11 August 2011

Fenomena Bersepeda

Akhir-akhir ini saya sering melihat pertumbuhan aktifitas bersepeda yang semakin menjamur. Setiap sore ada sekumpulan orang-orang bersepeda di kampus atau di jalan-jalan Jatinangor. Di Bandung sendiri, tidak hanya kalangan remaja tapi bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, hampir semua kalangan bersepeda. "Jamur" sepeda ini sudah merebak mulai setengah tahun yang lalu. Sampai tadi sore saya berpergian ke Bandung menyusuri jalan veteran, hampir di sepanjang kanan-kiri jalan terlihat toko sepeda. Dari kelas atas sampai kelas menengah ke bawah.

Beberapa tahun sebelumnya, menurut hemat saya bersepeda itu hanya merupakan budaya kelas bawah. Dalam studi budaya disebut dengan low culture. Karena selama beberapa tahun belakangan, bersepeda di jalanan kota hanya dilakukan oleh orang-orang kelas bawah, seperti buruh, tukang, dan lainnya. Sepeda merupakan alat transportasi kelas bawah di Indonesia. Mungkin sempat ada kelompok sepeda ontel yang mulai menyemarakkan "low culture" ini, tapi masih belum terlihat sebagai rutinitas karena mereka adalah komunitas.


Di satu sisi, menjamurnya "virus" bersepeda ini memberikan keuntungan bagi para pemiliki dan penyedia jasa bengkel sepeda atau penjual sepeda. Terutama mereka yang di kelas menengah ke bawah. Setengah tahun lalu, ketika saya sedang mengunjungi salah satu bengkel sepeda di bilangan cileunyi, sempat terlintas pikiran saya "Adakah yang mau membeli sepeda sekarang-sekarang ini? Apakah sepeda akan punah?".

Pertanyaan ini mengisi kepala saya mengingat "invasi" kendaraan pribadi semacam motor dan mobil yang semakin banyak. Tapi, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan hidup sehat kekhawatiran saya setengah tahun lalu mulai memudar. Hampir semua kalangan bersepeda akhir-akhir ini. Bersepeda tidak lagi dipandang sebagai aktifitas orang-orang kelas bawah.

Namun, di sisi lain pemikiran saya kembali mempertanyakan kondisi yang ada. Memang secara ekplisit bersepeda menjadi budaya populer dan digandrungi semua kalangan, tetapi dibalik budaya bersepeda ini muncul sedikit hal yang mengganjal pikiran saya. Yaitu, objek sepedanya itu sendiri yang berkeliaran di jalanan.

Kebanyakan yang saya amati sepeda yang digunakan itu bukanlah sepeda yang dahulu dipakai orang-orang kelas menengah ke atas yang mempertahankan budaya bersepeda itu, tetapi sepeda-sepeda yang berkeliaran mengikuti pergeseran kaum borjuis itu sendiri. Sepeda-sepeda bermerk dan beraneka model trendy dengan harga yang "wah" mencapai nominal jutaan justru yang banyak digunakan dan diminati oleh masyarakat. Saya melihat fenomena sebagai dampak dari pergeseran kaum borjuis yang melakukan aktifitas bersepeda ini. Image borjuis tidak lepas kendati melakukan aktifitas "low culture". Bahkan "culture" bersepeda ini yang terpengaruh bawaan orang-orang borjuis.

Sekali lagi muncul kekhawatiran saya, "Apakah bersepeda akan menjadi olahraga mahal?" "Apakah bersepeda menjadi "high culture"?" "Apakah ini akan memberikan efek dan stigma bahwa bersepeda jadi milik orang-orang borjuis saja?"

Dasar pertanyaan saya di atas adalah kondisi di lapangan yang memperlihatkan realita bahwa "sepeda-sepeda" yang berkeliaran adalah benda-benda yang tergolong mahal. Ketika orang-orang borjuis mengayuh sepeda jutaan rupiah dan meramaikan jalanan, ketika itu saya khawatir akan terjadi lagi kesenjangan dengan kaum proletar. Minder karena sepeda yang berbeda kelas, serta dari penampilan yang membuat bersepeda seolah elit dengan setelan komplit dan sebagainya.

Tadinya bersepada hanya budaya orang-orang proletar, kini mulai menjadi budaya populer. Akan tetapi terdapat kemungkinan menjadi budaya orang-orang borjuis mengingat dominasi sepeda-sepada yang harganya "wah" tadi. Memungkinkan terjadinya kesenjangan antara borjuis dan proletar lagi, namun kali ini bukan karena dikucilkan tapi karena naiknya kelas budaya bersepeda. Pembahasan ini tidak bertujuan menyudutkan atau menyatakan pesimistis, tapi hanya sekedar pemikiran seorang manusia yang mencoba bertanya akan realita di sekilingnya. Semoga pergeseran menjadi "high culture" itu tidak terjadi dan bersepeda bisa menjadi momen menyatukan bangsa!

290511

Laga Arsenal - Manchester United : Memperpanjang Drama Premier League Inggris

Sebelum peluit dibunyikan menandakan dimulainya pertandingan, secara status quo kedua tim berada dalam pressure yang tinggi. Arsenal sebagai tuan rumah mempunyai tugas besar untuk meraih poin maksimal 3 angka. Tugas ini guna me-lurus-kan kembali jalur Arsenal di papan klasemen. Karena dua laga terakhir di kancah liga Inggris menunjukkan performa yang jauh dari kata sempurna, ditahan imbang 1-1 lewat drama injury time oleh Liverpool serta dihantam Bolton 2-1. Arsenal yang sempat memuncaki klasemen sementara musim ini, kini tercecer di peringkat 3 klasemen.

Sebaliknya tim tamu datang dengan semangat menggebu hasil dari rentetan kemenangan di beberapa pertandingan terakhir, yang salah satunya adalah melawan Schalke 2-0 di kandang lawan. Ambisi untuk segera mengunci gelar menjadi penambah semangat juang anak-anak Teather of Dream. Datang dengan seluruh pemain terbaiknya, menyusul kembalinya Berbatov di lini depan. Ditambah lagi kewajiban untuk menang mengingat Chelsea (peringkat 2 klasemen) baru saja menang dan mempersempit jarak menjadi 3 angka, plus pekan depan kedua tim ini akan menghadapi clash of the king.


Secara keseluruhan jalannya pertandingan berat sebelah sampe dengan pertengahan babak kedua. Arsenal dengan pemain-pemain muda nan lincah macam Wilshere, Walcott, Ramsey, dan Nasri mendominasi lapangan tengah permainan. Ball possesion bahkan sampai 68% - 32%. Sedangkan pemain Manchester United terlihat hanya sesekali melakukan serangan balik lewat Wayne Rooney ataupun bola-bola silang dari Nani.

Pada babak pertama terdapat insiden handsball Vidic di kotak pinalti yang tidak ditanggapi oleh wasit. Insiden kecil juga terjadi ketika Wilshere beradu badan dengan Rooney hingga si nomor 10 MU melakukan dorongan terhadap Wilshere. Hal ini berujung kartu kuning untuk Rooney. Perubahan tempo mulai terasa ketika serangan balik Arsenal yang diawali oleh umpan terobosan Ramsey kepada Van Persie. Van Persie kemudian mendribble bola sampai kotak pinalti kemudian memberikan umpan tarik kepada Ramsey yang berdiri bebas di tengah kotak pinalti MU. Satu sentuhan datar mengarah ke sudut kanan gawang Van der Sar yang kali ini telat untuk bereaksi. Gooollll!!!

Itulah momen yang merubah permainan di sisa 20 menit babak kedua tersebut. MU seolah bangun dari tidurnya dan mulai melancarkan serangan-serangan ke gawang Arsenal. Szczesny boleh dibilang pahlawan Arsenal malam ini. Penampilan yang konsisten dalam menghalau bola-bola yang datang ke gawangnya membuat para pemain MU tidak mampu berbuat banyak dalam pertandingan tersebut. Bahkan Sir Alex Fergusson sampai menurunkan tiga pemain bertipe penyerang, yaitu Rooney, Berbatov, dan Owen. Ditambah dua sayap Nani dan Valencia. Usaha demi usaha tidak berbuah hasil, dan yak Arsenal menutup akhir pekan ini dengan kemenangan atas pemimpin klasemen sementara.

Pada pertandingan malam ini, saya melihat adanya kurang motivasi dari pihak MU untuk memenangkan pertandingan. Terlihat pemain MU dari awal lebih memilih bertahan dan menunggu kesalahan-kesalahan lawan, untuk kemudian melakukan serangan balik. Mungkin dari awal mereka hanya menargetkan hasil seri, namun jika melihat situasi dimana Chelsea semakin menempel sudah seharusnya MU bermain terbuka dan mengejar keunggulan angka.

Hasil dari pertandingan malam ini, membuat persaingan di Liga Inggris kembali memanas. Race until the end, mungkin itulah tajuk dari Liga Inggris musim ini. Kecerobohan MU berakibat fatal, Chelsea yang kembali membaik, diikuti Arsenal yang malam ini mendapat "semangat hidup" menjadikan Liga Inggris di akhir musim ini kembali bergairah. Jangan lupakan di peringkat empat,lima, dan enam. Manchester City, Liverpool, dan Tottenham saling berebut untuk berebut tiket Liga Champions. Khusus nama kedua, The Reds telah menemukan jati dirinya setelah di awal musim pernah masuk zona degradasi. What a comeback!

Saya pribadi mengakui, Liga Inggris musim ini merupakan salah satu liga dengan drama terpanjang dan terseru. Mengalahkan Liga Jerman yang telah menemukan juara barunya Borusia Dortmund, Liga Italia yang juga hampir menasbihkan juara barunya AC Milan, dan Liga Spanyol yang merupakan ajang Barcelona - Madrid dari awal hingga akhir musim. Siapakah yang akan memenangkan perlombaan merebutkan tahta juara Liga Inggris? MU-kah? Atau Chelsea-kah? Apa mungkin Arsenal mendapat mukjizat?

Mari berdebar-debar! - kalimat yang diucapkan Teppei Sakamato dalam komik Fantasista.


010511

02 May 2011

Sajak di Pagi Hari

Pagi ini mentari malu untuk tersenyum

Sang langit beralaskan mendung

Antara ingin menurunkan hujan dan tidak

Langit pagi ini meniupkan kemalasan bagi sang penidur

Suasana hening manusia

Terdengar dari kejauhan kesibukan pekerja bangunan

Adakah kehidupan di sekitar ini?

Pagi mendung, Pagi yang sepi

020511



26 April 2011

Military Industrial Complex Dalam Film Lord of War


Military Industrial Complex merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh Presiden Amerika Serikat, Dwight D. Eisenhower, pada tahun 1961 dalam sebuah pidatonya. Konsep ini menjelaskan mengenai hubungan antara pihak yang bertugas mengatur perang (militer, pemerintah, dan kongres) dan perusahaan-perusahaan yang memproduksi senjata dan perlengkapan untuk perang (industri).[1]Hubungan antara kedua pihak ini merupakan sebuah hubungan mutualisme dimana keduanya mencari keuntungan sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Pihak pemerintah dengan kepentingan persenjataannya, sedangkan pihak penyedia senjata dengan kepentingan keuntungan yang didapat.

Eisenhower memperingatkan kepada rakyat dan pemerintah Amerika Serikat untuk menghindari penyalahgunaan dari military industrial complex ini. Karena situasi saat itu adalah Amerika Serikat sebagai salah satu negara pemenang perang, sehingga dituntut untuk mampu menjaga “perdamaian” yang tercipta pasca Perang Dunia II. Konsep ini juga berlatar belakang situasi dunia dimana negara mencoba menempatkan dirinya sebagai sentral dari sistem keamanan internasional. Sehingga negara-negara ini berusaha dengan segenap upaya untuk memenuhi kebutuhannya akan perlengkapan dan senjata militer. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan atas senjata, tapi untuk menempatkan negaranya sebagai negara yang terkuat dalam hal persenjataan. Secara logika hal ini akan membuat negaranya itu aman karena dalam perhitungan perang, mereka jauh di atas negara lainnya.


Namun, dampak dari aktifitas ini membuat negara lainnya yang merasa terancam. Karena tidak ada jaminan negara yang mempunyai persenjataan terbanyak ini tidak melakukan invasi ke negara lain. Sudah menjadi hakikatnya jika seseorang memiliki kekuatan yang lebih akan menyerang seseorang yang kekuatannya lebih rendah. Ditambah lagi jika negara yang akan diserang memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara penyerang (misalnya, ketersediaan minyak bumi). Untuk itulah negara-negara lain juga tidak mau kalah mempersenjatai militernya dengan membeli senjata dari penyedia senjata dan perlengkapan perang. Hal ini menimbulkan apa yang kita kenal dengan arm race.

Eisenhower juga memperingatkan kepada pemerintah dan penyedia senjata perlengkapan perang, khususnya di Amerika Serikat, untuk menjaga konsistensinya. Konsistensi untuk tidak menyalahgunakan kewenangan dan kepentingan yang dimiliki. Ketika negara merasa memiliki kebutuhan yang tinggi akan senjata, maka negara ini akan mengupayakan segala cara untuk bisa membeli persenjataan ini. Begitu pula dengan penyedia senjata yang memiliki orientasi materi (uang), dimungkinkan melakukan transaksi dengan siapa saja untuk memenuhi kepentingan mereka akan keuntungan uang. Kekhawatiran Eisenhower ini tercermin dalam sebuah film berjudul “Lord of War”.Film ini berkisah tentang seorang pemuda asal Ukraina bernama Yuri Orlov (diperankan oleh Nicolas Cage). Di sepanjang film, ia juga membawakan narasi tentang bagaimana perjalanan hidupnya hingga bisa menjadi seorang pedagang senjata gelap.[2] Lewat ceritanya itu dia menjelaskan secara mendetail tentang bagaimana konspirasi internasional bekerja dalam memasok senjata ke seluruh pelosok negara di dunia.[3]

Saat usianya masih remaja, Yuri sekeluarga bermigrasi dari kampung halamannya di Ukraina (saat masih dikuasai Uni Soviet) untuk mengadu nasib di Amerika Serikat.[4] Saat menginjakkan kaki di Amerika, bisnis perdagangan senjata gelap sedang ramai-ramainya.[5] Bersama sang adik, Vitaly (Jared Leto) ia pun mulai masuk ke dalam sistem perdagangan itu dan meraup keuntungan besar dari transaksi-transaksi yang dilakukannya di berbagai penjuru dunia.[6] Sedikit cuplikan film ini memperlihatkan kepada kita bahwa kebutuhan akan senjata pada saat itu (1980an) sangatlah tinggi. Bahkan diceritakan Yuri Orlov ini melakukan semua pendekatan kepada siapa saja untuk bertransaksi senjata. Mulai dari kelompok pemberontak, mafia, bahkan pihak penyedia senjata bagi pemerintah Amerika Serikat. Ia melakukan perdagangan illegal ini secara bersih dan dengan melakukan berbagai trik, mulai dari memiliki banyak pasport, pengubahan dokumen barang, penggantian nama kapal, serta menimbun kentang untuk menutupi senjata yang dibawa dalam kargo. Ia kemudian mendapat pasokan persenjataan yang banyak, sejak Uni Soviet runtuh tahun 1990an. Penyelundupan besar-besaran dari Uni Soviet ke Amerika merupakan jalur baginya untuk mendapat keuntungan besar, dengan bantuan kekerabatannya dengan seorang pemimipin militer Ukraina yang juga pamannya, Dimitri. Aksinya ini sempat diendus oleh interpol, akan tetapi ia masih bisa mengelak. Sejak kejadian di Ukraina ini, ia menjadi target sasaran interpol.

Prinsip yang dianut oleh Orlov adalah ia menjual senjata kepada siapapun yang bisa memberikan uang kepadanya. Tanpa memikirkan untuk apa senjata yang dijual tersebut digunakan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Eisenhower yang mengkhawatirkan terjadi penyalahgunaan atas industri senjata, khususnya di Amerika Serikat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perdagangan senjata gelap seperti ini eksis dan seolah dibenarkan serta mendapat perlindungan dari otoritas negara tertentu. Terutama negara yang mempunyai kepentingan untuk memenuhi kebutuhan atas senjatanya. Sejalan dengan negara-negara ini, para penyedia senjata seperti Orlov menggunakan hal itu untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Kesemua penyimpangan ini menimbulkan suatu kondisi keresahan, karena bisa saja semua pihak memiliki senjata militer. Lebih parahnya lagi apabila senjata militer ini digunakan dalam suatu konflik di suatu negara. Hal ini dapat dilihat di daratan Afrika dimana banyak terjadi pemberontakan dan konflik, yang sebagian besar mendapat pasokan senjata dari pedagang-pedagang gelap tersebut. Mungkin di satu sisi, penyedia senjata menjadi kaya atas penjualan ini. Namun, di sisi lain hal ini justru memicu pecahnya konflik karena ketersediaan senjata yang banyak di masyarakat. Penyalahgunaan-penyalahgunaan kepentingan seperti inilah yang memperpanjang cerita kelam manusia di bumi. Ketika manusia masih diselimuti oleh ego dan nafsunya, maka pertumpahan darah atas nama “kepentingan” itu akan terus terjadi.


[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.

Hitamnya Malam dan Gelapnya Samudera

Kalau malam hendak menunjukkan betapa gagahnya sang hitam
Maka kemudian datang sang pagi menginjak kegagahan tersebut
Malam bertautan
Siang berpendar

Ketika kaki yang tadinya terus berjalan di tengah gelapnya malam
Ketika tangan yang tadinya berada bersama hitamnya malam
Ketika mata yang tak sanggup menatap putih di dalam malam
Ketika hati yang segelap gulitanya malam

Malam ini membawa aku pada langkah sang penyelam
Semakin menukik ke dalam lautan nan gelap
Tiada terlihat setitik cahaya masuk di celah permukaan samudera

Aku yang hilang di telan malam, serta dihempas gelombang samudera
Aku yang semakin tidak jelas arah, hanya berpegang pada sebuah rakit beralas cermin
Memantulkan seberkas bayangan yang ternyata hanyalah Aku
Saat ini tersesat, saat ini melayang, saat ini tenggelam

Sebait kelamnya diriku dalam sebuah tapak kehidupan yang fana

260411