01 June 2015

Kisah Itu

Kisah ini sebenarnya sudah lama ingin ku ceritakan. Tapi, kesibukanku cukup menyita waktu sehingga cerita ini hanya tersimpan rapat dalam memori. Setelah cukup lama tidak menikmati masakan Ibu itu, rasa rindu akan makanannya yang mendorong semangatku bercerita.
Perjumpaan kami terjadi di satu hari pada pertengahan tahun. Aku memang sudah tahu ada warung makan di ujung jalan itu. Tempatnya tidak terlalu besar. Hanya satu bagian dari sebuah rumah lama. Tidak tampak papan nama atau spanduk, hanya ada tulisan “Warung Makan” di kaca depan etalase makanannya.
Dulu aku cukup heran warung makan ini selalu ramai, padahal secara tampilan luar hanya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Dulu aku pikir mungkin karena murah. Kebetulan aku baru tinggal di daerah sini, tadinya aku menyewa kamar di pusat kota. Namun, karena kondisi keuanganku yang tidak stabil saat itu membuatku harus merelakan “comfort zone”-ku dan pindah ke daerah sini.
Jodoh akhirnya mempertemukan kami. Aku akhirnya singgah ke warung makan itu setelah 3 bulan tinggal di daerah baru ini. Itu juga atas ajakan teman se-kontrakan.
“Aku nemu tempat makan baru, bro. Enak dan murah, yang paling mantapnya ambil nasi sendiri. Kita bangetlah. Hahahaha.”
Temanku yang satu ini memang tukang makan. Sebelas dua belas lah kami ini. “Perut kuli” kalau kata teman satu tongkrongan. Temanku ini bahkan bisa menghabiskan 10 gorengan sendiri. Atau dia makan 1 lauk dengan 3 piring nasi. Sebuah rekor yang sampai saat ini belum sanggup ku pecahkan. Bravo!
Tanpa bertanya aku ikut saja ajakannya. Berhubung di kontrakan juga lagi pada libur panjang anak-anaknya dan hanya menyisakan kami, ya sudah aku iyakan ajakannya. Ternyata warung makan itu tujuan kami.
“Bro, makan yang kenyang. Aku yang traktir. Tadi dapat bonus dari bos.”
“Siap, 86!”
Inilah temanku ini. Tidak pelit untuk hal-hal berbau rejeki. Kalau dia dapat bonus atau rejeki lebih dia selalu saja traktiran. Walaupun hanya sekotak martabak manis, sebungkus gorengan, atau makanan lainnya. Dia tidak pernah lupa dengan teman yang lain. Mungkin karena itu dia banyak teman. Hampir setiap weekend selalu saja ada temannya entah dari mana-mana datang. Atau malam-malam di hari kerja juga biasanya ada yang datang.
Saat dulu ku tanya, dia hanya bilang, “Rejeki kita dari Tuhan, bro. Kenapa pelit-pelit? Kalau nanti Tuhan pelit ke kita, runyam urusannya. Lagian, boleh jadi sekarang aku yang bagi-bagi rejeki. Siapa tau besok lusa, kalian-kalian yang bantu-bantu aku. Guruku juga pernah pesan, boleh jadi pada rejeki kita sekarang itu ada rejekinya orang lain.”
Mengikuti petunjuk dari temanku ini, aku pun mengambil posisi siap tancap mengambil nasi dan teman-temanya. Yang paling berkesan pada pertemuan pertama itu adalah ikan mas goreng dan sambal koreknya. Luar biasa. Pas rasa ikannya dan pas juga pedasnya. Kalau saja aku tidak ingat uang di dompet, mungkin sudah aku makan 2-3 ekor ikan lagi.
Ketika membayar aku sengaja mendekati temanku ini karena ingin tahu harga di sini berapa.
“Berapa, Bu?”
“Masakannya enak, Dek?”
Aku kaget karena justru ibu yang balik bertanya. Mungkin ini salah satu bentuk sharing opini antara pemasak dan konsumen.
“Enak, Bu. Saya ketagihan dengan ikan mas dan sambelnya. Kalo kata orang, maknyos!”, aku yang menjawab dengan sigap.
“Syukur alhamdulillah kalau pada suka. Ibu seneng kalau pada lahap makannya. Adek-adek ini kuliah apa kerja?”
“Kalau saya kerja, Bu. Kalau teman saya ini masih kuliah, Bu.”, si bro yang nyahut.
“Semoga jadi makanannya manfaat buat nambah energi kerja dan kuliahnya ya dek. Oya, semuanya 25 ribu.”
Aku cukup kaget saat mendengar harganya. Padahal kami juga pesan es teh manis. Belum lagi lauk dan aksesorisnya. Dan lagi makanannya enak. Aku masih tidak habis pikir masih ada yang jual makanan enak dan semurah ini di kota ini.
“Terima kasih, Bu.”
“Sama-sama, Dek.”
Di perjalanan pulang aku masih bertanya-tanya keheranan ke temanku ini.
“Koq bisa murah, bro? Enak lagi.”
“Ibu itu gak ngambil untung banyak, bro. Waktu itu aku sempat iseng-iseng nanya. Ibunya cuma jawab dengan santai sambil tersenyum. Katanya yang penting pelanggan puas.”
Keesokan harinya dan hari-hari setelahnya aku selalu menyempatkan untuk mampir ke warung makan si Ibu. Hitung-hitung mengirit dan tetap saja perut puas. Satu hal yang selalu berkesan. Si Ibu selalu tersenyum melayani makan pelanggan-pelanggannya. Pada suatu hari obrolan pun terjadi antara kami. Aku bukan orang yang bisa berbasa-basi memulai pembicaraan. Jadi, ya sudah bisa ditebak ibu itu yang memulai pembicaraan. 
“Kerja dimana, Dek?" 
"Oh, saya masih kuliah, Bu.” ku jawab sambil tersenyum malu. 
Mungkin Ibu itu mengira umurku sudah cukup tua untuk seorang mahasiswa, makanya pertanyaannya adalah pekerjaan. Seingatku, tempo hari sudah pernah ku jawab pertanyaan serupa.
“Di sini tinggal dimana? Koq baru-baru kelihatan di sekitar sini." 
"Saya baru sebulan Bu ngekost di rumah Pak Gia. Tadinya kampus saya tidak di dekat sini, Bu. Berhubung ada renovasi total kampus lama jadinya dialihkan sementara ke kampus yang di dekat sini, Bu." 
"Pantesan Ibu baru lihat." 
"Ngomong-ngomong udah lama Bu jualan?" 
"Alhamdulillah, Dek. Setengah umur Ibu sudah jualan di sini. Dulu Ibu saya yang jualan di sini. Lalu, sekarang saya yang lanjutkan. Dari kecil Ibu udah bantu-bantu masak di sini. Ya beginilah sekolahan saya, Dek." 
Ibu itu ternyata tidak menyelesaikan bangku sekolah. Dia hanya lulusan "sekolah memasak” di bawah pengajaran Ibunya. 
“Walaupun Ibu tidak lulus sekolah tapi Ibu bahagia dengan apa yang Ibu lakukan sekarang, Dek. Melihat anak-anak sekolah yang makan dengan lahap di sini dan pulang tersenyum adalah kebahagiaan tersendiri buat Ibu." 
Aku tidak menyangka sesederhana itu konsep bahagia versi Si Ibu. Aku? Bahagia itu dalam benakku adalah punya rumah besar, mobil, istri yang cantik, uang banyak, anak-anak yang pintar, dan hal-hal berbau materi sejenisnya. Sementara Ibu ini, hanya dari makanan yang dimasak dia bisa merasakan bahagia. Aku hanya diam saja setelahnya menikmati makanan. Aku diam bukan tidak ingin melanjutkan obrolan, tapi aku malu. Ada konsep bahagia yang lebih tulus yang ku pelajari hari ini. 
"Dulu orang tua saya pesan.”, ibu itu melanjutkan ceritanya sambil duduk di kursi tempat dia duduk sekarang, “Mungkin Bapak dan Ibu tidak bisa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, tapi Bapak dan Ibu akan selalu berusaha yang terbaik untuk membahagiakan kamu. Walaupun itu mungkin hanya dengan mengajarimu memasak." 
Ibu itu masih melanjutkan ceritanya, "Ternyata bukan hanya memasak saja yang mereka ajarkan. Tapi, pengalaman selama membantu mereka dulu itu begitu berkesan, Dek. Pernah suatu waktu ada Ibu-ibu muda membawa anaknya selepas sekolah untuk makan siang di sini. Melihat mereka tersenyum senang, sambil berbincang-bincang saat makan. Di situ Ibu merasakan bahagia. Dan banyak lagi hal-hal besar yang Ibu dapatkan di sini." 
Aku menyimak setiap cerita yang disampaikan oleh Si Ibu dengan seksama. Obrolan pun terus saja mengalir karena berhubung aku menyukai sejarah, aku suka dengan hal-hal yang antik, aku pun menanyakan banyak hal tentang kisah-kisah warung ini dulu. Bukan tanpa sebab aku membuka topik tersebut. Karena banyak foto yang terpampang di dinging rumah makan ini. Foto itu lebih banyak foto tua. 
Dari obrolan Ibu itulah aku tahu bahwa dulu pelanggan mereka sudah pada jadi orang. Mantan walikota, gubernur, bahkan aku sangat mengenali 1 orang di foto yang terpampang di situ yang tidak lain adalah salah seorang menteri. Mereka-mereka itu dulunya mahasiswa yang pernah dan biasa makan di sini. Uniknya lagi, tidak jarang mereka-mereka itu datang kembali ke sini. 
"Kalau dulu waktu Pak Menteri ke sini semua di gang ini jadi heboh. Ibu sih biasa aja, karena toh udah kenal dari dulu sejak sebelum jadi pejabat. Beliau ke sini mencari orang tua saya, karena dulu waktu beliau masih kuliah Bapak dan Ibu saya masih jadi kokinya. Waktu itu beliau datang kebetulan sudah Ibu yang pegang rumah makan ini. Tapi, beliau tidak sungkan untuk ngobrol-ngobrol. Cerita-cerita nostalgia jaman dulu saat beliau masih tinggal di sekitar sini. Kesan beliau adalah makanan di sini tidak berubah, persis sama dengan dulu. Alhamdulillah Ibu tidak mencoreng warisan orang tua atas rumah makan ini." 
Banyak lagi cerita-cerita yang disampaikan si Ibu. Aku bahkan sampai betah mendengarkan kisah-kisah masa lalu seperti itu. Sebuah ketulusan dan kebaikan hati yang selalu terpancar dari setiap kisah si Ibu merupakan daya tarik tersendiri dari warung makan ini. Selain tentunya, makanan enak yang disajikan. Sebuah kisah yang sudah lama ingin ku ceritakan. Kisah si Ibu yang tulus memasak sampai akhir hayatnya. 
Kisah si Ibu juga mengingatkanku pada kisah nenek penjual kue yang dulu sering berjualan keliling komplek rumah. Sewaktu kecil nenek itu selalu datang tepat waktu, pukul 3, di rumahku. Selalu datang menjualkan kue jajanan pasar. Buatku nenek itu adalah pasarnya, kuenya lengkap sekali. Bakwan, caikue, ketupat isi ebi, risoles, korket, bahkan semur jengkol pun beliau jual. Seorang nenek tua yang datang dengan keranjang kuenya, berjalan kaki menyusuri kota. Beliau selalu datang pukul 3 dan menumpang sholat ashar. Sering kali beliau datang saat aku sedang tidur sore. Dengan lemah lembut sering beliau membangunkan aku tidur.
“Mas, bangun. Itu ada caikue nenek bawa. Sholat ashar dulu, baru makan ya?”
Ajaibnya, aku selalu terbangun setiap si Nenek mengucapkan kata-kata itu. Cukup lama aku baru sadar bahwa si Nenek sebenarnya datang untuk membangunkanku supaya sholat ashar. Beliau begitu tulus dan baik selama berjualan. Persis sama seperti Ibu penjual makanan di dekat kostanku. Sampai usiaku ke-15 aku masih sering berjumpa dengan beliau. Setelahnya beliau pergi selamanya meninggalkan kenangan yang tersimpan rapat di hatiku.
Kini si Ibu juga telah tiada. Baru sepekan ku tinggalkan kota itu aku mendapatkan kabar dari teman kostanku bahwa si Ibu telah pergi untuk selamanya. 
Selamat jalan, Bu! Semoga kau tenang di sana. Insyallah pesan-pesan dan kisahmu akan selalu ku ingat dan akan selalu diamalkan serta aku bagi ke orang-orang. Bukankah amal yang tidak akan putus adalah ilmu yang bermanfaat? Setidaknya ijinkan aku melanjutkan ilmu ikhlas yang Ibu ajarkan sebagai rasa terima kasihku kepada Ibu. Semoga tenang di surga. Karena aku yakin, orang sebaik dan seikhlas Ibu pasti masuk ke surga. Jika Ibu berjumpa dengan si Nenek, tolong sampaikan salam rinduku padanya. 
Selesai 

31 Mei dan 8 Juni 2015 
Oleh D. Sudagung

No comments: