23 April 2013

Perjumpaan dengan Si Dia

Tepat tanggal 23 April 2013, terjadi sebuah perjumpaan unik dengan seorang yang luar biasa unik menurut saya. Sebenarnya petemuan kami sudah diawali sejak tahun 2011. Lantas apa beda perjumpaan dengan pertemuan? Perjumpaan saya artikan sebagai pertemuan tatap muka saya langsung dengan dia. Sedangkan pertemuan adalah saat saya berjumpa lewat tulisan-tulisan dia. Puitis ya bahasanya? Begitulah saya. Sebelum cerita tentang saya tambah panjang menghiasi tulisan ini kita kembali ke bahasan utamanya, Si Dia.
Sebuah pertemuan yang tidak direncanakan sampai dengan seminggu lalu. Waktu itu saya melewati jalan kampus dengan kebiasaan cuci mata. Cuci mata itu bisa dengan melihat wanita, pemandangan alam, suasana kampus, dan spanduk-spanduk.  Terpampang sebuah spanduk besar di dekat gerbang masuk kampus yang pada tengahnya tertulis nama Tere Liye. Otak saya langsung berpikir memutuskan saya harus datang. Meskipun saat itu otak saya tidak bisa memutuskan untuk segera melakukan pengereman atau balik arah karena motor saya sudah terlanjur melaju kencang. Ya, janji itu pun dibuat dalam otak saya pada tanggal 23 April 2013. Lantas saya menghubungi seorang kawan yang juga minat yang sama dengan Si Dia. Kami sama-sama punya cerita sendiri soal awal pertemuan kami dan pertemuan itu sangat berkesan buat kami dan saya pribadi.
Sesampai di fakultas ingatan tentang Si Dia sedikit hilang karena kegiatan yang saya lakukan di sana ditambah dengan guyur hujan. Hujan memang musuh besar dalam kegalauan saya. Oke, maaf kembali lagi ini bukan tentang saya tapi tentang Si Dia. Kisah perjumpaan ini berlanjut dengan usaha saya pontang panting mencari cara untuk merealisasilkan janji dengan Si Dia. Sepulang dari kampus ternyata tidak ada spanduk tentang Si Dia di pintu keluar. Kecewa karena harus memutar balik ke gerbang masuk, tapi kekecawaan lebih besar dibanding usaha saya untuk memutar balik. Rencana cadangan adalah browsing di internet, mulai dari google sampai web kampus, hingga ketemu sebuah akun twitter yang me-retweet info dari panitia. Harapan itu muncul lagi kawan. Tanpa basa-basi saya ikutan retweet dan mem-followakunnya sambil tidak lupa simpan nomor kontaknya. Berhubung sudah jam 11 malam, saya urung menghubungi Sang Perantara.
Keesokan paginya saya harus datang pagi sekali ke kampus karena ada tugas negara melatih para prajurit perang futsal jurusan. Nasib baik dari Langit mempertemukan saya lagi dengan selembar besar spanduk yang sama tapi di gerbang bawah. Tanpa menunggu lama saya menghubungi Sang Perantara untuk membuat janji ketemu Si Dia. Sedikit negosiasi karena Sang Perantara menyebutkan jam 9 pagi sebagai syarat untuk bertemu menyepakati harga, tetapi akhirnya Sang Perantara masih menyediakan jam 3 sore. Baik, sepakat dan saya melanjutkan melatih.
Jam 3 dan saya terlambat karena baru bisa hadir pukul setengah 4. Nasib baik ternyata Sang Perantara masih menunggu di situ dan ditambah sebuah kabar gembira, beli 2 gratis 1. Kebetulan saya mau beli 2 janji dan bonusnya gratis 1 janji lagi. Sedikit masalah baru muncul, untuk siapa 1 janji ini? Nanti saja pikirku. Ada satu orang yang ingin diajak, tapi mengingat rutinitasnya kemungkinan itu kecil untuk bisa menghadirkan ia di janji itu. Negosiasi panjang dengan sahabat yang mendapat hak tiket kedua tentang siapa yang akan kita ajak menepati 1 janji lagi. Beberapa nama sempat direkomendasikan hingga pada hari H, sahabat kami yang kebetulan datang dari Bandung datang ke kostan. Memang hobi baca novel dan tulis menulis, langsung saya sergap dengan ajakan ikut. Sedikit penolakan karena dia belum pernah baca tulisan Si Dia, saya balas dengan menyodorkan “Rembulan Tenggelam Di Wajahmu”. Hingga deadline jam 3 sore pada tanggal 23 April 2013 masih galau sahabat saya sampai akhirnya dia memutuskan ikut menepati 1 janji gratis itu.
Sampai di tempat perjumpaan kami, duduk menunggu yang mana sih muka Si Dia? Kayak mana sih perawakannya dan kayak mana sih orangnya? Karena jujur dari sejak pertemuaan pertama, kedua, dan ketiga saya masih belum tahu yang mana Si Dia ini. Bahkan sehari sebelum perjumpaan saya sempat searching di internet hanya sepotong foto seorang suami memotret istri dan anaknya. Sebatas itu saja yang saya tahu dari wajah Si Dia. Tiga kali bertemu lewat “Sang Penandai”, “Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah”, dan “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” tidak cukup hingga saya sejak bertemu pertama kali lewat “Sang Penandai” sepakat dengan diri saya bahwa Si Dia ini hebat. Salah satu tulisan yang menginspirasi dan mungkin kemudian waktu mudah-mudahan saya disempatkan Tuhan menulis tentang tiga pertemuan saya.
Si Dia muncul dengan setelan anak muda, santai, nyantai, dan jauh dari bayangan saya. Memakai kaos lengan panjang, celana lapangan, dan semacam sepatu gunung. Badan kurus, rambut rada cepak, kalau kata sahabat saya mukanya culun. Well, itu kesan pertama pertemuan kami. Dalam bayangan saya orang ini rambutnya gondrong dan bertubuh gempal. Kecewa? Tidak, karena itu hanya rekayasa imajinasi saya dan bersyukur sempat bertemu dengan Si Dia. Inilah Darwis Tere Liye yang saya kenal lewat tulisan “Sang Penandai”. Mungkin yang lebih Anda kenal dengan “Hafalan Sholat Delisa” atau “Bidadari-bidadari Surga”. Jangan tertipu kawan dengan perawakannya yang culun. Gaya bicaranya persis sosok Ray, yang dikisahkan dalam “Rembulan Tenggelam di Wajahmu”, menguasai dan menusuk.
Sepanjang perjumpaan kami, Bang Darwis (begitu sapaan dalam perjumpaan itu) mengawali dengan kisah 3 orang mahasiswi kedokteran. Mereka bertiga adalah sahabat satu kampus, satu kelas, dan satu asrama bahkan. Setelah disahkan menjadi dokter mereka berjanji dalam sepuluh tahun mereka akan bertemu kembali dan melihat siapa diantara mereka yang paling banyak pasiennya.
Sepuluh tahun berlalu terjadilah reuni tiga sahabat tersebut. Dokter A menjadi seorang dokter umum di kotanya. Dokter umum yang sangat amat ideal. Baik hati, ramah, sering memberikan pelayanan gratis bagi yang tidak mampu dan banyak dikunjungi oleh pasien saat membuka praktek. Terhitung sampai puluhan ribu pasiennya dalam 10 tahun. Dokter B memilih menjadi dokter spesialis penanganan bencana. Meskipun bencana tidak rutin setiap saat, tapi kalau sudah terjadi seorang dokter spesiali bisa menangani ratusan sampai ribuan pasien. Jumlah pasien yang dicapai hampir sama sekitar puluhan ribu pasien. Giliran Dokter C berkisah yang hanya bilang saya selama 10 tahun ini hanya merawat 2 pasien. Bagaimana bisa? Ternyata sejak dia lulus, pulang ke kota asalnya, dan menikah ternyata Ibunya sakit keras dan lumpuh. Hingga 5 tahun setelahnya Si Ibu meninggal dunia. Nasib ternyata masih belum berbaik hati, suami Dokter C ini juga menderita sakit yang sama selama 5 tahun. Jadi, pekerjaan si Dokter C hanya merawat ibu dan suaminya. Hanya itu. Tapi, Dokter C punya rahasia kecil. Dalam 1 dan 2 tahun pertamanya merawat Si Ibu dia merasa frustasi karena ia sebagai lulusan kedokteran hanya bisa merawat seorang ibu dan tidak bisa mendapatkan apa yang bisa didapatkan oleh dokter muda yang lain. Hingga di tahun ketiga dia mulai bisa berdamai dengan perasaannya dan memutuskan menulis pengalaman dan ilmunya selama merawat Si Ibu di blog. Tanpa terasa hitungan waktu berjalan seorang editor di salah satu penerbit melihat harta karun ini dan memutuskan menghubungi Dokter C untuk menerbitkan tulisan-tulisannya dalam sebuah buku. Tidak hanya 1 buku tapi menjadi 5 buah buku, mulai dari merawat ibu sampai ilmu kedokteran baru dengan ramuan herbal. Buku itu mencapai jutaan kopi, memberikan manfaat bagi banyak orang dan ternyata buku ini yang juga dipakai oleh teman-temanya tadi. Jadi, Dokter manakah yang paling banyak memiliki pasien?
Perjumpaan kami dilanjutkan dengan beberapa sesi tanya jawab dan diawali dengan salah seorang penanya yang bertanya, “Kenapa tidak memasang profil Bang Darwis di buku?“ Jawaban yang bijak dari seorang Darwis Tere Liye adalah “Tidak ada urgensinya penulis muncul di mana pun. Saya menghargai para penulis yang hendak menulis profil dan akhirnya diketahui banyak orang. Saya juga berharap orang lain sebaliknya menghargai saya dengan prinsip saya untuk tidak meletakkan profil saya.” Bang Darwis percaya pada prinsip menulislah banyak hal dan membagikan banyak hal. Tanpa harus berharap pada likes dan comment. Karena penulis yang baik tugasnya adalah menulis. Begitulah sesi awal tanya jawab yang terjadi.
Kemudian Bang Darwis menambahkan lagi dengan sedikit kisah kebahagiaan dia sebagai penulis. Suatu ketika di pesawat ada orang di sebelah saya membaca karya saya dan ia sambil malu-malu menutup muka menangis tanpa tahu kalau di sebelahnya itu ada penulisnya. Atau saat menunggu di bandara  saya melihat orang yang membaca karya saya tanpa tahu orang yang menulisnya melewatinya. Saat menonton Hafalan Sholat Delisa di bioskop bisa melihat banyak anak kecil yang bisa mengucapkan “Aku sayang Mama”. “Itu adalah kebahagiaan buat saya, itu adalah achievement yang luar biasa buat saya.”, begitu Bang Darwis menyampaikan.
Pesan kedua dari perjumpaan kami adalah menulis itu butuh amunisi. Ibarat mengisi 6 gelas teko dengan sebuah ceret berisi air, kalau air di dalam ceret itu habis maka tidak akan terisi gelas-gelas itu. Tapi, saat kamu punya selang air yang terhubung ke mata air pegunungan bukan cuma 6 gelas yang bisa kamu isi melainkan 1 tangki air pun bisa kamu isi. Ini adalah pesan kedua Bang Darwis buat kita-kita yang punya keinginan menulis.
Pesan selanjutnya dari Bang Darwis adalah “Penulis yang baik cinta dengan dunia tulis menulis tanpa terpaksa. Ibarat buang air besar kalian tidak pernah terpaksa untuk melakukannya. Cinta itu ada karena terbiasa menulis.” Simpel bukan, semua bermula dari cinta. Kalau cinta terus mau apa? Gunung tertinggi juga akan didaki atas nama cinta, laut terdalam juga bisa diselami atas nama cinta. 1 kata yang punya banyak motivasi dan kekuataan, Cinta.
Perjumpaan ini berlanjut pada pertanyaan kisah dulu Bang Darwis mulai merintis menulis fiksi. Beliau bilang, “Saya memiliki 2 pilihan saat itu, pertama menjadi kolumnis tetap yang akhirnya menjadi pengamat ekonomi politik. Atau kedua saya menjadi penulis fiksi dan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang banyak. Simpel, konkrit, dan bermanfaat. Saya bisa menulis apa saja dengan menjadi penulis fiksi.” Lagi-lagi kesederhanaan pola pikir yang tersampaikan dengan sangat sederhana tapi punya makna yang lebih dari sekedar kata S.E.D.E.R.H.A.N.A. Kita harus punya manfaat bagi orang lain. Ini pesan ketiga yang bisa saya petik dari perjumpaan kami.
Sebuah kalimat hebat lagi yang meluncur dari Bang Darwis adalah “Apakah kalian mau bertanggung jawab terhadap setiap tulisan kalian? Bertanggung jawab terhadap setiap paragraf yang kalian tulis?”. Ini adalah kalimat nasihat agar para penulis ataupun calon penulis memperhatikan dan mempersiapkan apa yang ditulis. Karena dampak dari tulisan Anda bukan main-main. Penafsiran itu datang dari para pembaca dan bisa saja terjadi salah tafsir yang justru mempengaruhi pembaca tersebut. Maka, dari itu beliau mengisahkan dalam menulis “Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin” sangat berhati-hati supaya tidak salah pembaca menafsirkan dan tidak bisa dipungkuri masih ada saja yang salah menafsirkannya.
Melanjutkan perjumpaan kami dengan sedikit perumpamaan, manusia modern menulis 1000 kata tiap hari. Bayangkan dalam satu tahun manusia modern menulis 365.000 kata. Sedangkan satu novel rata-rata berisi 50.000 kata. Idealnya manusia modern bisa membuat 7 buah novel dalam setahun. Tapi, itu tidak terjadi dan apakah kalian akan tetap dalam kesia-siaan itu? Bangsa Indonesia merupakan salah satu yang masuk dalam kategori tersebut. Bayangkan dalam sehari ada jutaan update status Facebook dan Twitter dari orang-orang Indonesia. Tapi, hanya sedikit yang benar-benar menulis.
Salah satu kalimat inspirasi lainnya datang dari Bang Darwis. Kalimat ini yang beliau sampaikan hampir di setiap workshop atau seminar penulisan. “Saya hanya menyalakan api kecil di dada kalian, tapi yang menentukan api itu menyala besar atau malah padam adalah kalian sendiri.” Karena yang tahu apa yang nantinya kita tulis adalah diri kita dan itu ada di dalam diri kita. Mari kenali diri sendiri, mungkin begitu maksud Bang Darwis. 
“Tulisan tidak harus megah dan hebat, yang penting kalian terus menulis. Tidak berharap like dan comment. Konsisten menulis. Jangan remehkan sekecil apapun tulisan Anda, karena kita tidak tahun akan sampai di mana gaungnya.” Ini juga kalimat yang sangat inspiratif dari Bang Darwis. Perumpamaan dari beliau adalah saat kalian rutin menulis dan post di blog misalnya, lihat dalam 3-5 tahun lagi maka tulisan itu akan jadi harta karun yang paling berharga buat kalian. Memang tidak ada yang tahu sampai ke mana manfaat tulisan-tulisan kita.
Menutup perjumpaan kami setelah hampir 1 jam bertatap muka, Bang Darwis menyampaikan dua buah cerita lagi. Cerita pertama tentang seorang anak perempuan usia 15 tahun kira-kira kelas 1 SMA yang hidupnya berantakan, orang tuanya cerai dan beban hidupnya berat datang di sebuah workshop. Ia mulai menulis untuk menumpahkan gundah gulana kekesalannya. 1-2 tahun berjalan dia masih menulis tentang kekesalannya dan di tahun ketiga dia mulai menulis tentang harapan-harapan. Meskipun setiap beberapa bulan sekali ia meminta Bang Darwis mengomentari, tetap saja Bang Darwis dengan prinsipnya menolak karena kita sudah sepakat kita menulis tidak berharap likesdan comment kata beliau. Sampai suatu waktu Si Anak ini bercerita kalau ternyata ada satu anak juga di seberang pulau sana yang punya nasib yang sama bahkan ingin bunuh diri. Hingga ia menemukan tulisan Si Anak ini dan itu merubah kehidupannya karena ia merasa ada teman senasib sepenanggungan. Ajaib, tulisan kecil tersebut mampu berdampak besar pada seorang anak lainnya.
Perjumpaan kami akhirnya ditutup dengan kisah persahabatan Burung Pipit, Penyu, dan Sebatang Pohon Kelapa. Kisah ini bermula ketika mereka bertiga saling bercerita kisah petualangan masing-masing. Burung Pipit yang terbang menjelajahi langit telah sampai ke belahan dunia lain dan mengunjungi berbagai macam kota-kota baru yang berbeda-beda. Pun demikian Penyu yang berenang menyeberangi samudera menuju peradaban-peradaban baru yang berbeda dengan tempat asal mereka. Tapi, apalah daya Sebatang Pohon Kelapa yang dari sejak ia lahir sampai sekarang hanya berdiri memandangi matahari yang terbenam dan terbit. Namun, ia punya sebuah rahasia kecil. Buah kelapanya yang jatuh setiap kali dibawa ombak akan menuju ke ujung pantai yang lain dan ujung negeri yang lain. Ia tumbuh menjadi pohon kelapa lagi  dan terus begitu hingga anak peranakannya telah mencapai berbagai macam ujung dunia baru. Jadi, pohon kelapa yang kulihat di negara seberang sana adalah anak-anakmu? Begitu tanya Burung Pipit dan Penyu. Ya, memang Sebatang Pohon Kelapa tidak beranjak dari tempatnya tetapi ia menyebar buah-buahnya untuk menggapai ujung dunia yang lain.
Kesan perjumpaan pertama yang amat dalam. Berbagai kisah yang diceritakan sangat bermakna. Tidak salah penilaian awal saya sejak bertemu lewat “Sang Penandai” bahwa ini orang beda, ini orang hebat. Semoga saya dan Anda sekalian bisa menikmati membaca tulisan Bang Darwis atau bahkan kita juga jadi bagian dari penulis yang menggaungkan manfaat ke banyak orang lain tanpa berharap likes dan comment.
Ditulis di suatu pagi tanggal 24 April 2013.
Oleh D. Sudagung

No comments: