02 May 2011

Sajak di Pagi Hari

Pagi ini mentari malu untuk tersenyum

Sang langit beralaskan mendung

Antara ingin menurunkan hujan dan tidak

Langit pagi ini meniupkan kemalasan bagi sang penidur

Suasana hening manusia

Terdengar dari kejauhan kesibukan pekerja bangunan

Adakah kehidupan di sekitar ini?

Pagi mendung, Pagi yang sepi

020511



26 April 2011

Military Industrial Complex Dalam Film Lord of War


Military Industrial Complex merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh Presiden Amerika Serikat, Dwight D. Eisenhower, pada tahun 1961 dalam sebuah pidatonya. Konsep ini menjelaskan mengenai hubungan antara pihak yang bertugas mengatur perang (militer, pemerintah, dan kongres) dan perusahaan-perusahaan yang memproduksi senjata dan perlengkapan untuk perang (industri).[1]Hubungan antara kedua pihak ini merupakan sebuah hubungan mutualisme dimana keduanya mencari keuntungan sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Pihak pemerintah dengan kepentingan persenjataannya, sedangkan pihak penyedia senjata dengan kepentingan keuntungan yang didapat.

Eisenhower memperingatkan kepada rakyat dan pemerintah Amerika Serikat untuk menghindari penyalahgunaan dari military industrial complex ini. Karena situasi saat itu adalah Amerika Serikat sebagai salah satu negara pemenang perang, sehingga dituntut untuk mampu menjaga “perdamaian” yang tercipta pasca Perang Dunia II. Konsep ini juga berlatar belakang situasi dunia dimana negara mencoba menempatkan dirinya sebagai sentral dari sistem keamanan internasional. Sehingga negara-negara ini berusaha dengan segenap upaya untuk memenuhi kebutuhannya akan perlengkapan dan senjata militer. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan atas senjata, tapi untuk menempatkan negaranya sebagai negara yang terkuat dalam hal persenjataan. Secara logika hal ini akan membuat negaranya itu aman karena dalam perhitungan perang, mereka jauh di atas negara lainnya.


Namun, dampak dari aktifitas ini membuat negara lainnya yang merasa terancam. Karena tidak ada jaminan negara yang mempunyai persenjataan terbanyak ini tidak melakukan invasi ke negara lain. Sudah menjadi hakikatnya jika seseorang memiliki kekuatan yang lebih akan menyerang seseorang yang kekuatannya lebih rendah. Ditambah lagi jika negara yang akan diserang memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara penyerang (misalnya, ketersediaan minyak bumi). Untuk itulah negara-negara lain juga tidak mau kalah mempersenjatai militernya dengan membeli senjata dari penyedia senjata dan perlengkapan perang. Hal ini menimbulkan apa yang kita kenal dengan arm race.

Eisenhower juga memperingatkan kepada pemerintah dan penyedia senjata perlengkapan perang, khususnya di Amerika Serikat, untuk menjaga konsistensinya. Konsistensi untuk tidak menyalahgunakan kewenangan dan kepentingan yang dimiliki. Ketika negara merasa memiliki kebutuhan yang tinggi akan senjata, maka negara ini akan mengupayakan segala cara untuk bisa membeli persenjataan ini. Begitu pula dengan penyedia senjata yang memiliki orientasi materi (uang), dimungkinkan melakukan transaksi dengan siapa saja untuk memenuhi kepentingan mereka akan keuntungan uang. Kekhawatiran Eisenhower ini tercermin dalam sebuah film berjudul “Lord of War”.Film ini berkisah tentang seorang pemuda asal Ukraina bernama Yuri Orlov (diperankan oleh Nicolas Cage). Di sepanjang film, ia juga membawakan narasi tentang bagaimana perjalanan hidupnya hingga bisa menjadi seorang pedagang senjata gelap.[2] Lewat ceritanya itu dia menjelaskan secara mendetail tentang bagaimana konspirasi internasional bekerja dalam memasok senjata ke seluruh pelosok negara di dunia.[3]

Saat usianya masih remaja, Yuri sekeluarga bermigrasi dari kampung halamannya di Ukraina (saat masih dikuasai Uni Soviet) untuk mengadu nasib di Amerika Serikat.[4] Saat menginjakkan kaki di Amerika, bisnis perdagangan senjata gelap sedang ramai-ramainya.[5] Bersama sang adik, Vitaly (Jared Leto) ia pun mulai masuk ke dalam sistem perdagangan itu dan meraup keuntungan besar dari transaksi-transaksi yang dilakukannya di berbagai penjuru dunia.[6] Sedikit cuplikan film ini memperlihatkan kepada kita bahwa kebutuhan akan senjata pada saat itu (1980an) sangatlah tinggi. Bahkan diceritakan Yuri Orlov ini melakukan semua pendekatan kepada siapa saja untuk bertransaksi senjata. Mulai dari kelompok pemberontak, mafia, bahkan pihak penyedia senjata bagi pemerintah Amerika Serikat. Ia melakukan perdagangan illegal ini secara bersih dan dengan melakukan berbagai trik, mulai dari memiliki banyak pasport, pengubahan dokumen barang, penggantian nama kapal, serta menimbun kentang untuk menutupi senjata yang dibawa dalam kargo. Ia kemudian mendapat pasokan persenjataan yang banyak, sejak Uni Soviet runtuh tahun 1990an. Penyelundupan besar-besaran dari Uni Soviet ke Amerika merupakan jalur baginya untuk mendapat keuntungan besar, dengan bantuan kekerabatannya dengan seorang pemimipin militer Ukraina yang juga pamannya, Dimitri. Aksinya ini sempat diendus oleh interpol, akan tetapi ia masih bisa mengelak. Sejak kejadian di Ukraina ini, ia menjadi target sasaran interpol.

Prinsip yang dianut oleh Orlov adalah ia menjual senjata kepada siapapun yang bisa memberikan uang kepadanya. Tanpa memikirkan untuk apa senjata yang dijual tersebut digunakan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Eisenhower yang mengkhawatirkan terjadi penyalahgunaan atas industri senjata, khususnya di Amerika Serikat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perdagangan senjata gelap seperti ini eksis dan seolah dibenarkan serta mendapat perlindungan dari otoritas negara tertentu. Terutama negara yang mempunyai kepentingan untuk memenuhi kebutuhan atas senjatanya. Sejalan dengan negara-negara ini, para penyedia senjata seperti Orlov menggunakan hal itu untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Kesemua penyimpangan ini menimbulkan suatu kondisi keresahan, karena bisa saja semua pihak memiliki senjata militer. Lebih parahnya lagi apabila senjata militer ini digunakan dalam suatu konflik di suatu negara. Hal ini dapat dilihat di daratan Afrika dimana banyak terjadi pemberontakan dan konflik, yang sebagian besar mendapat pasokan senjata dari pedagang-pedagang gelap tersebut. Mungkin di satu sisi, penyedia senjata menjadi kaya atas penjualan ini. Namun, di sisi lain hal ini justru memicu pecahnya konflik karena ketersediaan senjata yang banyak di masyarakat. Penyalahgunaan-penyalahgunaan kepentingan seperti inilah yang memperpanjang cerita kelam manusia di bumi. Ketika manusia masih diselimuti oleh ego dan nafsunya, maka pertumpahan darah atas nama “kepentingan” itu akan terus terjadi.


[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.

Hitamnya Malam dan Gelapnya Samudera

Kalau malam hendak menunjukkan betapa gagahnya sang hitam
Maka kemudian datang sang pagi menginjak kegagahan tersebut
Malam bertautan
Siang berpendar

Ketika kaki yang tadinya terus berjalan di tengah gelapnya malam
Ketika tangan yang tadinya berada bersama hitamnya malam
Ketika mata yang tak sanggup menatap putih di dalam malam
Ketika hati yang segelap gulitanya malam

Malam ini membawa aku pada langkah sang penyelam
Semakin menukik ke dalam lautan nan gelap
Tiada terlihat setitik cahaya masuk di celah permukaan samudera

Aku yang hilang di telan malam, serta dihempas gelombang samudera
Aku yang semakin tidak jelas arah, hanya berpegang pada sebuah rakit beralas cermin
Memantulkan seberkas bayangan yang ternyata hanyalah Aku
Saat ini tersesat, saat ini melayang, saat ini tenggelam

Sebait kelamnya diriku dalam sebuah tapak kehidupan yang fana

260411

25 February 2010

Aku dan Cintaku

Tiada kata yang mampu ku lukiskan
Untuk menjelaskan arti cinta

Buatku kamu adalah cintaku
Dan itu sudah cukup

kamu dan hanya kamu
Cintaku datang saat kamu datang di kehidupanku

Aku, kamu, dan cintaku
Kini kamu hadir dan begitu pula cintaku

260210

22 December 2009

Perang Afghanistan: Antara Kepentingan dan Just War

Barack Obama, presiden Amerika Serikat saat ini, merencanakan untuk mengirim tambahan pasukan di Afghanistan sebanyak 30.000 personil. Kalimat ini terlontar saat ia membacakan pidato saat menerima penghargaan Nobel Perdamaian. Kontroversial memang, karena disaat menerima penghargaan nobel perdamaian ia malah mengeluarkan pernyataan penambahan pasukan. Pernyataan penambahan pasukan ini mengindikasikan akan diperpanjangnya perang. Namun, Obama berkilah kalau penambahan pasukan ini adalah suatu upaya untuk mewujudkan perdamaian. Ia juga menyebutkan bahwa perang Afganisthan adalah suatu perang dengan tujuan damai.

"A nonviolent movement could not have halted Hitler's armies. Negotiations cannot convince al-Qaida's leaders to lay down their arms," Obama said. "To say that force is sometimes necessary is not a call to cynicism, it is a recognition of history."[1] Pada intinya Obama menyatakan bahwa pengiriman ini untuk kepentingan nasional dan merupakan salah satu cara mencapai perdamaian di Afghanistan.

Benarkah demikian? Apakah perang yang berkobar selama 9 tahun lamanya itu adalah suatu bentuk perang damai (just war)? Atau perang damai (just war) itu hanya alibi pembenaran Amerika Serikat untuk menyerbu Afganisthan?

Pada tulisan ini saya akan memaparkan latar belakang dari perang Afghanistan, kemudian dilanjutkan dengan analisa kepentingan Amerika Serikat atau negara lainnya di Afghanisthan, serta ditutup dengan analisa mengenai perang Afghanistan yang dikatakan just war oleh Amerika Serikat.


Latar belakang Perang Afganisthan

Serangan 11 September telah berlalu 9 tahun silam, namun efek dari serangan itu masih terasa di negara asal para pelaku (menurut versi Amerika, talibanlah yang bertanggung jawab atas serangan tersebut). Dikirimnya pasukan untuk menumpas terorisme inilah yang menjadi suatu perang berkepanjangan selama 9 tahun lamanya dan masih berlangsung sampai sekarang.

Apakah Terorisme itu? Terorisme berasal dari bahasa latin Terrere. Dalam bahasa Inggris dipahami sebagai to frighten, yang artinya menakutkan atau mengerikan. Menurut kamus politik, terror berarti usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau sesuatu golongan. Biasanya tindakan tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan politik.[2]

Amerika Serikat menjadikan isu terorisme internasional ini sebagai alasan utama mereka mengadakan perang ke Afghanistan. Amerika yang berang karena sistem keamanan negaranya bisa ditembus dengan kasus peledakan WTC (World Trade Center), yang menewaskan ribuan warga Amerika Serikat.

Presiden Bush dalam pidatonya pada tanggal 11 September 2001 mengemukakan 4 alasan Amerika Serikat harus menyerang Afghanistan, yaitu:[3]

1C1. Chapter VI of United Nation Charter (Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368)

2.2. Intervention by Invitation

3.3. Humanitarian Intervention

4.4. Self Defence

Pada Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368, disebutkan bahwa PBB memperbolehkan suatu negara untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu terhadap sebuah negeri atau golongan yang melakukan maupun melindungi terorisme.[4]

Alasan kedua, ketiga, dan keempat menunjukkan bahwa Amerika melakukan penyerangan di Afghanistan karena diserang terlebih dahulu. Ditambah hal ini Amerika juga memposisikan diri sebagai negara yang diserang dan menganggap perlu melakukan pembelaan diri dengan melakukan penyerang balik ke Afghanistan yang merupakan markas milisi Taliban. Ditambah tuntutan rakyat saat itu yang meminta pihak pemerintah bertindak menghapus terorisme di dunia yang telah merenggut ribuan nyawa di Amerika khususnya.

Namun, tanpa disangka-sangka perang ini berlangsung berkepanjangan. Hingga tahun 2009 ini bahkan belum juga usai. Ditambah lagi permintaan penambahan pasukan oleh Panglima perang AS di Afghanistan Jenderal Stanley Mac Chrystal sebanyak 30.000 personil. Bahkan setelah pengiriman 30.000 pasukan, Panglima Amerika di Afghanistan Jenderal Stanley Mac Chrystal meminta penambahan 40.000 pasukan ke Afghanistan.[5]

Apakah yang menyebabkan perang ini begitu panjang? Salah satunya karena perlawanan rakyat Afghanistan lewat Taliban merupakan aksi perlindungan diri mereka atas serangan besar-besaran Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya ke tanah air mereka. Mereka berpendapat bahwa serangan itu tidak diprakarsai oleh mereka, melainkan merupakan rekayasa Amerika supaya mereka mendapat pembenaran atas serangan mereka di Afghanistan. Simpati masyarakat sipil Afghanistan terhadap militan Taliban juga semakin bertambah, hal ini dibuktikan dari hanya 50.000 rakyat saja yang mau mendukung Amerika Serikat mengusir Taliban dari Afghanistan. Pasukan Amerika serikat kewalahan menghadapi pejuang Afghanistan yang selalu memberikan perlawanan dan kini lebih 70% wilayah Afghanistan di bawah kontrol pejuang Afghanistan.[6]

Kepentingan AS dengan Perang Afghanistan

Amerika Serikat sejak peristiwa penyerangan WTC pada 11 September 2001 mulai mencanangkan program pemberantasan terorisme. Sedikitnya 900 pasukan Amerika telah tewas dan 600 pasukan koalisi tewas. Ini tentu belum termasuk dengan korban yang luka-luka, cacat permanen atau gangguan mental.[7]

Adakah kepentingan selain memberantas terorisme yang membuat Amerika bersikukuh untuk melanjutkan penambahan tentara guna menyelesaikan perang ini? Berikut ini beberapa pendapat mengenai kepentingan Amerika Serikat dan negara lain terhadap perang Afghanistan.

Terkait dengan isu terorisme global, khususnya yang dianggap merupakan aksi dari para milisi Taliban setidaknya Amerika Serikat memiliki dua kepentingan, yaitu:[8]

1. Vital

• Pencegahan penggunaan senjata pemusnah massal oleh terorisme dan penggunaannya untuk menyerang warga negara AS, properti AS, dan pasukan AS

2. Sangat Penting

• Kerawanan AS terhadap segala bentuk terorisme domestik maupun internasional diatasi dengan perilaku yang konsisten dengan cara liberal, prinsip-prinsip demokratis yand diadopsi dari konstitusi Amerika

• Negara-negara yang mendukung gerakan terorisme internasional atau menjadi perlindungan bagi teroris akan mendapatkan sanksi dan dihimbau untuk menghentikan aksi tersebut.

Selain itu, terdapat kepentingan lainnya yang dapat saya paparkan diantaranya adalah :

Pertama, Politik Hegemoni. Konsepsi Hegemoni, menurut K. J. Holsti dalam bukunya The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International Theory (1985) pada awalnya merujuk pada dominasi (kepemimpinan) suatu negara-kota Yunani terhadap negara-kota lain dan berkembang menjadi dominasi negara terhadap negara lain.[9]

Penyerangan terhadap negara-negara Timur Tengah adalah salah satu cara pembuktian Amerika Serikat untuk menunjukkan kedigdayaannya. Ditambah lagi di Timur Tengah terdapat “saudara tirinya”, yaitu Israel. Amerika membutuhkan legitimasi yang kuat di Timur Tengah supaya Israel bisa diakui oleh masyarakat interanasional terutama di kawasan Timur Tengah. Hal ini dilakukan dengan melakukan penyerbuan ke negara-negara Timur Tengah seperti Afghanistan.

Kedua, kepentingan keamanan negara. Demi keamanan dalam negeri dan aset-aset ekonominya, Amerika Serikat yang menampakkan diri sebagai polisi dunia telah menyerang negara yang belum tentu bersalah.[10]

Pada poin kedua ini, saya lebih melihat bahwa Amerika memiliki ketakutan tersendiri pasca penyerangan WTC pada 11 September 2001. Kekhawatiran ini memicu mereka untuk lebih dulu menyerang negara-negara yang terindikasi mampu melakukan teror. Meskipun belum terbukti secara otentik tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Contohnya, Taliban yang dituduh sebagai dalang dari tragedi 11/9 serta senjata pembunuhan massal di Irak.

Amerika juga berkepentingan menjagas stabilitas Afghanistan. Mereka akan secepatnya melatih pasukan Afganistan agar dapat mengambil alih perang dan bertanggung jawab atas keamanan negaranya.[11]

Ketiga, Membendung Arus Islam. Kebangkitan Islam yang baik di dunia Barat maupun Timur membawa kecemasan tersendiri bagi Amerika. “Keseleo lidah” dari mantan Presiden Bush yang menyatakan “Perang Salib” bagi teroris dimaknai oleh kalangan tertentu sebagai kepentingan Amerika untuk melunakkan gerakan-gerakan Islam yang mulai menjadi arus utama di masyarakat dan pemerintahan. Pembendungan Arus Islam lewat isu “war against terrorist” ini juga berlaku pada gerakan Al-Qaeda yang disinyalir memiliki perwakilan di beberapa negara di dunia.[12]

Amerika melihat bahwa perkembangan Islam ini bisa memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan negara mereka. Selain itu, juga mampu menekan kepentingan mereka di Timur Tengah terkait keberadaan Israel.

Kepentingan Pakistan dan India Terkait Perang Afghanistan

Selain Amerika, negara seperti India dan Pakistan juga mempunyai kepentingan terkait dengan perang Afghanistan. Pakistan contohnya, karena berada di perbatasan Afghanistan serta dianggap sebagai negara tempat pelarian dan persembunyian tentara Taliban. Mengingat pentingnya daerah perbatasan ini sehingga Pakistan juga ikut dalam membantu Amerika Serikat untuk menumpas terorisme. Keberadaan penyusup yang berlindung di Pakistan menjadi isu yang dibahas oleh pemerintahan Pakistan dan Afghanistan. Keikutsertaan Pakistan bertujuan untuk mempersempit ruang gerak tentara Taliban dan untuk meredakan ketegangan di wilayah perbatasan .

India yang merupakan salah satu negara yang terletak di sekitar daerah Afghanistan juga memiliki kepentingan dalam menjaga keamanan kawasan. Kekacauan di sekitar negara mereka juga turut berdampak pada ketidakamanan di negara mereka. Kekhawatiran penyusup Taliban dan adanya serangan bom di Mumbai juga merupakan salah satu alasan keterkaitan India dalam mendukung perang Afghanistan.

Perang Afghanistan merupakan Just War?

Gagasan tentang just war muncul pertama di Roma jus fetiale - kombinasi dari ritual agama dan peraturan hukum - namun teori konsisten pertama dikembangkan oleh gereja, dalam usaha untuk melayani Kaisar tanpa benar-benar meninggalkan janji kepada Tuhan. Bagi Augustinus dan Aquinas, just war mengembalikan pelanggaran perintah agama dan moral. Akibatnya, teologi Abad Pertengahan berkonsentrasi pada menentukan penyebab keadilan (jus ad bellum) dan mengabaikan peraturan dari perilaku (jus in bello).[13]

Berikut ini merupakan prinsip-prinsip just war,yaitu:[14]

1. 1. Penyebab harus adil

2. 2. Sebuah kewenangan yang sah harus memutuskan untuk memperbolehkan penggunaan kekerasan

3. 3. Maksud perang harus sesuai dengan hukum internasional

4. 4. Penggunaan kekuatan menjadi solusi terakhir

5. 5. Probabilitas keberhasilan harus tinggi

6. 6. Rasio keuntungan biaya harus positif

7. 7. Cara yang digunakan harus sesuai dengan hukum humaniter internasional

Saya akan menganalisa kasus Perang Afghanistan berdasarkan ketujuh poin tersebut. Pada poin pertama, menurut versi Amerika Serikat perang kali ini merupakan bentuk perlawanan dari serangan 11 September. Mereka berpendapat bahwa perang kali ini adalah bentuk dari self defence. Mereka juga menganggap bahwa jaringan terorisme Al-Qaeda yang bertanggung jawab atas serangan itu, sehingga mereka melakukan serangan balik dengan alasan war on terorism. Namun, perlu digaris bawahi bahwa beberapa tahun kemudian muncul fakta-fakta yang membantah keterlibatan Al-Qaeda dalam aksi 11/9. Bahkan fakta mengarah pada keterlibatan Amerika mensabotase tragedi 11/9. Sehingga mereka memiliki alasan untuk menyerang Al-Qaeda atau Afghanistan.

Pada poin kedua, Presiden Bush menggunakan kekuasaan eksekutif untuk mengaktifkan angkatan bersenjata Amerika Serikat tanpa mencari kongres secara resmi deklarasi perang terhadap Afghanistan. NATO dan PBB diminta untuk mendukung keputusan ini dan mereka lakukan.[15]

Untuk poin kedua ini, terlihat Amerika terkesan memaksakan untuk membenarkan pengiriman pasukannya. Karena kita tahu bahwa PBB dan NATO merupakan organisasi yang “dikuasai” oleh Amerika. Sehingga sangat mudah bagi Amerika untuk menekan kedua organisasi ini supaya melegitimasi aksi serangan mereka.

Amerika beralasan untuk melakukan just war termasuk penghapusan ancaman dan pemulihan atau pembentukan rezim yang sah mungkin untuk menegakkan hak asasi manusia dan hukum internasional. Hal ini memberikan mereka legitimasi untuk menyerang Al-Qaeda. Karena meraka berpendapat bahwa Al-Qaeda telah membahayakan rezim pemerintahan Afghanistan dan mengganggu keamanan dunia, serta menekan hak-hak perempuan. Sehingga Amerika mendapatkan pembenaran akan just war.

Namun, Amerika melupakan bahwa akibat serangan mereka banyak korban jiwa atau cacat maupun gangguan kejiwaan berjatuhan baik dari militer maupun sipil. Bukankah hal ini melanggar alasan penegakan hak asasi?

Mengenai poin keempat, Amerika melakukan pembenaran dengan alasan bahwa perundingan dengan Al-Qaeda tidak akan berhasil sehingga perang menjadi solusi satu-satunya. Namun, menurut salah satu sumber yang saya baca. Al-Qaeda dalam hal ini milisi Taliban bersedia menerima perundingan damai jika Amerika menarik mundur pasukannya. Dalam hal ini , dapat kita lihat bahwa Amerika memaksakan untuk melakukan perang padahal masih ada peluang untuk melakukan perundingan damai.

Pada poin probabilitas dan rasio keunntungan biaya, kita dapat sama saksikan bahwa Amerika mematok target bahwa mereka akan segera menumpas milisi Taliban dalam kurun beberapa minggu. Namun, kenyataanya dalam waktu 8 tahun perang tidak kunjung usai. Bahkan mereka berniat menambah pasukan. Selain itu, pengeluaran dari perang ini juga semakin membengkak belum lagi ditambah biaya kerusakan di Afghanistan dan biaya pengobatan masyarakat sipil yang menjadi korban.

Poin terakhir menjelaskan mengenai cara-cara yang sesuai dengan hukum humaniter internasional. Meskipun dalam proposalnya Amerika menyebutkan tentang perlindungan terhadap rakyat sipil, namun pada kenyataannya kita tidak dapat menyangkal kalau tetap saja jatuh korban dan hal ini diperparah dengan kuatnya perlawanan dari milisi Taliban. Sehingga semakin banyak korban yang berjatuhan di kedua belah pihak. Ditambah dengan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Taliban juga jadi faktor banyaknya korban dari rakyat sipil.

Kesimpulan

Pada kesimpulannya, saya melihat bahwa meskipun terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah suatu aksi yang heroik dengan kilah just war yaitu untuk membasmi terorisme. Namun, pada beberapa hal terlihat Amerika Serikat memaksakan untuk melakukan penyerangan. Mulai dari aksi balas dendam atas serangan terhadap WTC sampai pada tindakan mereka yang lebih memilih jalur perang ketimbang lewat perundingan damai.

Tindakan perlawanan yang dilakukan Taliban dengan bantuan rakyat adalah bentuk perlawanan terhadap aksi kesewenang-wenangan Amerika selama ini terhadap rakyat muslim pada umumnya dan khususnya terhadap saudara-saudara mereka di Afghanistan. Rakyat tidak akan mengadakan gerakan perlawanan jika mereka tidak merasa ditindas. Bahkan tuduhan sebagai aktor tragedi 11/9 yang belum terbukti keotentikannya menjadi tameng Amerika untuk memporak-porandakan Afghanistan. Hal ini juga membuat Taliban semakin menguatkan perlawanan mereka ditambah dengan dukungan dari rakyat Afghanistan.

Perang tidak akan berakhir jika masing-masing pihak masih mengedepankan ego tanpa memperhatikan nasib rakyat sipil disekitar daerah perang. Yang jadi korban tidak hanya tentara dan milisi, tapi rakyat sipil yang tidak berdosa juga menjadi korban. Apakah ini bentuk perang yang bertujuan damai? Apakah harus jatuh korban nyawa sia-sia untuk menciptakan kedamaian? Hal ini perlu jadi renungan dan menjadi perhatian kita semua maupun pemerintah negara-negara di dunia. Karena pada dasarnya semua manusia menginginkan perdamaian dan ingin kehidupan yang aman.



[2] Dikutip dari handout perkuliahan 1 Transnational Crime oleh Dr. H. Obsatar Sinaga, S.Ip, M.Si

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[15] Ibid.