24 May 2013

Keseharian, Pengalaman, dan Pelajaran-pelajaran Baru

Sampai dengan beberapa bulan terakhir ini saya mengikuti sebuah kegiatanextention course bernama Everyday and Cultural Life di kampus Filsafat dan Budaya UNPAR. Saya direkomendasikan oleh salah seorang keluarga saya yang menurut saya sangat luas wawasannya. Pada awalnya saya berpikir apa salahnya dicoba karena ilmu mungkin bisa datang dari mana saja. Bahasa kasarnya “iseng-iseng” mencari ilmu. 
Suatu pelajaran baru di tempat yang baru buat saya terutama di kampus orang lain. Suatu kajian keilmuan yang selama saya kuliah merupakan salah satu yang bobotnya terberat. Terberat dalam arti keluasan cakupan ilmunya dan cara mempelajari ilmunya. Menurut pemahaman saya mempelajari filsafat adalah kegiatan bertanya-tanya. Meskipun demikian sampai saat ini (pertemuan ke-8) saya belum bertanya secara langsung kepada pemateri.
Acara ini dilakukan setiap hari Jum’at pukul 18.30. Para pemateri pun beragam, meskipun sejauh ini hanya 1 orang yang saya tahu, yaitu Ridwan Kamil. Pemaparan materi setiap minggunya berbeda-beda sudut pandang dengan satu tema yaitu “Keseharian”. Perjuangan para pencari ilmu dari Jatinangor setiap sore antara pukul 5 ke atas menuju Bandung. Jangan bayangkan jauh, macet, dan jika hujannya. Ini sekedar info selingan.
Pada pertemuan pertama saya mendapatkan suatu ilmu yang baru. Pernahkan Anda membayangkan ada sekelompok orang-orang yang membahas “kehidupan sehari-hari” secara keilmuan? “Keseharian” yang biasa kita hanya tahu sebagai rutinitas, seperti saya makan, saya minum, saya belajar, saya bekerja, dan sebagainya itu. Pada pertemuan pertama itu dikupas secara mendalam apa itu “keseharian”. “Keseharian” yang dibahas justru berbeda dengan yang biasa kita tahu. “Keseharian” yang natural adalah yang terjadi saat ini dan ia tidak akan terulang. Ada unsur spontanitas. Diistilahkan oleh Prof. Bambang Sugiharto dengan “the now”. 
Bahkan untuk menjelaskan “keseharian” ini bisa dengan beberapa sudut pandang para tokoh, seperti George Simmel, Walter Benjamin, Henri Lefebure, dan Michel de Certeau. Siapa ini nama-nama yang disebutkan di atas. Bagi saya ini asing, tapi ini jadi hal yang baru yang membuat saya berpikir “O, begitu”. 
Satu hal yang menjadi fokus pertemuan pertama itu adalah “Keseharian vs Modernitas”. Seperti yang saya sebutkan di atas, “keseharian” itu yang saat ini dirasakan dialami. Sedangkan modernitas membawa suatu mekanisme sistem yang membuat kita melakukan rutinitas-rutinitas, contohnya sistem pekerjaan, sistem belajar, sistem komunikasi, teknologi, dan sebagainya. Kesemua sistem ini menuntut Anda untuk melakukan kuantifikasi dengan mengesampingkan kualifikasi. Ada rutinitas yang membuat kita tidak sempat menikmati kualitas saat ini atau the now. Bahkan sesuatu yang kita alami itu membanjiri diri kita tanpa sempat dirasakan. Dikatakan belum selesai kita menonton tv kadang kita sudah harus melakukan panggilan telpon. Atau belum selesai memikirkan jawaban pertanyaan yang satu, kita sudah harus memikirkan jawaban pertanyaan lainnya. Belum selesai pekerjaan yang satu sudah harus mempersiapkan pekerjaan lainnya. Semuanya itu begitu saja berlalu tanpa ada sesuatu yang bermakna dalam keseharian kita.
Meskipun disodorkan suatu solusi untuk menikmati “saat ini” itu dengan menulis pengalaman Anda, tapi saat Anda menulis itu bukan suatu hal yang saat itu Anda rasakan. Dengan Anda menulis pada saat merasakan “saat ini” pun itu berarti Anda mengganggu proses “kekinian” itu. Tapi, setidaknya dengan menulis pengalaman Anda setelah merasakan waktu “saat ini” ada suatu sarana untuk kita mengingat waktu-waktu yang pernah kita nikmati. Dalam bahasa yang praktis kita melukiskan kembali momen yang berarti yang kita rasakan. Momen berarti ini bisa momen paling membahagiakan atau yang paling menyedihkan dalam satu hari Anda.
Pernahkah Anda sekarang benar-benar menikmati waktu yang ada saat ini tanpa terganggu oleh pikiran-pikiran lainnya? Pernahkah ada suatu “waktu” yang membuat Anda merasakan diri kita lepas dari rutinitas yang itu-itu saja? Momen berarti apa yang Anda rasakan hari ini? 
Satu kalimat yang menarik pada pertemuan tersebut adalah “Kita terlalu banyak mikir, jadinya semua menjadi masalah”. Mungkin yang dimaksud di sini adalah kita berhak menikmati waktu saat ini tanpa perlu memikirkan ada apa nanti di depannya. Dalam bahasa yang lebih religius bisa dikatakan kita mensyukuri waktu saat ini. Dengan rasa syukur ini kita menjadi orang yang lebih bisa merasakan apa yang kita dapati. Kita tidak sekedar menjadi orang yang melakukan rutinitas secara jumlah, tapi ada kualitas peristiwa-peristiwa yang kita rasakan. 
Bisa jadi momen-momen itu memberikan kita pelajaran, baik itu lewat peristiwa yang baik maupun buruk. Bisa jadi juga peristiwa kita yang pernah kita alami dan kemudian kita bagi dengan orang-orang menjadi pelajaran untuk orang lain. Satu kalimat lagi yang saya kutip hari itu dari salah satu peserta diskusi adalah “Aku bisa merasakan hidup 100 tahun karena aku mengetahui pengalaman yang dirasakan oleh orang-orang lain. Pengalaman-pengalaman itu menambah pengetahuan aku walaupun tidak aku alami.”

Oleh D. Sudagung
24 Mei 2013

No comments: