15 December 2011

Sekilas Statistical Semantics

“Statistical semantics is the study of "how the statistical patterns of human word usage can be used to figure out what people mean, at least to a level sufficient for information access" (Furnas, 2006).”

Inilah paragraf yang mengawali teks rujukan tulisan saya. Statistical semantics menjelaskan kepada kita tentang pola penggunaan bahasa yang dapat menterjemahkan makna yang tersirat dari manusia tersebut. Berdasarkan sejarahnya istilah statistical semantics pertama kali digunakan pada tahun 1955 oleh Weaver. Ia menjelaskan bahwa dasar menterjemahkan kalimat ke dalam sebuah makna haruslah ada keterhubungan antara kata yang berdekatan.


Pada prakteknya, dalam melakukan penterjemahan makna kita tidak akan bisa melepaskan satu kata dengan kata yang lain. Karena pada prinsipnya melakukan pemaknaan adalah melihat kata per kata berdasarkan situasi. Dalam bahasa Indonesia misalnya kita mengenal adanya makna konotatif dan denotatif. Contohnya, “kebakaran jenggot” ketika kita artikan secara riil maka maknanya adalah jenggot seseorang yang terbakar. Tapi, ketika kita melihat pada situasi dan pola kalimatnya “kebakaran jenggot” juga bisa diartikan mendapatkan sesuatu yang mengejutkan. Atau pada frase “cuci tangan” juga demikian, ketika Anda menyebutkan “Kemarin saya menggunakan air untuk cuci tangan.” Maka, makna yang muncul adalah aktifitas membersihkan tangan dengan air. Namun, akan berbeda ketika melihat kalimat, “Dia cuci tangan atas tindakan pemerkosaan yang dilakukan tempo hari.” Untuk apa membersihkan tangan setelah tempo hari memperkosa orang? Disini artinya adalah melepaskan tanggung jawab. Bahwa terlihat ada suatu pola yang membedakan makna antara frase tertentu dan frase yang lain.

Terdapat beberapa variasi yang disampaikan dalam artikel ini, antara lain : mengukur kesamaan arti kata (Lund et al., 1995; Landauer and Dumais, 1997; McDonald and Ramscar, 2001, Terra and Clarke, 2003), mengukur kesamaan hubungan antar kata (Turney, 2006), pemodelan kesamaan berdasarkan generalisasi (Yarlett, 2008), penemuan kata-kata dengan melihat hubungan yang telah diberikan (Hearst, 1992), melakukan klasifikasi hubungan antara kata-kata (Turney and Littman, 2005), memunculkan kata kunci dari dokumen (Frank et al., 1999; Turney, 2000), mengukur kohesifitas dari teks (Turney, 2003), menemukan perbedaan kata (Pantel and Lin, 2002), menentukan aspek dari kata (Turney, 2001), dan pembedaan pujian dan kritik (Turney and Littman, 2003).

Hal yang perlu dilihat bahwa terdapat dua atau lebih cara melihat sesuatu kata. Jika ditarik ke ranah yang lebih luas bahwa dalam melihat sesuatu hal tidak hanya bisa dilihat dari segi dia apa adanya. Makna yang terkandung di dalamnya harus bisa diterjemahkan dengan baik sehingga maksud dari si penulis pun dapat diterjemahkan. Tulisan melalui kata-kata adalah serangkaian baris kata yang coba dituangkan oleh penulis berdasarkan pola pemikirannya. Ide dari si penulis ia transfer dalam bentuk rangkaian kata. Pembaca diminta mampu mentafsirkan kemana si penulis ingin membawa fantasi atau pikiran pembaca. Sehingga peran dari statistical semantics ini sangat diperlukan.

Tapi, patut disadari bahwa dunia ini adalah lingkaran bebas penafsiran. Bahwa saya berbeda penafsiran dengan Anda adalah hal yang lumrah. Karena tidak akan lepas dari subjektifitas manusia. Hal yang mungkin coba saya ingatkan sebagai manusia yang lemah ini adalah bahwa mari kita belajar untuk menghargai perbedaan karena dengan begitu kita tidak akan terkurung pada dimensi pribadi yang penuh keegoisan.

031211

Ditulis pertama kali di http://www.facebook.com/groups/116780403437/doc/10150592497733438/

Hidup itu dari Mati

War on War - Wilco

It's a war on war
It's a war on war
It's a war on war
It's a war on war
It's a war on war
It's a war on war
It's a war on war
There's a war on

You're gonna lose
You have to lose
You have to learn how to die


Just watching the miles flying by
Just watching the miles flying by
You are not my typewriter
But you could be my demon
moving forward through the flaming doors

You have to lose
You have to learn how to die
if you want to want to be alive, okay?

You have to lose
You have to lose
You have to learn how to die
if you want to want to be alive

You have to die
You have to die
You have to learn how to die
if you want to want to be alive, okay?

Pada lirik lagu di atas tersirat mengenai pesan seseorang untuk orang lain dalam menjalani hidup. Kehidupan itu bermulai dari peperangan dalam perang. Seseorang untuk hidup harus tahu caranya mati. Hal ini menunjukkan bahwa untuk berada di atas putaran roda, maka kita harus sudah tahu bagaimana rasanya hidup di posisi di bawah.

Banyak orang yang hidupnya langsung berada di atas tanpa pernah merasakan bagaimana hidup di bawah. Namun, ketika mereka terjatuh dari posisi atas tersebut maka jatuhnya akan sakit sekali. Rata-rata kehidupannya jadi hancur, mulai dari broken-home, stress, gila, bahkan yang terparah adalah bunuh diri. Hal ini terjadi mana kala orang yang terbiasa hidup serba ada dan tiba-tiba ia menjadi orang tidak berada.

Kebalikannya adalah orang yang memulai hidupnya dari posisi terbawah. Ini adalah posisi orang-orang yang memanjat tebing kehidupan untuk bisa sampai di atas langit. Perjuangan mereka, penderitaan mereka, dan cucuran keringat mereka jadikan penopang hidupnya. Kebanyakan orang yang seperti ini adalah orang-orang yang akan lebih sukses. Mereka-mereka ini adalah orang yang akan lebih bisa mensyukuri hidupnya karena pernah merasakan betapa beratnya hidup di bawah.

Sebait lirik ini memberikan kita pelajaran untuk tidak selalu melihat ke atas, lihatlah orang-orang yang posisinya di bawah kita. Tujuannya supaya kita tidak menjadi sombong dan lupa diri. Bahkan kehidupan berawal dari tanah, setiap orang yang pernah hidup akan merasakan mati dan kembali ke tanah. Semoga sedikit tulisan ini bisa menjadi penggugah semangat kita untuk menjadi lebih baik dan banyak bersyukur.

041211

Ditulis pertama kali di http://www.facebook.com/groups/116780403437/doc/10150575050878438/

27 October 2011

Kumaha Aing We

Reputasi?

How do I Build my Reputation?

Pertanyaan di atas memerlukan jawaban sebuah proses. Proses yang saya lakukan dalam membentuk reputasi terhadap diri saya pribadi. Selama ini prinsip yang saya anut adalah biarlah orang menilai apa pun terhadap diri saya, karena inilah saya apa adanya. Untuk apa menutup-nutupi kekurangan kalau kekurangan itu adalah memang bagian dari diri saya pribadi. Selain itu, yang juga menjadi prinsip saya adalah biarkan orang lain menilai tanpa perlu dipamer-pamerkan. Mereputasikan diri saya istilahkan sebagai melakukan tindakan yang apa adanya sebagaimana saya biasanya.

Apa yang saya lakukan adalah karena saya ingin melakukannya dan mudah-mudahan tidak ada rasa kesombongan karena ingin dipandang baik oleh orang lain. Secara pribadi saya lebih menghargai orang-orang yang berani menunjukkan jati dirinya apa adanya. Tanpa harus memakai topeng. Tanpa harus mengenakan pakaian-pakaian yang bertujuan memperindah tampilannya di depan orang lain. Buat apa Anda terlihat cantik atau Anda terlihat indah jika di dalam keterlihatan cantik dan keterlihatan indah itu Anda sejatinya jelek?

Reputasi adalah bagaimana penilaian manusia melihat seseorang atau dalam kata lain bagaimana seseorang dilihat oleh manusia lainnya. Satu poin yang saya garisbawahi adalah reputasi merupakan bentukan pemikiran dan penilaian manusia yang tidak akan pernah lepas dari “subjektifitas”. Penilaian secara manusia dapat berubah-ubah tergantung seberapa subjektif penilai tersebut. Faktor-faktor kedekatan dan yang paling utama adalah faktor kemanusiaan (baca: rasa tidak enak) kepada kerabat atau orang yang kita kenal akan sangat mempengaruhi penilaian. Hal ini yang coba saya angkat bahwa mencari reputasi yang serba subjektif dan manusiawi ini bukanlah menjadi tujuan utama.

Utopiskah saya? Bahkan mendefinisikan utopis itu terlalu tinggi bagi saya. Tapi, begitulah adanya dan begitulah kenyataan duniawi yang sering kita temukan. Saya dinilai baik atau saya dinilai buruk tergantung si penilai atau si manusia tersebut. Apalah arti penilaian baik dari manusia jika saya tidak mendapat nilai baik dari Sang Pencipta. Seperti itulah kurang lebih ilustrasi jalan yang saya tempuh dalam rangka mereputasikan diri saya. Manusia juga bisa salah, tapi Allah tidak akan salah. Maka dari itu walaupun orang lain menilai saya adalah orang baik atau buruk bukanlah menjadi soal, karena yang lebih tahu apa yang saya perbuat adalah saya dan Allah.

Reputasi atau penilaian dari orang lain menurut saya adalah sebuah koreksi pribadi dan bukan menjadi suatu tolak ukur kepuasan dalam melakukan hal yang baik. Jika menurut orang lain itu adalah salah atau buruk, maka saya harus melihat rekaman tindakan saya dan menjadikan pelajaran. Kemudian jika orang menilai itu baik, maka tidak kemudian saya berbangga hati dan membusungkan dada karena hal tersebut tidak lepas dari tuntunan Allah. Karena saya yakin yang menilai dengan adil adalah Allah. Untuk itu ada sebuah pernyataan yang saya dengar dalam sebuah ceramah yang juga menjadi salah satu penyemangat saya adalah “Lakukanlah yang kamu yakini benar dan jangan saling menyalahkan kepada orang yang berbeda jalan dengan kita. Karena yang akan memberikan penilaian di hari akhir adalah Allah”.

Dari sebaris kalimat indah tersebut, saya kemudian memantapkan diri untuk insyallah jika Allah berkenan saya akan tetap melakukan sesuatu dengan cara dan gaya saya sendiri. Meningat reputasi bagi saya adalah bagaimana tetap menjadi diri sendiri. Dalam jargon Sunda, “Kumaha aing wae!”

diposting pertama kali di :

http://www.facebook.com/groups/150466301718640/doc/151329681632302/

23 October 2011

Suudzon Terhadap TNI?


Tersenyum simpul, itulah reaksi saya ketika menerima artikel ini. Sepengetahuan saya TNI memang tidak boleh terjun di dunia bisnis dan juga politik. Setelah saya membaca artikel ini, ternyata ada klausul yang membolehkan tentara masuk ke ranah bisnis. Yaitu, dengan dalil atas nama pemerintah dan negara jika ia duduk di Badan Usaha Milik Negara. Informasi baru dan tambahan pengetahuan bagi saya.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa apa yang saya yakini adalah TNI sebagai instrumen pertahanan negara harusnya tetap pada koridornya dan tidak terjun ke dunianya masyarakat sipil. Terjun disini dalam arti ikut dalam kegiatan politik atau bisnis. Karena menurut saya, tugas dan fungsi mulia yang mereka embang lebih besar dari sekedar ikut-ikutan bergabung di partai politik atau berenang di dunia bisnis. Tuntutan pekerjaan mereka mengamankan setiap jengkal Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman yang datang secara fisik.
Muncul pertanyaan terkait artikel ini, apakah sudah aman Indonesia dari ancaman sampai ada anggota TNI seperti Marsekal Madya TNI Rio Mendung Thalieb yang bisa ikut dalam dunia bisnis? Kalau dibilang aman, menurut saya ancaman tidak bisa diprediksi kapan datangnya sehingga menuntut kewaspadaan dan kesigapan pihak terkait. Lantas kenapa kasus ini bisa terjadi?
Kasus ini agak janggal karena terdapat dua perbedaan opini. Pertama, menurut Laksamana TNI Agus Suhartono menyatakan bahwa Bapak Rio Mendung tidak melakukan pelanggaran karena dia sudah memasuki masa 8 bulan sebelum pensiun. Dan berdasarkan UU TNI, anggota yang akan memasuki masa 1 tahun sebelum pensiun boleh melakukan penjajakan dan persiapan pensiun. Akan tetapi, pernyataan yang berbeda meluncur dari Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Beliau menyebutkan bahwa Rio yang saat itu menjabat Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional tidak diperkenankan terjun ke dunia bisnis. Hal ini dikarenakan beliau saat itu masih memangku jabatan struktural di TNI.
Sebagai warga negara yang baik, saya mencoba menyimak kedua pendapat yang bertolak belakang ini. Ada kondisi-kondisi di mana suatu aturan dapat di-multi-tafsirkan. Contohnya dalam hal ini berbeda kacamata, maka berbeda pula pemaknaan dan implementasinya. “Hebat” sekali aturan di negara kita ini, yang saya lihat di beberapa aturan ada celah yang bisa dipolitisirkan. Ada celah untuk memanfaatkan kepentingan-kepentingan tertentu bagi keuntungan segelintir orang. Saya melihat adanya sebuah kepentingan yang bermain dibalik perbedaan pernyataan antara petinggi negara ini. Lord Acton pernah menyebutkan, “Power tends to corrupt”. Saya melihat terkesan ada pihak yang mungkin bermain di balik kasus ini atau mungkin saja posisi Rio itu sendiri mendapat tempat tersendiri di tubuh TNI. Bukan bermaksud berburuk sangka, tapi perbedaan pernyataan ini memicu orang untuk berburuk sangka. Akan lain ceritanya jika kedua petinggi selevel Panglima TNI dan Menteri Pertahanan memberi pernyataan yang sama dalam kasus Rio ini.
Silahkan Anda memberikan pandangan dan saya berharap Anda dapat menambah pengetahuan saya dan kita semua yang membaca terhadap salah satu potret bangsa Indonesia. Semoga dari potret ini dapat menimbulkan sebuah perbaikan bagi negara kita Indonesia. Being different is not always bad, just believe what you believe it’s right.
ditulis pertama kali di :

23 September 2011

Perpustakaan Propinsi Kalimantan Barat, Nasibmu Kini


Kurang lebih 1 bulan yang lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi perpustakaan Propinsi Kalimantan Barat. Dilandasi semangat untuk mengerjakan tugas salah satu mata kuliah yang menuntut sumber buku, maka inspirasi untuk mengunjungi perpustakaan pun muncul. Iseng dan rasa penasaran menggugah saya untuk sekali lagi setelah sekian lama tidak berkunjung ke perpustakaan yang terletak di bilangan jalan Sutoyo di Kota Pontianak.

Walaupun sebenarnya sering sekali saya melewati perpustakaan ini, namun baru saat itulah hati ini tergugah untuk masuk dan berkunjung. Ini adalah kunjungan kedua saya ke sana. Well, di umur saya yang 21 tahun dan ini baru kunjungan ke 2. Saya akui minat untuk menjadi penikmat perpustakaan memang agak kurang karena perkembangan toko buku Gramedia yang menurut saya lebih lengkap menjual beragam buku-buku. Ditambah fasilitas full-ac yang mendukung suasana untuk “ngadem” mengisi waktu luang.

Perpustakaan ini tampak tak berubah jika dibandingkan dengan kunjungan pertama saya ke situ. Hal ini menciutkan semangat saya mengingat image yang saya dapat dari kunjungan pertama bahwa perpustakaan ini masih kurang rapi dan begitu-begitu saja.


Rasa cemas itu pun sedikit menghilang ketika saya masuk. Dalamnya ternyata sudah mengalami kemajuan. Cat putih dan pintu dari kaca untuk tiap ruangan koleksi dan sedikit renovasi yang membuat perpustakaan ini terlihat lebih “muda”. Langkah saya sempat terhenti di simpang dua ruang koleksi karena tidak ada petunjuk ruangan mana yang menyimpan koleksi apa. Saya memutuskan untuk memasuki ruangan di kanan saya.

Setelah berkeliling di ruangan itu ternyata yang saya dapati adalah buku-buku beraliran ilmu eksak, mulai dari teknik sampai pertanian, dan sebagainya. Merasa tidak menemukan yang saya cari disini, maka saya melanjutkan perjalanan menuju ruangan di sebelah kiri tadi. Perlu saya tambahkan bahwa di masing-masing ruangan sudah dilengkapi dengan fasilitas AC. Hal ini menambah ketakjuban saya akan perkembangan perpustakaan ini.

Saya lebih merasakan aura ilmu sosial di ruangan yang satu ini. Berjejer buku-buku dari masing-masing rak mulai dari soal bahasa, filsafat, ilmu agama, politik, hukum, bahkan ilmu hubungan internasional. Buku Hans J. Morgenthau yang selama ini hanya saya kenal lewat judulnya pun ada, bahkan dengan edisi bahasa Indonesia. Hati saya semakin bergemuruh menandakan optimisme yang meningkat terhadap perpustakaan ini.

Setelah berkeliling dan sempat membaca salah satu buku filsafat berjudul “Machiavelli”, saya memutuskan untuk bertanya kepada petugas resepsionis. Karena sampai saat itu saya belum menemukan buku tentang Rusia. Setelah bertanya ternyata di atas terdapat juga ruang koleksi dan saya memutuskan untuk mencoba lantai 2 yang belum pernah saya jamah.

Terdapat sebuah ruangan koleksi lagi di kiri dan kanan jalan, tetapi saya memutuskan memilih ruangan di kanan jalan karena secara tampilan lebih meyakinkan. Di ruangan ini saya melihat tumpukan buku-buku pengetahuan seperti World Book dan banyak lagi koleksi keilmuan dasar yang cukup lengkap. Bahkan koleksi koran sejak tahun 1990an dengan berbagai macam merek terdapat disini.

Kebetulan sekali buku yang saya cari ada disini. Akan tetapi, sialnya saya tidak membawa kertas dan buku untuk mencatat bahan yang saya temukan. Setelah membaca saya memutuskan untuk pulang karena kekesalan tidak membawa alat tulis. Di tengah kebuntuan itu, saya berbincang dengan petugas perpustakaan di lantai 2 itu. Alhamdulillah ternyata saya boleh memfotokopi bahan yang saya perlukan di koperasi belakang perpustakaan dengan cukup meninggalkan kartu identitas. From below, i’m coming up!

Setelah mendapatkan yang saya cari-cari saya pun memutuskan untuk pulang mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Cukup puas dengan hasil yang saya dapat di hari itu.

Beberapa hal yang dapat saya sampaikan di sini adalah bahwa perpustkaan ini tidak terlalu ramai dikunjungi oleh pengunjung. Ketika saya bertanya ke petugasnya juga tidak bisa menyebutkan berapa detail rata-rata pengunjung ke sini. Saya berasumsi demikian karena melihat beberapa buku yang daftar peminjamnya sudah lama sekali atau bahkan terdapat buku-buku yang belum dipinjam.

Selain itu, dari awal masuk ke dalam perpustakaan tidak terdapat informasi yang jelas ke mana pengunjung hendak mencari buku yang dia cari. Baik informasi tertulis berupa petunjuk ruangan atau informasi lisan dari petugas-petugasnya. Sepertinya mereka menganut prinsip pasif, karena ketika saya sempat utarakan pertanyaan kenapa tidak ada petunjuk ruangan seorang petugas menjawab bahwa bertanya saja kepada petugas mungkin kami bisa membantu.

Di samping itu sedikit kekecewaan saya adalah urutan buku dan peletakan buku yang kadang tidak sesuai dengan label di raknya. Ditambah belum ada komputer pencari layaknya di toko-toko buku modern yang membantu pengunjung mencari buku yang mereka inginkan. Menurut pernyataan petugasnya memang sempat ada, hanya saja karena sering terjadi gangguan jaringan maka tidak gunakan untuk sementara. Ia juga mengeluhkan pembaca yang kadang tidak meletakkan buku pada tempatnya ditambah lagi mereka juga merasa kurang mampu mengawasi semua buku-buku yang ada.

Perpustakaan ini juga dilengkapi dengan fasilitas musholla yang juga full-AC. Hal ini dapat meningkatkan kenyamanan pengunjung selama di perpustakaan. Saya dapat tambahkan bahwa koleksi di perpustakaan ini lumayan lengkap karena buku dari berbagai genre ada di sini.

Sebagai penutup tulisan ini saya ingin memberikan beberapa masukan, pertama dari segi tata letak buku. Akan lebih baik jika buku yang ada disusun rapi dan sering dicek ulang penempatannya, sehingga akan memudahkan pengunjung untuk mencari buku yang mereka inginkan. Ditambah lagi dengan adanya petunjuk keterangan ruangan. Karena ada kalanya pengunjung sungkan untuk bertanya, akan lebih baik jika hal tersebut ditambahkan.

Kedua, terkait promosi terhadap perpustakaan itu sendiri. Menurut saya perpustakaan bisa melakukan program kerjasama dengan sekolah-sekolah untuk melakukan kegiatan “Trip to Library”. Hal ini dapat berdampak pada penanaman minat baca anak dari usia dini sampai jenjang SMA. Selain itu, bisa juga melakukan promosi-promosi di tempat-tempat umum seperti Mall. Promosi juga menurut saya lebih dibuat menunjukkan perpustakaan itu bukan produk jadul, tapi merupakan produk yang tetap muda dan mengikuti perkembangan zaman.

Ketiga, arus informasi dan komunikasi melalui internet juga perlu digalakkan. Mungkin bisa dengan mendata buku-buku apa saja yang ada dan kemudian di posting di website perpustakaan propinsi ini. Sehingga orang bisa lebih gampang dalam mencari buku-buku yang mereka inginkan dan kemudian melakukan peminjaman dengan berkunjung ke perpustakaan berdasarkan informasi yang mereka dapatkan di website.

Saya berharap perpustakaan dan minat baca kita semua terus ditingkatkan. Karena bangsa yang beradab adalah budaya yang memiliki budaya literasi dan akan mati jika bangsa tersebut tidak mau membaca.

240911