09 May 2015

Catatan Harian Seorang Barista

Catatan ke-1
Saya menyukai kopi. Saya menjelajahi seluruh Indonesia untuk mencari racikan terbaik. Boleh dibilang saya terobsesi pada buku klasik karangan seorang maestro seni Indonesia. Buku ini bahkan sempat difilmkan. Begitu menyentuhnya novel dan film itu. Kira-kira begitulah testimoni dari kakek saat menceritakan masa mudanya dulu. Kisah dongeng yang dia ceritakan saat aku kecil. Kisah inilah yang membentuk alam sadar saya untuk mencintai kopi. Bahkan lebih dari cinta saya kepada pacar saya. Yang padaa akhirmya kami putus karena saya dianggap lebih mencintai kopi dibandingkan dia. Sudahlah, cukup nostalgianya. Ini cerita bukan tentang dia.
Well, sampailah akhirnya saya di sini. 3 tahun menyusuri kebun kopi, warung kopi, dan banyak tempat indah di nusantara ini. Akhirnya saya memutuskan membuka sebuah kedai kopi di kota hujan. Kota ini cukup sering hujan, dan orangnya pasti mencari minuman hangat. Itu saja alasan saya memilih kota di bawah kaki gunung ini. Sekalipun sudah banyak kedai kopi di kota ini, saya kadung cinta ke suasana di kota ini. Bangunan klasik, cuaca yang sejuk, orang-orang yang ramah, dan kisah sejarah yang banyak di kota ini. Persis inilah kota yang sering dikisahkan oleh Kakek saya dulu. Kota penuh keindahan, konon orang dulu bilang Tuhan tersenyum saat menciptakan kota ini.
——————————-
Catatan ke-2
Tempatnya klasik. Mungkin itu komentar kalian saat mengunjungi kedai saya. Tempatnya tidak terlalu besar. Hanya 1 lantai. Tadinya saya buat konsep outdoor, tapi ternyata alam lebih kuat dengan seringnya hujan. Akhirnya saya mengalah dan merenovasi supaya orang tetap bisa menghadap jalan tanpa kehujanan.
Meja kotak ala warung kopi di pasar, yang cukup untuk berempat atau berdua. Kursi-kursi rotan dengan sandaran dan asbak. Setidaknya 3 hal itu yang penting bagi pelanggan. Jendela yang besar menghadap jalan dan dihiasi tanaman yang digantung untuk memberikan kesan hijau di sini. Jendela itu kuncinya, di mana orang tetap bisa ngopi menikmati jalan raya.
Tidak lupa saya buatkan ruangan khusus no smoking. Saya cukup toleran dengan penikmat kopi yang tidak merokok. Atau sebenarnya saya menyalurkan aspirasi pribadi di sini. Walaupun sudah fakta absolut bahwa sebagian besar pengopi adalah perokok. Tapi, saya adalah anomali. Saya pengopi sejati, tapi saya tidak begitu terobsesi dengan rokok. Sampai teman baik saya pernah mengomentari kejanggalan saya, “Sayang sekali, kawan. Kau kehilangan separuh nikmatnya menggenggam dunia. Kenikmatan itu adalah tangan kanan memegang rokok dan tangan kiri memegang cangkir kopi.”
Saya hanya menjawab dalam hati saat dia menasihati waktu itu, “Apa salahnya orang hanya menikmati kopi tanpa merokok?”
Klasik, ya aku mengusung tema klasik. Kembali ke zaman dulu. Saat minum kopi tidak hanya punya org bermobil. Karena itu juga harga kopi di sini tidak mahal. Setengah harga pasaran. Kopinya dipancong (istilah di kampung Kakek saya, artinya kopinya dipangkas hanya setengah gelas). Gelas kaca dialas piring seng dan sebuah sendok besar untuk mengaduk. Klasik, jarang sudah sajian kopi seperti itu di sini.
“Apa nama kedai kopimu, nak?”, tanya ayah saya saat bangunan ini sudah mulai selesai.
Historia. Sejarah. Saya selalu ingat pesan kakek saya, “Ingatlah sejarahmu nak. Kamu dibesarkan di kotanya kopi. Di mana warung kopi sama seperti kantor dewan rakyat. Di situ rakyat berkumpul. Di situ rakyat berdebat, beradu pikiran, bercerita, dan banyak lagi.”
Saya ingin mengembalikan masa-masa itu. Memang tidak gampang. Idealisme saya ini hidup di zaman materialistis. Uang, modal, kemewahan sekarang adalah trend. Ngopi pun sudah masuk dalam kategori itu, barang lux. Sudah susah kalian temui kedai kopi seharga kurang dari 10 ribu. Karena ngopi sekarang di mall-mall atau di cafe-cafe mentereng. Saya hanya ingin menyediakan tempat ngopi yang bisa didatangi oleh siapapun, kapanpun. Tanpa kelas, tanpa membeda-bedakan. Tujuannya cuma 1, kami ingin ngopi. Sudah cukup itu.
———————————
Catatan ke-3
Catatan ini saya lanjutkan kembali setelah sekian lama absen. Cukup banyak kesibukan di kedai kecil ini. Hilir mudik teman ngopi (begitu saya menggelari para pelanggan setia) di kedai selama beberapa minggu ini. Saya menemukan 1 kesimpulan selama menggeluti usaha ini bahwa manusia terdiri dari bermacam karakter. Salah satunya yang duduk termenung di depan saya.
Tatapan tajamnya beberapa kali menerawang gelas kopi. Entah apa yang dipikirkan. Sesekali dia melihat ke langit-langit. Atau sekedar membalikkan badan ke arah jendela untuk mengamati pejalan kaki. Saya sengaja memasang kursi bulat khusus di depan meja saji. Kursi bulat yang bisa diputar agar teman ngopi bisa dengan leluasa mencari view mana saja dari tempat duduknya.
Saat saya sedang menyusun gelas di rak, dia menyapa.
“Mas, apa arti kopi buat mas?”
Pertanyaan sederhana yang begitu bermakna.
“Kopi itu teman saya. Dan saya senang berada di antara teman-teman saya.”
“Oh. Teman? Kenapa bukan sisi gelapnya? Kenapa bukan kesendiriannya di satu gelas ini? Sudahlah mas, jangan hiraukan saya. Saya memang begini. Suka menanyakan hal-hal yang tak penting.”
“Ah, tenang aja mas. Saya juga senang-senang aja diajak ngobrol.”
“Mas, mau mendengarkan cerita saya?”
“Silahkan, mas. Dengan senang hati saya siap mendengarkan. Kebetulan sekarang juga masih sepi pelanggan.”
“Mas, kenapa saya memilih kopi hitam? Jawabanya ada pada ketegasan akan rasa pahitnya. Kopi tidak pernah manis pada dirinya sendiri. Ia tegas dan jujur pada realita. Dan selama saya bergaul dengan kopi hitam itu saya selalu mendapatkan sensasi yang berbeda. Apalagi saya pertama meminumnya setelah putus cinta. Itu menambah kenangan tersendiri bagi kopi hitam.”
Ia diam sebentar, sambil menarik nafas panjang. Sepertinya ia akan menceritakan suatu hal yang besar kali ini.
“Mas, pernah kecewa sama seseorang yang mas suka atau sayang? Begitu dalam rasa yang ada, tapi sudah saja itu tak berbekas di hatinya. Maaf mas saya sedikit curhat. Bener ya kata orang itu kalau Love can start with friendship but not all friendship can start with love. Susah mas memulai lagi sesuatu yang sudah pecah belah. Sekalipun menyatu, indahnya tidak seperti dulu saat kepingan itu masih bersama.”
Saya hanya diam menatap orang ini bercerita. Sepertinya begitu dalam perasaannya sampai dengan begitu seriusnya dia bercerita. Mimik wajahnya begitu serius, sekaligus menderita. Inilah salah satu alasan saya belum mencari pacar, saya takut sakit hati. Karena dulu hati ini pernah sakit dan lama sekali penyembuhannya. Bagaimana kalau terjadi lagi? Bagaimana kalau lebih lama dan banyak lagi kenangan yang tersimpan? Bisa gila saya nanti. Tanpa sadar saya justru teringat kisah pilu sendiri. Saya bisa paham kegundahan orang ini.
“Tapi, mas. Untungnya saya berkenalan dengan kopi. Apa yang saya alami belakangan ini dan yang saya dapat ketika minum kopi menjelaskan ke saya bahwa kehilangan adalah pahit yang pernah bisa dikecap lidah. Sampai kapan pun”, ia menutup ceritanya dengan sebuah kalimat yang saya rekam benar dalam memori.
“Tetap berkarya aja mas. Saya rasa mas berbakat sekali bercerita. Pemilihan katanya sangat indah dan berbobot. Mungkin baik jika ditulis mas.”
“Apa iya? Tapi, nanti apa ada yang mau nerima? Apa ada yang mau dengar curhatan orang kayak saya?”
“Mas, saya juga awalnya membuka kedai berawal dari banyak kata tapi. Cuma saya putuskan saya akhiri kalimat saya dengan kata iya. Iya untuk merintis usaha. Kebanyakan mikir ini itu dan segala kekhawatiran kita bikin kita cepat putus asa dan berhenti mencoba mas. Mungkin Tuhan sudah menuliskan guratan takdirnya untuk Mas sebagai penulis, cuma Tuhan juga mau lihat usaha mas sampai tidak untuk menjadi apa yang ditulis Tuhan.” saya coba membesarkan hatinya.
“Saya kira Mas cuma bisa membuat kopi dan tersenyum menyambut tamu. Ternyata sebiji kopi di depan mata saya lebih luas dari apa yang terlihat.”
Begitulah, kami mengawali obrolan panjang yang mengalir. Sedikit banyak kami beradu kalimat bijak, hasil perenungan atas kehidupan dan apa yang ada di sekitar kami. Saya sendiri memang larut dalam buku-buku sastra, filsafat, dan politik, sehingga saat si penyair (begitu saya menjulukinya) mengajukan suatu alur pembicaraan saya tidak begitu kaget. Sangat menyenangkan bisa melihat wajah-wajah bahagia di tempat kecil bersejarah ini.
——————————
Catatan ke-4
Ternyata tidak hanya saya yang punya kebiasaan menatap hujan. Nona di meja ujung itu salah satunya.
Pertama kali dia datang ke sini langkahnya gontai, hampir sepanjang jalan dari pintu ke meja di ujung sana hanya menunduk. Ia datang ditemani sahabat baiknya, seorang pelanggan setia saya.
“Aku cuma tau tempat ini, Kang. Tempat terindah menikmati senja dan keindahan kota dengan semua kemegahanan masa lalunya. Kaca etalase berbentuk setengah bundar di ujung itu jelas membuat kami lebih mudah menikmati kota.”
“Neng suka berlebihan gitu mujinya. Biasa aja. Kebetulan aja.”
“Hahaha. Aku jujur memuji, Kang. Tidak meminta jatah kopi gratis kayak waktu itu. Oiya, soal temanku. Biarkan saja dia duduk di sana. Biar dia menghirup udara luar, sudah cukup lama dia termenung di kamar. Kisah asmaranya cukup tragis, ditinggal mati calon suaminya mendekati hari H.”
Setidaknya itu alasan yang saya tahu kenapa nona itu termenung. Di hari pertama kunjungannya saya mencoba menyapa menawarkan menu. Dia hanya menunjuk salah satu list kopi. Tanpa menyebutkan apa-apa. Sebelum saya beranjak dia hanya menulis di secarik kertas.
“Jangan terlalu pahit, tapi juga jangan terlalu manis. Ambil aja kembaliannya. Terima kasih.”
Saya cukup faham dengan sikapnya, jadi tidak banyak balasan kata. Saya hanya membalas dengan senyuman terbaik. Karena kami selalu memegang erat moto, “Berikanlah senyuman terbaikmu buat para pelanggan, karena saat mereka keluar dari sini dengan tersenyum adalah kepuasaan bagi kami.”
Dan begitulah terjadi kejadian serupa berbulan-bulan. Hingga saya iseng menjadikannya objek pengamatan. Setidaknya saya bisa sedikit membantu memberikan progres kepada temannya saat dia menanyakan. Saya coba ingat-ingat kejadian pertama sampai terbaru.
Bulan pertama, 2 kunjungan.
-Kunjungan 1: menunduk saja, kopi sekedar diminum. Sesekali mengaduk kopi. Beberapa kali tatapannya kosong.
-Kunjungan 2: langkah masih gontai, sudah mulai melihat sekitar. Untungnya dia datang saat sore, waktu terbaik menatap senja. Dan saya menyaksikan dia menatap senja indah itu dari dekat. Kebetulan ada pesanan yang ingin saya antar. Terlihat linangan air mata di pipinya. Nb: Malang nian nasibmu, nona.
Bulan ke-2: cuaca hujan, dia tetap datang. Saya yang sudah hafal pesanannya, langsung saja mengantarkan segelas kopi hangat. Mungkin bisa menghangatkan badan di tengah hujan. Dia lebih banyak menatap hujan. Rona wajahnya tampak semakin pilu.
Bulan ke-3 sampai ke-5: hampir sama dengan sebelumnya dan entah kenapa dia hanya selalu datang saat hujan. Dan betapa pilunya suasana tiap sore saat dia mulai duduk di sudut meja. Bunyi hujan seperti memainkan orkestra sebuah lagu sendu yang sangat panjang dan penuh energi. Sesekali kilat menghentak menaikkan tempo. Alunan alam yang begitu pilu. Mungkin ini alasannya menanti saat hujan. Supaya ia bisa menikmati orkestra persembahan alam yang begitu menyayat hati.
Bulan ke-6: hujan rintik-rintik, kebetulan di kedai saya ada live musik. Dan temanya “eternal love song”. Semoga momen ini tidak salah untuk kedatangannya. Karena saya sama sekali tidak tahu kondisi hatinya.
Dia datang persis sebelum acara dimulai. Tempat favoritnya pun sudah sengaja kuberi “reserved” khawatir diambil orang lain saking penuhnya karena saya tahu hari ini jadwalnya berkunjung kemari. Dia tampak bingung saat melihat tulisan itu, tapi saya beri kode dari jauh ke pelayan di dekat sana untuk memberinya duduk.
Hari ini saya tidak banyak mengamati Nona itu. Kerjaan cukup banyak, Bung. Mana sempat mengamati atau kalau dalam bahasa gombal menikmati indah wajahnya. Saya sedikit geli menulis ini, tapi sudahlah hanya selingan.
Saya hanya sesekali saja sempat menyaksikan beberapa kali perubahan ekspresi wajahnya. Dari pertama hanya menatap hujan rintik di luar, hingga mulai menyimak alunan musik yang dimainkan bintang tamu.
Salah satu momen mengharukan selama karir saya membuka kedai adalah melihat ekspresinya wajahnya tiba-tiba tersenyum, walaupun jelas terlihat air mata itu masih menetes. Tapi, dia tersenyum, Bung. Bukan dia yang dulu menangis pilu menikmati tangisan hujan.
Momen itu adalah saat dimainkannya lagu “Help Me Make It Through the Night” yang diciptakan oleh Kris Kristofferson. Sebuah lagu lawas era 70-an, era kakeknya kakek saya. Untungnya penyanyi di kedai ini memang suaranya merdu didukung dengan alunan gitar akustik dan sound system yang bagus, suara merdunya begitu menyentuh pendengar di sini. Tepuk tangan riuh mengakhiri alunan lagu tersebut. Dan sebuah senyuman adalah harga termahal yang terbayar dari sebuah lagu lawas itu kawan.
Malam ini dia menyempatkan mampir ke kasir tempat saya biasa nongkrong.
“Kang, terima kasih.”, ia membayar dengan uang nominal 150.000 rupiah.
“Sama-sama, Neng. Oya, kembaliannya…”
“Itu ganti sewa kursi dan meja selama ini, dan untuk semangat baru dari kedai ini. Semoga selalu laris dan bisa menjadi semangat baru, Kang.”, dia perlahan beranjak pergi meninggalkan pintu.
Saya hanya menyaksikan saja salah seorang bidadari yang akhirnya tersenyum. Syukurlah, jika hatinya sudah kembali kuat dan tidak serapuh dulu. Siapa yang tidak rapuh dihantam masalah seberat itu.
Ternyata lagu sendu, nyanyian hujan, belum tentu cukup melepaskan kegelisahan hati. Mungkin ia cukup menemanimu menangis dan akan terus menangis. Sebaliknya, sebuah lagu indah, harapan akan keindahan, suasana riang, cukup menghadirkan sebuah senyuman. Dan percayalah, sebuah senyuman adalah gerbang sebuah hati yang berbahagia.
“Mas, itu siapa tadi cewek cantik?”, suara seorang laki-laki muda tiba-tiba menyadarkan saya dari lamunan.
“Akan saya ceritakan setelah kedai tutup, Mas. Bersedia menunggu? Bersedia mendengarkan kisahnya? Ceritanya kurang lebih setengah buku ini?”, sambil saya tunjukkan buku harian saya.
“Siap, Mas! Siapa tau bidadari itu jodoh saya, sampai besok subuh pun saya siap menunggu, saya siap mendengarkan.”

Selesai

21, 28 April, 9 Mei 2015
D. Sudagung

No comments: