17 December 2009

Banyak Jalan Menuju Harapan

Indonesia pernah dipimpin dan digerakkan oleh dua tokoh besar, yaitu Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Dua sosok panutan yang pernah dimiliki oleh Negara Indonesia. Ir. Soekarno yang terkenal sebagai seorang agigator yang ulung serta dianggap memiliki karisma yang amat luar biasa. Bahkan ada yang menyebutkan jika beliau berpidato, maka para “audiences” akan terdiam. Mohammad Hatta juga tidak kalah hebatnya, pola pikirnya yang tenang dan bijak menunjukkan kecerdasan beliau. Keduanya bahkan dijuluki “Dwitunggal” yang merupakan penganalogian dari kekompakan keduanya. Begitulah sejarah mencatat nama besar kedua founding father Indonesia ini.

Meskipun keduanya pernah dijuluki sebagai “Dwitunggal”, namun fakta juga menunjukkan bahwa keduanya kompak dari A-Z, dari permulaan saling kenal sampai akhir hayatnya. Beberapa pertentangan sempat mewarnai sejarah kehidupan dua tokoh besar ini baik selama masa pergerakan, maupun ketika Indonesia sudah merdeka. Pada tulisan ini yang akan saya membahas terutama mengenai dasar pemikiran mereka dan cara yang mereka gunakan pada masa pergerakan, khususnya masa kolonial Belanda, untuk menuju harapan yang satu, yaitu INDONESIA MERDEKA.

Perbedaan dan Pertentangan

Bung Karno, nama sapaan bagi Ir. Soekarno, merupakan seorang anti-Barat yang sangat gigih. Pemikiran beliau yang non-kooperatif membuatnya menjadi salah satu orang yang paling dicari oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Beliau bahkan sampai dipenjara di penjara Sukamiskin, Bandung karena beliau dituduh mengadakan pertemuan berbahaya dan berniat makar terhadap pemerintahan Kolonial Belanda. Kemunculan pola pikir beliau yang nasionalistis dan anti-kolonial ini dikarenakan beliau merupakan produk asli pendidikan lokal Hindia Belanda saat itu. Dari segi dasar pemikiran pada masa pergerakan, beliau lebih memilih jalur non-kooperatif dengan sama sekali melakukan perlawanan terutama lewat pidato dan orasinya serta lewat organisasi, seperti PNI (Partai Nasional Indonesia). Beliau juga menekankan pada prinsip kesatuan rakyat terutama dalam melakukan pergerakan. Serta pandangan beliau yang mendukung adanya “demokrasi sentralistis “ dibawah kepemimpinan yang mampu menyatukan pergerakan membawa rakyat menuju harapan yang lebih baik, yaitu MERDEKA.

Berkebalikan dengan Bung Hatta, sapaan bagi Mohammad Hatta, yang terpengaruh oleh pola pemikiran Barat karena beliau melanjutkan studi di Belanda. Beliau lebih berpikir secara realistis dan rasional. Dalam arti perjuangan dilakukan dengan cara yang non-kooperatif tapi lebih melihat realitas politik yang ada. Hal inilah yang menjadi cikal bakal pertentangan sengit antara Bung Hatta dan Bung Karno. Selain itu, Bung Hatta lebih menekankan pada prinsip kedaulatan rakyat dan lebih condong ke arah “demokrasi parlementer”. Hal ini dikarenakan pengalaman beliau selama hidup di Belanda yang melihat bahwa pemerintahan Belanda juga tidak bisa seenaknya dalam menjalankan pemerintahan, segala kebijakan dari pemerintahan Belanda bisa saja ditolak oleh parlemen.

Bertolak belakang memang pola pemikiran kedua Tokoh Besar Indonesia ini, dan memang sejarah juga mencatat bahwa terjadi pertentangan yang sengit selama masa pergerakan baik itu di media massa maupun dalam pidato-pidato mereka. Saling sindir dan kritik mengenai pola pikir dalam media massa merupakan salah satu bukti pertentangan antar kedua “founding father” ini.

Puncak dari pertentangan di masa pergerakan adalah ketika Bung Hatta ditunjuk oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk duduk di Twedee Kamer (Dewan Perwakilan Belanda di Hindia Belanda). Hal ini memicu pertentangan panjang antara kedua tokoh ini, karena Bung Karno menilai dengan masuk ke dalam Dewan maka Bung Hatta dinilai tidak lagi menjalankan non-kooperatif dan mau tunduk di bawah pemerintahan Kolonial Belanda. Bung Karno juga menyebutkan bahwa masuk ke Dewan tidaklah banyak membuat perubahan, sedangkan yang dibutuhkan dalam memerdekakan Indonesia adalah pergerakan rakyat.

Namun, hal ini dijawab oleh Bung Hatta dalam beberapa artikelnya yang menyebutkan bahwa masuk ke Twedee Kamer merupakan salah satu usaha untuk menekan pemerintahan Belanda supaya memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda (Indonesia). Hal ini tidak menyalahi prinsip non-kooperatif karena pada dasarnya ini hanyalah salah satu bentuk non-kooperatif dengan duduk sebagai pengkritik dan penentang kebijakan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.

Perbedaan Bukanlah Hambatan Mencapai Harapan

Satu hal yang perlu dicatat bahwa meskipun mereka memiliki perbedaan yang amat bertolak belakang serta pernah terjadi pertentangan besar, mereka tetap memiliki satu harapan yang sama terhadap bangsa dan negara ini. Yaitu, mencapai Indonesia Merdeka. Satu harapan yang tidak pernag lepas dari benak dan sanubari mereka. Meskipun berbeda cara pandang dan pergerakan, tapi tujuan untuk mencapai Indonesia Merdeka tetap sama.

Perlu digarisbawahi bahwa perbedaan tidak selamanya menyajikan suatu kebuntuan dan pertikaian, tapi bisa membawa kepada kekayaan yang mampu dirangkum dalam suatu bentuk persatuan negara. Terbukti bahwa isi dari Undang-undang Dasar 1945 merupakan perwujudan dari kekayaan pola pemikiran bangsa Indonesia saat itu. Kalau masing-masing orang yang memiliki pemikiran berbeda itu tidak mempunyai harapan yang sama, maka saat ini kita mungkin tidak berada dalam naungan Indonesia yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945.

Sebuah pelajaran besar bagi kita generasi penerus dan para elit yang duduk di pemerintahan. Meskipun saling berbeda pemikiran, namun semangat mereka dalam mencapai kemerdekaan amatlah besar. Harapan yang satu, walaupun berbeda jalan yang dilalui tidaklah menyurutkan nyali supaya bisa meraihnya. Berjiwa besar menerima perbedaan merupakan salah satu poin besar yang mulai hilang di kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan elit. Bung Karno dan Bung Hatta telah mencontohkan bagaimana berdemokrasi yang baik, bagaimana saling mengkritik dan mengajukan pendapat pribadi, serta bagaimana menerima perbedaan dari lawan politik kita, tanpa melupakan harapan yang sama “Indonesia Merdeka”.

Salah satu kata-kata penyemangat hari ini guna menutup tulisan ini adalah "Kalau kita ndak punya harapan dan mimpi, orang kayak kita ini bakal mati boi!" (diucapkan dalam salah satu dialog Arai "Sang Pemimpi").



No comments: