26 April 2011

Military Industrial Complex Dalam Film Lord of War


Military Industrial Complex merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh Presiden Amerika Serikat, Dwight D. Eisenhower, pada tahun 1961 dalam sebuah pidatonya. Konsep ini menjelaskan mengenai hubungan antara pihak yang bertugas mengatur perang (militer, pemerintah, dan kongres) dan perusahaan-perusahaan yang memproduksi senjata dan perlengkapan untuk perang (industri).[1]Hubungan antara kedua pihak ini merupakan sebuah hubungan mutualisme dimana keduanya mencari keuntungan sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Pihak pemerintah dengan kepentingan persenjataannya, sedangkan pihak penyedia senjata dengan kepentingan keuntungan yang didapat.

Eisenhower memperingatkan kepada rakyat dan pemerintah Amerika Serikat untuk menghindari penyalahgunaan dari military industrial complex ini. Karena situasi saat itu adalah Amerika Serikat sebagai salah satu negara pemenang perang, sehingga dituntut untuk mampu menjaga “perdamaian” yang tercipta pasca Perang Dunia II. Konsep ini juga berlatar belakang situasi dunia dimana negara mencoba menempatkan dirinya sebagai sentral dari sistem keamanan internasional. Sehingga negara-negara ini berusaha dengan segenap upaya untuk memenuhi kebutuhannya akan perlengkapan dan senjata militer. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan atas senjata, tapi untuk menempatkan negaranya sebagai negara yang terkuat dalam hal persenjataan. Secara logika hal ini akan membuat negaranya itu aman karena dalam perhitungan perang, mereka jauh di atas negara lainnya.


Namun, dampak dari aktifitas ini membuat negara lainnya yang merasa terancam. Karena tidak ada jaminan negara yang mempunyai persenjataan terbanyak ini tidak melakukan invasi ke negara lain. Sudah menjadi hakikatnya jika seseorang memiliki kekuatan yang lebih akan menyerang seseorang yang kekuatannya lebih rendah. Ditambah lagi jika negara yang akan diserang memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara penyerang (misalnya, ketersediaan minyak bumi). Untuk itulah negara-negara lain juga tidak mau kalah mempersenjatai militernya dengan membeli senjata dari penyedia senjata dan perlengkapan perang. Hal ini menimbulkan apa yang kita kenal dengan arm race.

Eisenhower juga memperingatkan kepada pemerintah dan penyedia senjata perlengkapan perang, khususnya di Amerika Serikat, untuk menjaga konsistensinya. Konsistensi untuk tidak menyalahgunakan kewenangan dan kepentingan yang dimiliki. Ketika negara merasa memiliki kebutuhan yang tinggi akan senjata, maka negara ini akan mengupayakan segala cara untuk bisa membeli persenjataan ini. Begitu pula dengan penyedia senjata yang memiliki orientasi materi (uang), dimungkinkan melakukan transaksi dengan siapa saja untuk memenuhi kepentingan mereka akan keuntungan uang. Kekhawatiran Eisenhower ini tercermin dalam sebuah film berjudul “Lord of War”.Film ini berkisah tentang seorang pemuda asal Ukraina bernama Yuri Orlov (diperankan oleh Nicolas Cage). Di sepanjang film, ia juga membawakan narasi tentang bagaimana perjalanan hidupnya hingga bisa menjadi seorang pedagang senjata gelap.[2] Lewat ceritanya itu dia menjelaskan secara mendetail tentang bagaimana konspirasi internasional bekerja dalam memasok senjata ke seluruh pelosok negara di dunia.[3]

Saat usianya masih remaja, Yuri sekeluarga bermigrasi dari kampung halamannya di Ukraina (saat masih dikuasai Uni Soviet) untuk mengadu nasib di Amerika Serikat.[4] Saat menginjakkan kaki di Amerika, bisnis perdagangan senjata gelap sedang ramai-ramainya.[5] Bersama sang adik, Vitaly (Jared Leto) ia pun mulai masuk ke dalam sistem perdagangan itu dan meraup keuntungan besar dari transaksi-transaksi yang dilakukannya di berbagai penjuru dunia.[6] Sedikit cuplikan film ini memperlihatkan kepada kita bahwa kebutuhan akan senjata pada saat itu (1980an) sangatlah tinggi. Bahkan diceritakan Yuri Orlov ini melakukan semua pendekatan kepada siapa saja untuk bertransaksi senjata. Mulai dari kelompok pemberontak, mafia, bahkan pihak penyedia senjata bagi pemerintah Amerika Serikat. Ia melakukan perdagangan illegal ini secara bersih dan dengan melakukan berbagai trik, mulai dari memiliki banyak pasport, pengubahan dokumen barang, penggantian nama kapal, serta menimbun kentang untuk menutupi senjata yang dibawa dalam kargo. Ia kemudian mendapat pasokan persenjataan yang banyak, sejak Uni Soviet runtuh tahun 1990an. Penyelundupan besar-besaran dari Uni Soviet ke Amerika merupakan jalur baginya untuk mendapat keuntungan besar, dengan bantuan kekerabatannya dengan seorang pemimipin militer Ukraina yang juga pamannya, Dimitri. Aksinya ini sempat diendus oleh interpol, akan tetapi ia masih bisa mengelak. Sejak kejadian di Ukraina ini, ia menjadi target sasaran interpol.

Prinsip yang dianut oleh Orlov adalah ia menjual senjata kepada siapapun yang bisa memberikan uang kepadanya. Tanpa memikirkan untuk apa senjata yang dijual tersebut digunakan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Eisenhower yang mengkhawatirkan terjadi penyalahgunaan atas industri senjata, khususnya di Amerika Serikat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perdagangan senjata gelap seperti ini eksis dan seolah dibenarkan serta mendapat perlindungan dari otoritas negara tertentu. Terutama negara yang mempunyai kepentingan untuk memenuhi kebutuhan atas senjatanya. Sejalan dengan negara-negara ini, para penyedia senjata seperti Orlov menggunakan hal itu untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Kesemua penyimpangan ini menimbulkan suatu kondisi keresahan, karena bisa saja semua pihak memiliki senjata militer. Lebih parahnya lagi apabila senjata militer ini digunakan dalam suatu konflik di suatu negara. Hal ini dapat dilihat di daratan Afrika dimana banyak terjadi pemberontakan dan konflik, yang sebagian besar mendapat pasokan senjata dari pedagang-pedagang gelap tersebut. Mungkin di satu sisi, penyedia senjata menjadi kaya atas penjualan ini. Namun, di sisi lain hal ini justru memicu pecahnya konflik karena ketersediaan senjata yang banyak di masyarakat. Penyalahgunaan-penyalahgunaan kepentingan seperti inilah yang memperpanjang cerita kelam manusia di bumi. Ketika manusia masih diselimuti oleh ego dan nafsunya, maka pertumpahan darah atas nama “kepentingan” itu akan terus terjadi.


[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.

Hitamnya Malam dan Gelapnya Samudera

Kalau malam hendak menunjukkan betapa gagahnya sang hitam
Maka kemudian datang sang pagi menginjak kegagahan tersebut
Malam bertautan
Siang berpendar

Ketika kaki yang tadinya terus berjalan di tengah gelapnya malam
Ketika tangan yang tadinya berada bersama hitamnya malam
Ketika mata yang tak sanggup menatap putih di dalam malam
Ketika hati yang segelap gulitanya malam

Malam ini membawa aku pada langkah sang penyelam
Semakin menukik ke dalam lautan nan gelap
Tiada terlihat setitik cahaya masuk di celah permukaan samudera

Aku yang hilang di telan malam, serta dihempas gelombang samudera
Aku yang semakin tidak jelas arah, hanya berpegang pada sebuah rakit beralas cermin
Memantulkan seberkas bayangan yang ternyata hanyalah Aku
Saat ini tersesat, saat ini melayang, saat ini tenggelam

Sebait kelamnya diriku dalam sebuah tapak kehidupan yang fana

260411