, kalian begitu larut dengan rasa bahagia. Ya, itulah jatuh hati. Saat kalian sedang jatuh hati, semua keindahan akan selalu hadir dalam tiap langkahmu.
Inilah yang sekarang aku rasakan. Tiga bulan dari perjumpaan itu kami memutuskan berpacaran. Proses pendekatan yang cukup singkat, kalau kalian mengatakan tiga bulan itu singkat, tidak menyurutkan tekadku merajut kasih dengan Dia.
Waktu yang kami lalui bersama. Aku selalu bersemangat tiap kali akan bertemu dengannya.
“Jarang ku lihat kamu mandi sore, Bro. Ternyata jatuh hati bisa merubah orang ya? Hahahaha.”, si Yoga selalu mengejekku yang mulai rajin mandi sore sejak berpacaran.
Benar kata Yoga. Jatuh hati bisa merubah orang. Lihatlah aku yang sekarang lebih rajin bangun pagi, seminggu dua kali kami jogging bersama, mandi sore tentunya, dan hal-hal positif lainnya yang muncul setelah kami berpecaran. Bukan hanya itu, bahkan hal unik seperti menghilangkan ketakutanku memakan petai, jengkol, dan sambel. Inilah jatuh hati, kawan. Kalian akan melakukan apa pun “in the name of love.”
Tapi, romansa itu hanya bertahan tiga bulan. Singkat, persis seperti masa pendekatan yang kami lakukan. Tiga bulan untuk sebuah kisah berumur tiga bulan.
Kami berdebat panjang tentang keputusannya mengakhiri hubungan kami. Aku dengan bermacam argumentasi dan rayuan mencoba menyelamatkan kapal yang diterjang badai ini.
“Kita sudah tidak bisa lanjut lagi. Jarak ini membuatku takut, Ja. Takut kehilangan kamu dengan cara yang tidak baik. Kamu terlalu baik. Aku takut selama KKN kamu banyak didekati wanita lain. Belum lagi aku harus ikut orang tua ke luar negeri. Aku hanya tahu LDR tidak selamanya berhasil. Dan banyak temanku yang gagal untuk itu. Kehadiran itu berarti, dan kalau ada yang dekat, kenapa kamu mencari aku yang jauh? Aku takut hanya memberikan harapan palsu selama kita jauh. Aku takut menjadi orang jahat untukmu suatu saat nanti. Bagaimana kalau jodohmu ada di sini. Di Indonesia, di Bandung? Dan bukan aku? Bukannya kita hanya akan mendikte Tuhan? Bukannya kita hanya saling menutup pintu jodoh yang seharusnya terbuka untuk kita?”, itulah kalimat-kalimatnya yang berhasil meruntuhkan logika sayangku. Dia sangat bersungguh-sungguh kali ini. Ini bukan sekedar kalimat wanita yang sedang datang bulan.
Habis sudah bangunan hati yang ku jaga baik-baik. Hancur sudah karena argumentasi takdir. Siapa yang bisa merubah takdir? Manusia mana boleh merusak jalan Tuhan atas rejeki, jodoh, dan kematian. Karena aku tahu persis alasannya adalah itu dan aku yakin dia sudah teguh dengan pendiriannya. Akhirnya aku pun merelakan.
“Ijinkan aku mengantarkanmu pulang untuk yang terakhir kali.”, hanya itu jawabanku di akhir perbincangan kami.
Beberapa hari aku hanya murung, merenung, lebih banyak diam setiap kembali ke kosan. Kehidupanku menjadi sangat datar. Aku bangun, meratap, melihat fotonya, mandi, makan, ke kampus, pulang sore, langsung tidur. Lalu, siklus itu terulang selama 7 hari ke depan.
Pada malam kedelapan, Yoga mendobrak kamarku saat aku tengah lelap tertidur. Atau boleh ku bilang aku memaksa mataku untuk tidur. Karena hanya dengan tidur aku berhenti memikirkan Dia.
“Ini aku pinjamkan kau buku, bro. Bacalah dulu sebentar. Semoga bisa mengobati kegalauanmu. Atau setidaknya mengalihkanmu dari kegiatan sia-sia selama beberapa hari ini.”, ucap Yoga sambil meletakkan sebuah buku novel di meja belajarku.
Ia melanjutkan, “Ayolah, bro. Kamu lebih kuat dari itu. Aku tahu itu. Aku masih ingat hal yang membuatku segan dan hormat padamu. Pertama kali kamu ku tanya kenapa memilih kehutanan, ingat kan jawabanmu apa. Kamu ingin menyelamatkan hutan Indonesia. Dulu aku kira kau sesuai namamu, Jati. Kokoh dan tegar. Tapi, sekarang aku kecewa. Jangankan mau menyelamatkan hutan di negeri ini. Menyelamatkan hidupmu, menyembuhkan hatimu saja aku rasa kamu yang sekarang belum mampu. Kalau kamu butuh sesuatu atau mau cerita sesuatu, aku selalu siap mendengar, kawan. Kamu harus tahu, bro. Kamu lebih dari sekedar pohon jati yang lapuk dimakan rayap. Rayap yang namanya Cinta.”
Ya, namanya memang Cinta. Dia bernama Cinta. Seorang wanita yang dengan hadirnya menghidupkan hatiku dan dengan kepergiannya membawa semua hati itu pergi.
Itulah sebabnya aku tidak mau menyebutkan namanya kepada kalian. Namanya begitu lekat dalam ingatan. Setiap ku dengar atau ku baca kata “cinta”, alam bawah sadarku langsung menghadirkan wajah dan senyumannya di benakku. Makanya aku menamainya dengan Dia. Karena kata “cinta” begitu penuh kesan mendalam tentangnya.
Setelah Yoga pergi meninggalkan kamar. Aku mencoba bangkit dan meraih buku yang diletakkannya di meja. “Pemintal Mimpi”, begitulah judul buku itu. Ku buka 1 halaman secara acak dan ku temui sebuah halaman yang menarik.
“Beruntunglah kalian yang hanya pernah mencintai 1 orang. Karena setiap cinta memiliki cerita dan tiap cerita pasti mempunyai kenangan. Dan kenangan akan selalu di hati. Bayangkan berapa banyak kenangan yang kau simpan di hati yang kecil ini jika banyak cinta yang sempat datang di hati?
Karenanya hiduplah dengan semua kenangan yang hidup di hati. Berbahagialah orang yang bisa merasakan kenangan. Karena kenangan itu menandakan hati yang masih hidup dan pernah mencintai dengan tulus.”
Dalam sekali tulisan orang ini. Apakah ini jawaban pertanyaan gundahku? Apakah Tuhan masih hendak memberikanku jalan yang lebih baik?
Seketika air mata haru itu menetes tanpa bisa ku bendung. Pertama, karena aku begitu malu dengan kegalauanku yang menghabiskan waktu dengan sia-sia. Kedua, karena Tuhan begitu baik merangkulku dengan perantara sahabat dan buku ini. Ketiga, karena hati ini tidak bisa bohong kalau rasa cinta ini ada untuk Dia dan aku merindukannya.
Sejak malam ini aku membuat keputusan yang mungkin merubah jalan takdirku. Aku memutuskan bangkit dari hidup penuh kegalauan. Aku akan meletakkan kenangan itu di hati. Biarlah Dia hidup dalam kenangan, biarkan Cinta selalu ada di dalam kenangan. Hiduplah Dia dalam kenangan dengan berjuta cerita yang dibungkus rapat bersama rasa cinta, ku simpan erat Cinta di dalam hati. Karena aku telah mencintai satu hati, biarlah sementara hati ini terisi kenangan akan dirinya.
Selesai

11 dan 12 Juni 2015
D. Sudagung

01 June 2015

Kisah Itu

Kisah ini sebenarnya sudah lama ingin ku ceritakan. Tapi, kesibukanku cukup menyita waktu sehingga cerita ini hanya tersimpan rapat dalam memori. Setelah cukup lama tidak menikmati masakan Ibu itu, rasa rindu akan makanannya yang mendorong semangatku bercerita.
Perjumpaan kami terjadi di satu hari pada pertengahan tahun. Aku memang sudah tahu ada warung makan di ujung jalan itu. Tempatnya tidak terlalu besar. Hanya satu bagian dari sebuah rumah lama. Tidak tampak papan nama atau spanduk, hanya ada tulisan “Warung Makan” di kaca depan etalase makanannya.
Dulu aku cukup heran warung makan ini selalu ramai, padahal secara tampilan luar hanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Dulu aku pikir mungkin karena murah. Kebetulan aku baru tinggal di daerah sini, tadinya aku menyewa kamar di pusat kota. Namun, karena kondisi keuanganku yang tidak stabil saat itu membuatku harus merelakan “comfort zone”-ku dan pindah ke daerah sini.
Jodoh akhirnya mempertemukan kami. Aku akhirnya singgah ke warung makan itu setelah 3 bulan tinggal di daerah baru ini. Itu juga atas ajakan teman se-kontrakan.
“Aku nemu tempat makan baru, bro. Enak dan murah, yang paling mantapnya ambil nasi sendiri. Kita bangetlah. Hahahaha.”
Temanku yang satu ini memang tukang makan. Sebelas dua belas lah kami ini. “Perut kuli” kalau kata teman satu tongkrongan. Temanku ini bahkan bisa menghabiskan 10 gorengan sendiri. Atau dia makan 1 lauk dengan 3 piring nasi. Sebuah rekor yang sampai saat ini belum sanggup ku pecahkan. Bravo!
Tanpa bertanya aku ikut saja ajakannya. Berhubung di kontrakan juga lagi pada libur panjang anak-anaknya dan hanya menyisakan kami, ya sudah aku iyakan ajakannya. Ternyata warung makan itu tujuan kami.
“Bro, makan yang kenyang. Aku yang traktir. Tadi dapat bonus dari bos.”
“Siap, 86!”
Inilah temanku ini. Tidak pelit untuk hal-hal berbau rejeki. Kalau dia dapat bonus atau rejeki lebih dia selalu saja traktiran. Walaupun hanya sekotak martabak manis, sebungkus gorengan, atau makanan lainnya. Dia tidak pernah lupa dengan teman yang lain. Mungkin karena itu dia banyak teman. Hampir setiap weekend selalu saja ada temannya entah dari mana-mana datang. Atau malam-malam di hari kerja juga biasanya ada yang datang.
Saat dulu ku tanya, dia hanya bilang, “Rejeki kita dari Tuhan, bro. Kenapa pelit-pelit? Kalau nanti Tuhan pelit ke kita, runyam urusannya. Lagian, boleh jadi sekarang aku yang bagi-bagi rejeki. Siapa tau besok lusa, kalian-kalian yang bantu-bantu aku. Guruku juga pernah pesan, boleh jadi pada rejeki kita sekarang itu ada rejekinya orang lain.”
Mengikuti petunjuk dari temanku ini, aku pun mengambil posisi siap tancap mengambil nasi dan teman-temanya. Yang paling berkesan pada pertemuan pertama itu adalah ikan mas goreng dan sambal koreknya. Luar biasa. Pas rasa ikannya dan pas juga pedasnya. Kalau saja aku tidak ingat uang di dompet, mungkin sudah aku makan 2-3 ekor ikan lagi.
Ketika membayar aku sengaja mendekati temanku ini karena ingin tahu harga di sini berapa.
“Berapa, Bu?”
“Masakannya enak, Dek?”
Aku kaget karena justru ibu yang balik bertanya. Mungkin ini salah satu bentuk sharing opini antara pemasak dan konsumen.
“Enak, Bu. Saya ketagihan dengan ikan mas dan sambelnya. Kalo kata orang, maknyos!”, aku yang menjawab dengan sigap.
“Syukur alhamdulillah kalau pada suka. Ibu seneng kalau pada lahap makannya. Adek-adek ini kuliah apa kerja?”
“Kalau saya kerja, Bu. Kalau teman saya ini masih kuliah, Bu.”, si bro yang nyahut.
“Semoga jadi makanannya manfaat buat nambah energi kerja dan kuliahnya ya dek. Oya, semuanya 25 ribu.”
Aku cukup kaget saat mendengar harganya. Padahal kami juga pesan es teh manis. Belum lagi lauk dan aksesorisnya. Dan lagi makanannya enak. Aku masih tidak habis pikir masih ada yang jual makanan enak dan semurah ini di kota ini.
“Terima kasih, Bu.”
“Sama-sama, Dek.”
Di perjalanan pulang aku masih bertanya-tanya keheranan ke temanku ini.
“Koq bisa murah, bro? Enak lagi.”
“Ibu itu gak ngambil untung banyak, bro. Waktu itu aku sempat iseng-iseng nanya. Ibunya cuma jawab dengan santai sambil tersenyum. Katanya yang penting pelanggan puas.”
Keesokan harinya dan hari-hari setelahnya aku selalu menyempatkan untuk mampir ke warung makan si Ibu. Hitung-hitung mengirit dan tetap saja perut puas. Satu hal yang selalu berkesan. Si Ibu selalu tersenyum melayani makan pelanggan-pelanggannya. Pada suatu hari obrolan pun terjadi antara kami. Aku bukan orang yang bisa berbasa-basi memulai pembicaraan. Jadi, ya sudah bisa ditebak ibu itu yang memulai pembicaraan. 
“Kerja dimana, Dek?" 
"Oh, saya masih kuliah, Bu.” ku jawab sambil tersenyum malu. 
Mungkin Ibu itu mengira umurku sudah cukup tua untuk seorang mahasiswa, makanya pertanyaannya adalah pekerjaan. Seingatku, tempo hari sudah pernah ku jawab pertanyaan serupa.
“Di sini tinggal dimana? Koq baru-baru kelihatan di sekitar sini." 
"Saya baru sebulan Bu ngekost di rumah Pak Gia. Tadinya kampus saya tidak di dekat sini, Bu. Berhubung ada renovasi total kampus lama jadinya dialihkan sementara ke kampus yang di dekat sini, Bu." 
"Pantesan Ibu baru lihat." 
"Ngomong-ngomong udah lama Bu jualan?" 
"Alhamdulillah, Dek. Setengah umur Ibu sudah jualan di sini. Dulu Ibu saya yang jualan di sini. Lalu, sekarang saya yang lanjutkan. Dari kecil Ibu udah bantu-bantu masak di sini. Ya beginilah sekolahan saya, Dek." 
Ibu itu ternyata tidak menyelesaikan bangku sekolah. Dia hanya lulusan "sekolah memasak” di bawah pengajaran Ibunya. 
“Walaupun Ibu tidak lulus sekolah tapi Ibu bahagia dengan apa yang Ibu lakukan sekarang, Dek. Melihat anak-anak sekolah yang makan dengan lahap di sini dan pulang tersenyum adalah kebahagiaan tersendiri buat Ibu." 
Aku tidak menyangka sesederhana itu konsep bahagia versi Si Ibu. Aku? Bahagia itu dalam benakku adalah punya rumah besar, mobil, istri yang cantik, uang banyak, anak-anak yang pintar, dan hal-hal berbau materi sejenisnya. Sementara Ibu ini, hanya dari makanan yang dimasak dia bisa merasakan bahagia. Aku hanya diam saja setelahnya menikmati makanan. Aku diam bukan tidak ingin melanjutkan obrolan, tapi aku malu. Ada konsep bahagia yang lebih tulus yang ku pelajari hari ini. 
"Dulu orang tua saya pesan.”, ibu itu melanjutkan ceritanya sambil duduk di kursi tempat dia duduk sekarang, “Mungkin Bapak dan Ibu tidak bisa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, tapi Bapak dan Ibu akan selalu berusaha yang terbaik untuk membahagiakan kamu. Walaupun itu mungkin hanya dengan mengajarimu memasak." 
Ibu itu masih melanjutkan ceritanya, "Ternyata bukan hanya memasak saja yang mereka ajarkan. Tapi, pengalaman selama membantu mereka dulu itu begitu berkesan, Dek. Pernah suatu waktu ada Ibu-ibu muda membawa anaknya selepas sekolah untuk makan siang di sini. Melihat mereka tersenyum senang, sambil berbincang-bincang saat makan. Di situ Ibu merasakan bahagia. Dan banyak lagi hal-hal besar yang Ibu dapatkan di sini." 
Aku menyimak setiap cerita yang disampaikan oleh Si Ibu dengan seksama. Obrolan pun terus saja mengalir karena berhubung aku menyukai sejarah, aku suka dengan hal-hal yang antik, aku pun menanyakan banyak hal tentang kisah-kisah warung ini dulu. Bukan tanpa sebab aku membuka topik tersebut. Karena banyak foto yang terpampang di dinging rumah makan ini. Foto itu lebih banyak foto tua. 
Dari obrolan Ibu itulah aku tahu bahwa dulu pelanggan mereka sudah pada jadi orang. Mantan walikota, gubernur, bahkan aku sangat mengenali 1 orang di foto yang terpampang di situ yang tidak lain adalah salah seorang menteri. Mereka-mereka itu dulunya mahasiswa yang pernah dan biasa makan di sini. Uniknya lagi, tidak jarang mereka-mereka itu datang kembali ke sini. 
"Kalau dulu waktu Pak Menteri ke sini semua di gang ini jadi heboh. Ibu sih biasa aja, karena toh udah kenal dari dulu sejak sebelum jadi pejabat. Beliau ke sini mencari orang tua saya, karena dulu waktu beliau masih kuliah Bapak dan Ibu saya masih jadi kokinya. Waktu itu beliau datang kebetulan sudah Ibu yang pegang rumah makan ini. Tapi, beliau tidak sungkan untuk ngobrol-ngobrol. Cerita-cerita nostalgia jaman dulu saat beliau masih tinggal di sekitar sini. Kesan beliau adalah makanan di sini tidak berubah, persis sama dengan dulu. Alhamdulillah Ibu tidak mencoreng warisan orang tua atas rumah makan ini." 
Banyak lagi cerita-cerita yang disampaikan si Ibu. Aku bahkan sampai betah mendengarkan kisah-kisah masa lalu seperti itu. Sebuah ketulusan dan kebaikan hati yang selalu terpancar dari setiap kisah si Ibu merupakan daya tarik tersendiri dari warung makan ini. Selain tentunya, makanan enak yang disajikan. Sebuah kisah yang sudah lama ingin ku ceritakan. Kisah si Ibu yang tulus memasak sampai akhir hayatnya. 
Kisah si Ibu juga mengingatkanku pada kisah nenek penjual kue yang dulu sering berjualan keliling komplek rumah. Sewaktu kecil nenek itu selalu datang tepat waktu, pukul 3, di rumahku. Selalu datang menjualkan kue jajanan pasar. Buatku nenek itu adalah pasarnya, kuenya lengkap sekali. Bakwan, caikue, ketupat isi ebi, risoles, korket, bahkan semur jengkol pun beliau jual. Seorang nenek tua yang datang dengan keranjang kuenya, berjalan kaki menyusuri kota. Beliau selalu datang pukul 3 dan menumpang sholat ashar. Sering kali beliau datang saat aku sedang tidur sore. Dengan lemah lembut sering beliau membangunkan aku tidur.
“Mas, bangun. Itu ada caikue nenek bawa. Sholat ashar dulu, baru makan ya?”
Ajaibnya, aku selalu terbangun setiap si Nenek mengucapkan kata-kata itu. Cukup lama aku baru sadar bahwa si Nenek sebenarnya datang untuk membangunkanku supaya sholat ashar. Beliau begitu tulus dan baik selama berjualan. Persis sama seperti Ibu penjual makanan di dekat kostanku. Sampai usiaku ke-15 aku masih sering berjumpa dengan beliau. Setelahnya beliau pergi selamanya meninggalkan kenangan yang tersimpan rapat di hatiku.
Kini si Ibu juga telah tiada. Baru sepekan ku tinggalkan kota itu aku mendapatkan kabar dari teman kostanku bahwa si Ibu telah pergi untuk selamanya. 
Selamat jalan, Bu! Semoga kau tenang di sana. Insyallah pesan-pesan dan kisahmu akan selalu ku ingat dan akan selalu diamalkan serta aku bagi ke orang-orang. Bukankah amal yang tidak akan putus adalah ilmu yang bermanfaat? Setidaknya ijinkan aku melanjutkan ilmu ikhlas yang Ibu ajarkan sebagai rasa terima kasihku kepada Ibu. Semoga tenang di surga. Karena aku yakin, orang sebaik dan seikhlas Ibu pasti masuk ke surga. Jika Ibu berjumpa dengan si Nenek, tolong sampaikan salam rinduku padanya. 
Selesai 

31 Mei dan 8 Juni 2015 
Oleh D. Sudagung