13 May 2015

Senja

Aku tidak tahu kenapa akhirnya aku mau diajak ke sini. Berhari-hari memang sahabatku yang keras kepala itu membujukku. Ah, bukan membujuk, lebih tepatnya dia memarahiku. Katanya aku terlalu lama tinggal dalam gua yang sempit ini. Katanya aku terlalu lama meratap dan menangis.
“Lihat itu tong sampah, apa isinya? Tissue, kalau tissuemu habis mau kamu lap pake apa tangisanmu itu? Mau kamu tampung? Mau kamu tampung pake ember? Atau pake bak mandi? Kamu pikir dia senang di sana ngeliat kamu menangis dan meratap fotonya sepanjang hari sepanjang malam? Apa dia senang melihatmu kurus kering kayak gini, Na? Apa dulu katanya, “hey bulatku”, sekarang apa? Kamu begitu lurus, hilang sudah bulat di pipimu itu. Ayo ikut!“
Kami berdebat cukup panjang di dalam kamar itu. Aku hanya ingin di sini. Aku belum siap, belum mampu menghadapi dunia yang keras tanpa dia.
“Tidak pernah ada kata siap kalau kamu tidak mencoba, Na. Kamu bukan satu-satunya yang bersedih di dunia ini. Masih banyak orang-orang yang jatuh, tapi karena mereka menatap ke depan mereka pun mau bangkit untuk melesat maju. Lihatlah matahari, tidak pernah berhenti berjuang untuk bersinar sekalipun terhalang awan gelap ia tetap bersinar di balik awan itu.”
Aku masih belum ingin bertemu orang-orang. Yang menyalami mengucapkan berduka, prihatin, menyemangati, yang ku tahu beberapa hanya tahu berucap. Tapi, apa mereka tahu rasanya? Memang mudah mengucapkannya. Tapi, hati yang kosong ini mau diganti dengan apa. Kenangan yang tertinggal, yang terus terputar dalam ingatan. Senyumannya yang selalu teringat. Bagaimana tidak hancur remuk hati ini?
Sore ini akhirnya aku memilih mengikuti ajakannya. Aku pun diberikan tempat duduk tepat di depan jendela. Aku bahkan baru sadar itu jendela setelah 1 jam di sana. Sebelumnya aku hanya sibuk menatap gelas kopi dan secarik kertas yang tadi ku tulis untuk memesan minuman. Sahabatku sudah dari tadi pulang, dia ada urusan kerjaan yang tidak bisa ditinggal.
“Tenang-tenanglah duduk di sini. Nikmati saja kedai dan kopinya. Oya, 1 lagi. Jangan pulang sebelum sunset ya?”, ucapnya sebelum pamit.
Sunset? Kamu bercanda. Itu kebiasaan kami sejak dulu. Kamu sebut semua tempat melihat sunset di kota ini, itu sudah pernah kami jamah. Kamu justru menghadirkan kembali ingatan tentangnya, kawan. Makin banyak kenangan ini datang, makin kuat dorongan air mata ini untuk mengalir.
Kopi. Sudah lama rasanya aku tidak menikmati pahitnya kopi. Apalah artinya pahit? Aku sudah lama lupa apa itu pahit? Yang aku tahu hanya manisnya hidup bersamanya. Kini, aku kembali menikmati pahit. Untuk apa pura-pura mencari yang manis padahal hati sedang pilu, dan hidup sedang getir. Mungkin ini maksud temanku menyuruhku ke sini. “Nikmatilah pahitmu di tempat yang baru.”
Baru saja seteguk kopi yang ku minum, bayanganmu kembali datang. Habis sudah semangatku menelan habis pahitnya kopi. Aku kembali larut akan ingatan-ingatan itu. Hingga tanpa terasa malam telah datang. Aku tak mau menghabiskan malam di sini, aku tak ingin banyak orang melihatku menangis dan berempati padaku.
—————————
Setiap orang pasti punya titik balik. Ada 3 momen yang menjadi titik balikku. Ada 3 hal yang akhirnya bisa membukakan mataku. Membuatku melihat kembali hidupku tidak hanya berhenti pada satu titik yang bernama kesedihan. Hidupku tidak hanya sekedar diisi dengan bersedih dan meratap. Tapi, hidup bisa lebih dari itu. Hidupku akan lebih dari itu.
Kopinya, kedainya, dan sunsetnya. Atau mungkin aku balik urutannya: sunsetnya, kopinya, dan kedainya.
Kunjunganku di bulan kedua disponsori oleh kebawelan sahabatku. Dia terus saja mengomentari pengalamanku menikmati suasana kedai itu.
“Kedai itu lebih dari sekedar deretan kursi dan gelas-gelas berisi kopi, Na. Kamu belum menikmati semua dari tempat itu. Lagian kenapa kamu lagi-lagi memajang barang-barang kenangan itu dan memeluk-meluk bayangan dia lagi. Relakan. Sudah relakan. Ayolah, perjalanan hidupmu masih jauh. Ini hanya tanda koma dalam kisahmu, masih ada baris kata, deretan kalimat, berbagai tanda baca dan kisah-kisah baru yang menantimu.”
Dan berbagai macam bujuk rayu dan omelan yang diblend jadi satu rangkaian pidato. Pidato ala Ia. Temanku ini memang pandai memilah kata, menyusun kembali, memberikan penekanan pada argumennya, memainkan mimik muka, menambahkan ekspresi dalam setiap ucapannya. Lengkap, mungkin dia adalah Bung Karno, orator ulung yang dahulu kala sangat mahsyur nananya, versi perempuan.
Ini kunjungan ketigaku ke sini. Dua kunjungan yang hampa dan sekarang aku mencoba mulai menikmati seisi tempat baru ini. Aku tidak bisa bohong kalau wajahnya masih sering mampir. Dan itu cukup membuka sedikit demi sedikit kotak bernama kenangan di hati. Luluh lagi hatiku, menetes lagi air mataku. Aku cukup lama terdiam, menatap jendela.
Tanpa terasa waktu sudah beranjak sore. Warna langit mulai berubah. Merah, jingga, beradu padu bersinar di kaki langit. Ditambah lagi bangunan kota yang mendadak seolah menyala terkena bias cahaya senja. Indahnya. Aku baru sadar kembali ada keindahan seperti ini. Keindahan yang dulu sering kami nikmati bersama. Aku teringat kata-katanya dulu.
“Sayang, kalau kamu melihat senja. Lihatlah betapa mentari enggan meninggalkan hari. Perlahan ia melepaskan kekasihnya. Dengan senyum indah. Tahukah kamu waktu senja adalah seindah-indahnya senyuman mentari. Dia memberikan perpisahan terindah pada kekasihnya, memberikan kenangan terindah lewat senyum terbaik. Karena dia tahu dengan kenangan indah itu, kekasihnya akan terus hidup selama kepergiannya.”
Dulu aku tidak mengerti arti kata-katanya. Ternyata kamu ingin menjadi mentari, Sayang. Yang meninggalkan kenangan terindah untukku melanjutkan hidup. Air mata ini kembali menetes bersama hilangnya senja di sore ini.
Bodohnya aku, larut dalam gelap. Larut dalam sedih. Aku justru menjadikan kepergianmu begitu sia-sia dengan terus bersedih. Aku hanya melihat punggungmu, tanpa ku sadar bahwa di wajahmu kamu pasti tersenyum indah ingin menitipkan senyuman itu ke hatiku.
Hari ini aku cukup lega menikmati senja. Sedikit demi sedikit beban itu mulai lepas. Terima kasih Tuhan atas nikmat senja yang begitu indah.
——————————
Karena senjalah aku cukup sering mengunjungi kedai itu. Aku ingin menikmati senja lagi. Tapi, sayang berbulan-bulan aku ke sana. Hujan terus turun di kota. Aku hanya menikmati hujan dan tentunya kopi. Ya, kopi yang selalu sama sejak ku pesan pertama kali. Entah sejak kapan kopi ini selalu dihiasi oleh krim putih berbentuk senyuman. Aku baru menyadari itu di bulan keempat. Mungkin barista ingin mengajakku tersenyum.
Dan kopi ini selalu setia dengan rasa pahitnya. Pas. Sama persis saat kunjungan pertamaku. Dan selalu datang tepat waktu saat aku baru saja tiba di sini. Mungkin dia sudah hafal denganku, si pelamun yang selalu merenung menatap jendela.
Kopi ini begitu special. Karena aku juga sebenarnya punya satu kenangan tentangnya.
“Yang, aku suka minum berbagai macam kopi. Itu semua tergantung suasana hatiku. Kalau aku sedang senang, aku pilih yang pahit tapi manis dan menyegarkan. Kalau aku sedang susah dan risau aku pilih yang hitam pahit. Tapi, sejak aku menemukanmu kopi-kopi ini sudah tidak lagi menyisakan pahit.”, itu kata-katanya dulu waktu kami ngedate di salah satu kedai kopi favoritnya.
Sementara aku, sebenarnya selalu aku meminum secangkir kopi susu atau sejenisnya. Aku belum pernah meminum kopi hitam yang pahit. Baru waktu itu, di tempat ini aku mencobanya. Aku mengikuti nasihatnya. Secangkir kopi pahit untuk kehidupan yang perih.
“Kalau aku sedang senang, aku tengguk minuman manis ini supaya kebahagiaan yang kurasakan juga bisa kukecap dengan lidah. Begitupun saat aku sedang susah, biarlah pahitnya kopi itu mewakili semua kegundahan dan kuminum habis.”, begitulah alasannya setiap memilih minuman yang mau diminum.
Ya, terima kasih untuk kopi ini. Rasa kopi di sini sangat unik. Awalnya aku kira baristanya lupa aku pesan kopi pahit yang ada manisnya. Karena di awal aku mencoba kopi di sini, rasanya begitu pahit. Tapi, makin lama diminum tersembunyi rasa manis di dalam segelas kopi ini. Bahkan rasa manis itu yang tersisa di ujung lidahku. Dia mengajariku bahwa pahitnya hidup tidaklah sepahit yang selama ini aku bayangkan. Masih ada sedikit manis di ujung lidah, yang artinya mungkin masih akan ada bahagia di ujung jalan sana.
Sementara kedai ini berasa sangat special dalam perubahan suasana hatiku. Tempat ini begitu hidup. Baik dari tampilan luarnya yang unik. Dengan beberapa tanaman yang tergantung di bagian2 atas dinding luar. Begitu masuk tempat ini cukup luas dan kalian disuguhkan dengan beberapa pilihan tempat duduk. Dan aku selalu memilih spot di depan kaca besar di ujung sana. Tempat ini sangat tepat menghabiskan waktu, menyaksikan orang berlalu-lalang, menyaksikan kokohnya bangunan-bangunan tua di jalanan kota, menikmati senja pastinya, dan satu lagi, hujan.
Ya, menikmati hujan juga indah di sini. Rintik-rintik yang turun mengalir di kaca besar itu, cukup indah. Bahkan menangis di tengah hujan pun kamu boleh. Tidak ada yang melarangmu mengeluarkan ekspresimu di sini. Lihatlah. Lihat berbagai macam ekspresi orang di sini. Wajah-wajah bahagia, wajah-wajah cemberut, wajah-wajah tertawa, wajah-wajah yang sendu. Kamu bebas menampilkan dirimu dengan ekspresi terbaik atau terburukmu. Pelayan di sini pasti akan selalu tersenyum untukmu.
Oiya, ada 1 lagi hal yang membangkitkan suasana hatiku. Sore itu. Selagi aku menikmati kopi di sore yang hujan, kebetulan ada live musik di sini. Aku lupa temanya apa, tapi lagu-lagunya seingatku cukup enak didengar. Beberapa bahkan asing di telinga, tapi tetap asyik didengarkan. Aku membawa sepucuk surat.
“Na, aku rasa kamu sudah siap menerima surat ini?”, ucap Ia sahabatku.
“Surat? Dari siapa?”
“Dari Anry.”, jawabnya singkat.
Jangan sebut nama itu lagi, sobat. Sudah cukup lama aku mencoba melupakan dia dan kamu dengan entengnya menyebutnya lagi di depan mukaku. Tapi, aku tidak marah. Mungkin Tuhan punya jalan dengan mengingatkanku pada nama itu.
“Anry pesan berikanlah saat melihat kamu siap. Dan aku rasa, akhir-akhir ini suasana hatimu sudah membaik. Aku tidak mau menyimpan ini lama-lama, karena mungkin kamu lebih membutuhkannya.”, sambil menyerahkan surat itu dan memeluk tubuhku.
“Terima kasih, Ia. Kamu memang sahabat terbaikku.”
Surat. Surat dari Anry. Sejak kapan? Untuk apa? Banyak pertanyaan di dalam kepalaku sebelum membuka surat beramplop putih polos ini.
Akhirnya aku membukanya dengan membaca bismillah sambil menguatkan hati membaca semua isi surat dari Anry. Semoga Tuhan menguatkan hatiku melalui satu episode hidup ini, membaca surat dari kekasih yang telah tiada.
Dear Kirana yang tersayang
Itu tulisan tangannya. Dia sempat-sempatnya menulis di saat dia tergolek lemah di rumah sakit. Aku tahu dari tulisannya yang bergetar dan tanggal suratnya. Kenapa memaksakan diri, sayang?
Hey, apa kabar? Semoga kabarmu selalu sehat yaa. Semoga senyum si bulat tidak menghilang di pipimu. Atau semoga pipi itu tidak hilang dari wajahmu. :p
Mungkin saat kamu baca surat ini, aku sedang pergi. Tapi, tenanglah. Aku baik-baik aja koq. Dan aku akan selalu baik-baik aja. Karena aku tidak pernah pergi dari hatimu.
Saat hidupmu begitu susah. Saat hatimu begitu menyesakkan. Mudah-mudahan sebuah pesan dariku ini bisa bermanfaat.
Hey, jangan menangis. Aku tidak sedang cerita sedih loh. Aku sedang menyapamu. Hehehe. Kamu mah nangis aja kerjaannya ya? Liat tuh, matamu bengkak. Idungmu makin ilang tertutup mata. I wish i can pinch that nose. Senyum yaa. Bahagia.
Kalau aku tidak bisa menjadi alasanmu berbahagia, setidaknya aku tidak ingin menjadi alasanmu bersedih.
Percayalah, kenangan akan selalu hidup di hati. Dan kamu akan selalu hidup di hatiku.
Salam sayang
Anry
Nb: balik surat ini, semoga pesan di balik surat ini bisa menguatkanmu.

Aku lalu membalik surat ini dan menemukan sebuah tulisan di bawah surat.
Aku mencintaimu selalu
Semua pertahanan hati ini rubuh sudah. Aku tidak bisa menahan air mata yang meleleh. Kamu memang sangat berarti. Kamu menempati tempat terindah di hati dan akan selalu ada tempat spesial di hati untukmu. Aku begitu sedih dan begitu bahagia. Entahlah mana yang lebih dominan. Rasa rinduku terobati. Membaca suratmu seakan-akan melihatmu hidup kembali. Seolah kamu duduk di sini menemaniku.
Kedai ini sedang menyajikan sebuah penampilan lagu klasik yang aku tidak tahu judulnya. Tapi reff-nya berbunyi “Help me make it through the night”. Kenapa bisa pas lagunya? Di saat aku sedang ingin melewati malam dengan tenang.
Aku sedih, tapi aku tidak mau terlalu sedih. Aku ingat kata-katanya tadi.
“Aku tidak mau menjadi alasanmu bersedih.”
Aku memutuskan tidak lagi ingin bersedih. Benar kata sahabatku, dia tidak akan senang melihatku bersedih. Ya, aku tidak boleh bersedih lagi.
Terima kasih, Tuhan. Akhirnya Kau menjawab doa-doaku. Pertanyaan semua gundahku. Pertanyaan yang akhirnya terjawab lewat senja, segelas kopi, dan kedai ini. Dan tentunya surat itu.
Selesai

11, 12, 13 Mei 2015
Oleh D. Sudagung

No comments: