12 June 2015

Namanya Cinta

Pertemuan pertamaku adalah saat ada acara malam keakraban di kampus tetangga. Aku cukup beruntung bisa hadir ke acara yang begitu romantis. Biasanya malam keakraban identik dengan persembahan musik tiap angkatan. Yang kadang kala tidak sejalan dengan tema keakraban karena masing-masing penampil memiliki ego akan angkatannya. Begitulah image makrab dalam benakku.
Kampusku memang cukup modern jika aku mengasosikan modern dengan kehidupan orang modern jaman sekarang. Saat orang-orang yang mengaku modern hidup dalam dunianya sendiri. Sibuk dengan gadget, urusan kantornya, sampai abai dengan orang-orang di sekitarnya. Jika itu definisi modern yang aku anut, ya mungkin makrab di kampusku tergolong modern. Tiap-tiap angkatan hanya akan ramai saat temannya yang tampil. Saat orang lain yang tampil, mereka atau boleh kubilang kami hanya sibuk dengan lingkaran kami.
Tapi, malam ini begitu berbeda. Ini adalah makrab yang berbeda, jauh berbeda dari kesan modern yang ku anut. Kalau kami menerapkan modernitas, maka makrab kali ini boleh ku bilang tradisional. Bagaimana tidak. Liatlah betapa aku tidak bisa membedakan mana yang tua dan muda. Mereka membaur jadi satu di satu ruangan besar. Deretan makanan yang tersaji di pinggir ruangan. Meja-meja makan bundar di tengah ruangan. Serta beberapa space kosong di depan meja makan. Dan juga sebuah panggung. Apa yang kulihat sekarang seperti jamuan makanan kenegaraan.
Lihatlah meja yang satu. Aku duga itu adalah seorang guru besar. Karena perawakannya yang sudah sepuh, berambut putih, mimik wajah yang bijak. Sementara di sebelahnya ada yang tampak muda sekali, dugaanku mahasiswa baru, ada juga dosen muda, dan beberapa mahasiswa lainnya duduk semeja. Begitu pun meja-meja lain di dalam ruangan ini.
“Oi, bro. Ayo duduk. Matamu biasa aja kalau liat yang bening.”, temanku mengusik pengamatanku sambil mengibaskan tangan ke depan mataku.
“Asem kau, boi. Aku bukan lagi jelalatan. Aku gak lagi cari yang bening. Tapi ini beda, boi. Beda.”
“Kan aku udah bilang, kau gak akan rugi datang ke sini. Untungnya temanku Si Is sakit dan gak bisa dateng. Jadi undangannya bisa kau pakai.”
“Yayaya.”, aku masih keheranan memperhatikan jamuan “tradisional” ini.
“Prof, ini teman saya namanya Jati.”, temanku memperkenalkanku pada seorang dosennya yang sudah lebih dahulu duduk di meja yang akan kami tempati.
“Halo, salam kenal. Panggil saja Pak Yusuf. Kamu juga satu, kan sudah saya bilang kalau di luar kampus tidak usah pakai prof-prof segala. Kita hidup di negara bebas. Prof bagi saya hanya sekedar pemberian dan amanah dari civitas. Mari-mari, Dek. Silahkan duduk. Saya kira saya belum pernah melihatmu. Mahasiswa semester berapa?”
“Saya dari fakultas kehutanan, Prof. Eh, Pak.”, aku agak grogi ngobrol dengan guru besar. Secara, kepangkatan di kampusku cukup dijaga dengan baik. Bahkan sangat dijaga dengan baik. Jangan harap kau bisa berbincang sedekat ini dengan mahaguru.
“Oh, mahasiswa tetangga. Hahaha. Maaf-maaf saya tidak tahu. Kenal dimana kamu, Ga?”
“Teman kostan, Pak. Berhubung Si Is sakit. Jadi saya ajak aja dia. Daripada malam mingguan bengong ngeliatin tv, ngobrol dengan ikan peliharaannya, atau dia maen gitar dan nyanyi-nyanyi galau. Hahaha.”, temanku Yoga dengan semangat membuka segala kartu rahasiaku.
Ya, begitulah hingga akhirnya aku bisa hadir di acara “tradisional” yang buatku sangat kental dengan nuansa keakraban. Bukan hanya itu alasan acara ini begitu spesial bagiku. Ada hal lain yang membuatnya spesial. Dia.
Dia ada di sana di ujung meja sana. Tampil dengan balutan gaun indah yang diulurkan panjang di bawah lutut. Rambut indahnya terurai dengan begitu anggunnya. Perempuan ini beda. Jelas terlihat pesona kecantikannya.
Entah apa aku saja yang terpana atau dia termasuk primadona di kampus temanku. Kesan pertama begitu mempesona. Mungkin inilah maksud dari mata turun ke hati.
Dari sejak awal mulai acara sampai pertengahan aku sering mencuri pandang ke arahnya. Menikmati senyumannya yang manis. Sesekali aku salah tingkah saat kebetulan mata kami beradu pandang.
“Kamu kenapa lagi, bro? Kasak kusuk aja dari tadi.”
“Cantik, boi.”
“Iya aku tau pembawa acaranya emang cantik. Bunga kembang desa itu di sini.”
“Bukan itu. Tapi yang di sana. Yang pake gaun warna merah. Duduk di deretan belakang persis di samping hiasan bunga.
“Oh, itu. Bagus juga seleramu, bro. Aku kira kau hanya selera dengan sejenis ikan cupang atau ikan mas. Hahaha.”
“Asem tenan. Kau kira aku ini apa? Putra duyung? Aku masih suka perempuan, boi. Hanya saja sampai hari ini belum ada yang menggetarkan hati seperti Dia.”
“Lah, mulai lagi ini pujangga mengeluarkan kata-kata puitis. Mau ku kenalkan?”
“Nanti dulu, boi. Aku harus tampil dulu. Boi, boleh aku menyumbang sebuah lagu?”
“Serius kamu, bro?”
“Ya, serius. Sudah jadi kebiasaan di keluarga kami menyanyikan lagu untuk seorang yang dipuja.”, aku memasang wajah serius saat melontarkan candaan soal tradisi keluarga itu.
“Kamu kira aku percaya bualanmu.”
“Bagus kalau kau cerdas. Tapi, aku serius ingin menyumbangkan lagu. Temani aku, Boi. Kita akustikan berdua bikin surprise performance aja. Gimana?”
“Sebentar aku coba nego ke panitia.”, Yoga beranjak pergi menyampaikan usulku ke panitia.
Entah jurus apa yang digunakan, tapi aku tahu temanku ini jarang sekali gagal saat berdiplomasi. Sudah tabiatnya tidak pernah mau kalah dan penuh siasat. Dari jauh Yoga memberikan tanda jempol. Itu dia tandanya. Baiklah, saatnya mengahangatkan suasana. Kalian akan melihat duet Ariel Noah dan Cakra Khan di atas panggung.
Kami naik ke panggung dan memperkenalkan diri dengan nama “Yoga and friend”.
“Baiklah. Sebenarnya tidak ada rencana kami akan tampil di sini. Namun, karena ada request special dari temanku ini. Akhirnya kami ada di sini untuk menghibur kalian semua.”, seperti vokalis band terkenal temanku memberikan intro yang meyakinkan untuk penampilan kami.
Temanku memang terkenal akan suara merdunya layaknya Cakra Khan. Keriuhan ruangan menjadi bukti shahih popularitasnya.
Aku? Bukannya mau sombong, tapi aku juga primadona di kampus karena suara serak-serak basah ala Ariel Noah. Mungkin mereka saja yang belum tahu, mari kita hangatkan suasana, kawan.
“Kami akan membawakan sebuah lagu yang cukup klasik. Lagu era 90an dari Padi. Mungkin kamu mau menambahkan, bro?”, si Yoga mempersilahkan aku menyampaikan sepatah dua patah kata.
“Lagu ini sangat spesial. Lagu yang begitu dalam liriknya. Untuk kalian semua. Untuk kamu yang duduk di sana.”, aku mengakhiri prologku sambil menunjuk ke arah Dia.
Petikan gitar kami memecah keheninganan ruangan. Audiens begitu terhanyut dengan alunan suara kami. Begitu berkesannya sampai mereka juga ikut menyanyi bersama kami.
“… Karena dia begitu indah.” aku menutup lagu itu sambil membuat pose jari menunjuk ke arahnya.
Norak? Biarkanlah. Toh, kesempatan tidak datang dua kali. Mumpung ada waktu dan kesempatan, aku keluarkan aja jurus merayu yang sempat diajarkan Kakakku dulu. Syukur-syukur dia terpesona, kalau pun tidak toh aku tidak perlu malu karena kita belum saling kenal.
“Setidaknya aku tidak penasaran untuk mengucapkan dia begitu indah, Boi.”, ucapku saat temanku menanyakan aksi gilaku malam ini.
“Aku salut, bro, dengan keberanianmu. Walaupun aku jago nyanyi tapi aku belum tentu seberani itu ke orang yang ku taksir. Gokil!”
Malam ini aku tidur nyenyak. Bukan hanya karena perut kenyang dan acaranya sangat bagus. Tapi, karena aku ingin segera bertemu Nona Cantik di dalam mimpi. Senyumannya itu. Masih terbayang-bayang jelas dalam khayalanku. Aku tertidur membayangkan iya tersenyum menyanyikan lagu tidur untukku.
“Wahai Tuhan, ciptaan-Mu begitu indah. Kalau boleh izinkan aku mencintainya dengan sempurna.”, sebaris doa yang ku ucap sebelum tidur.
——————-
Pernahkah kalian merasa amat bahagia? Sehingga kau sering lupa waktu, lupa hari, kalian begitu larut dengan rasa bahagia. Ya, itulah jatuh hati. Saat kalian sedang jatuh hati, semua keindahan akan selalu hadir dalam tiap langkahmu.
Inilah yang sekarang aku rasakan. Tiga bulan dari perjumpaan itu kami memutuskan berpacaran. Proses pendekatan yang cukup singkat, kalau kalian mengatakan tiga bulan itu singkat, tidak menyurutkan tekadku merajut kasih dengan Dia.
Waktu yang kami lalui bersama. Aku selalu bersemangat tiap kali akan bertemu dengannya.
“Jarang ku lihat kamu mandi sore, Bro. Ternyata jatuh hati bisa merubah orang ya? Hahahaha.”, si Yoga selalu mengejekku yang mulai rajin mandi sore sejak berpacaran.
Benar kata Yoga. Jatuh hati bisa merubah orang. Lihatlah aku yang sekarang lebih rajin bangun pagi, seminggu dua kali kami jogging bersama, mandi sore tentunya, dan hal-hal positif lainnya yang muncul setelah kami berpecaran. Bukan hanya itu, bahkan hal unik seperti menghilangkan ketakutanku memakan petai, jengkol, dan sambel. Inilah jatuh hati, kawan. Kalian akan melakukan apa pun “in the name of love.”
Tapi, romansa itu hanya bertahan tiga bulan. Singkat, persis seperti masa pendekatan yang kami lakukan. Tiga bulan untuk sebuah kisah berumur tiga bulan.
Kami berdebat panjang tentang keputusannya mengakhiri hubungan kami. Aku dengan bermacam argumentasi dan rayuan mencoba menyelamatkan kapal yang diterjang badai ini.
“Kita sudah tidak bisa lanjut lagi. Jarak ini membuatku takut, Ja. Takut kehilangan kamu dengan cara yang tidak baik. Kamu terlalu baik. Aku takut selama KKN kamu banyak didekati wanita lain. Belum lagi aku harus ikut orang tua ke luar negeri. Aku hanya tahu LDR tidak selamanya berhasil. Dan banyak temanku yang gagal untuk itu. Kehadiran itu berarti, dan kalau ada yang dekat, kenapa kamu mencari aku yang jauh? Aku takut hanya memberikan harapan palsu selama kita jauh. Aku takut menjadi orang jahat untukmu suatu saat nanti. Bagaimana kalau jodohmu ada di sini. Di Indonesia, di Bandung? Dan bukan aku? Bukannya kita hanya akan mendikte Tuhan? Bukannya kita hanya saling menutup pintu jodoh yang seharusnya terbuka untuk kita?”, itulah kalimat-kalimatnya yang berhasil meruntuhkan logika sayangku. Dia sangat bersungguh-sungguh kali ini. Ini bukan sekedar kalimat wanita yang sedang datang bulan.
Habis sudah bangunan hati yang ku jaga baik-baik. Hancur sudah karena argumentasi takdir. Siapa yang bisa merubah takdir? Manusia mana boleh merusak jalan Tuhan atas rejeki, jodoh, dan kematian. Karena aku tahu persis alasannya adalah itu dan aku yakin dia sudah teguh dengan pendiriannya. Akhirnya aku pun merelakan.
“Ijinkan aku mengantarkanmu pulang untuk yang terakhir kali.”, hanya itu jawabanku di akhir perbincangan kami.
Beberapa hari aku hanya murung, merenung, lebih banyak diam setiap kembali ke kosan. Kehidupanku menjadi sangat datar. Aku bangun, meratap, melihat fotonya, mandi, makan, ke kampus, pulang sore, langsung tidur. Lalu, siklus itu terulang selama 7 hari ke depan.
Pada malam kedelapan, Yoga mendobrak kamarku saat aku tengah lelap tertidur. Atau boleh ku bilang aku memaksa mataku untuk tidur. Karena hanya dengan tidur aku berhenti memikirkan Dia.
“Ini aku pinjamkan kau buku, bro. Bacalah dulu sebentar. Semoga bisa mengobati kegalauanmu. Atau setidaknya mengalihkanmu dari kegiatan sia-sia selama beberapa hari ini.”, ucap Yoga sambil meletakkan sebuah buku novel di meja belajarku.
Ia melanjutkan, “Ayolah, bro. Kamu lebih kuat dari itu. Aku tahu itu. Aku masih ingat hal yang membuatku segan dan hormat padamu. Pertama kali kamu ku tanya kenapa memilih kehutanan, ingat kan jawabanmu apa. Kamu ingin menyelamatkan hutan Indonesia. Dulu aku kira kau sesuai namamu, Jati. Kokoh dan tegar. Tapi, sekarang aku kecewa. Jangankan mau menyelamatkan hutan di negeri ini. Menyelamatkan hidupmu, menyembuhkan hatimu saja aku rasa kamu yang sekarang belum mampu. Kalau kamu butuh sesuatu atau mau cerita sesuatu, aku selalu siap mendengar, kawan. Kamu harus tahu, bro. Kamu lebih dari sekedar pohon jati yang lapuk dimakan rayap. Rayap yang namanya Cinta.”
Ya, namanya memang Cinta. Dia bernama Cinta. Seorang wanita yang dengan hadirnya menghidupkan hatiku dan dengan kepergiannya membawa semua hati itu pergi.
Itulah sebabnya aku tidak mau menyebutkan namanya kepada kalian. Namanya begitu lekat dalam ingatan. Setiap ku dengar atau ku baca kata “cinta”, alam bawah sadarku langsung menghadirkan wajah dan senyumannya di benakku. Makanya aku menamainya dengan Dia. Karena kata “cinta” begitu penuh kesan mendalam tentangnya.
Setelah Yoga pergi meninggalkan kamar. Aku mencoba bangkit dan meraih buku yang diletakkannya di meja. “Pemintal Mimpi”, begitulah judul buku itu. Ku buka 1 halaman secara acak dan ku temui sebuah halaman yang menarik.
“Beruntunglah kalian yang hanya pernah mencintai 1 orang. Karena setiap cinta memiliki cerita dan tiap cerita pasti mempunyai kenangan. Dan kenangan akan selalu di hati. Bayangkan berapa banyak kenangan yang kau simpan di hati yang kecil ini jika banyak cinta yang sempat datang di hati?
Karenanya hiduplah dengan semua kenangan yang hidup di hati. Berbahagialah orang yang bisa merasakan kenangan. Karena kenangan itu menandakan hati yang masih hidup dan pernah mencintai dengan tulus.”
Dalam sekali tulisan orang ini. Apakah ini jawaban pertanyaan gundahku? Apakah Tuhan masih hendak memberikanku jalan yang lebih baik?
Seketika air mata haru itu menetes tanpa bisa ku bendung. Pertama, karena aku begitu malu dengan kegalauanku yang menghabiskan waktu dengan sia-sia. Kedua, karena Tuhan begitu baik merangkulku dengan perantara sahabat dan buku ini. Ketiga, karena hati ini tidak bisa bohong kalau rasa cinta ini ada untuk Dia dan aku merindukannya.
Sejak malam ini aku membuat keputusan yang mungkin merubah jalan takdirku. Aku memutuskan bangkit dari hidup penuh kegalauan. Aku akan meletakkan kenangan itu di hati. Biarlah Dia hidup dalam kenangan, biarkan Cinta selalu ada di dalam kenangan. Hiduplah Dia dalam kenangan dengan berjuta cerita yang dibungkus rapat bersama rasa cinta, ku simpan erat Cinta di dalam hati. Karena aku telah mencintai satu hati, biarlah sementara hati ini terisi kenangan akan dirinya.
Selesai

11 dan 12 Juni 2015
D. Sudagung

No comments: