07 March 2015

Senyuman

Akhirnya aku sampai di kota ini. Kota penuh kebisingan. Kota yang sehari-hari matahari bersinar sangat terang. Cuaca yang cukup ekstrim dibandingkan kampungku di kaki gunung. Sesuram apa pun kau, di sini adalah tempatnya orang mencari rejeki yang lebih baik. Sangat pantas begitu banyaknya orang mau ke sini, termasuk aku. Ya, aku anak ingusan yang selepas lulus kuliah mencoba peruntungan. Bermodal ijazah sarjana mungkin itu cukup.

Di kota ini aku memilih mencari kostan di pusatnya kota. Bukan pusat yang kalian bayangkan akan penuh gedung mewah dan tinggi. Aku memilih sisi lain dari pusat kota. Jalanan kecil, penuh bangunan menengah dan rumah yang berhimpitan. Untungnya aku memilih lantai 3 yang cukup untuk melihat hamparan pemandangan kota.

"Lihatlah Bu, anakmu akan jadi orang di kota." ucapku saat menyusun beberapa foto di dinding kamar.

Hari berlalu, beberapa minggu berlalu. Aku masih saja sekedar mampir di kantor-kantor besar. Sekedar menitipkan berkas-berkas. Ternyata begitu keras kota ini. Pantas saja Ibuku sempat tak setuju.

"Daripada kau ke kota mending kau kelola peternakan Ibu, Nak." jawaban ibuku saat aku meminta ijin merantau.

"Aku ingin tantangan baru, Bu. Aku ingin lebih dari sekedar mengurusi sapi, domba, dan ayam di sini. Bosan. Sedari dulu juga aku sudah membantu. Sekarang aku ingin ke kota, titik." ujarku lantang saat Ibu tidak juga memberikan ijin.

Sudahlah, mungkin Ibu yang tidak percaya dengan kemampuanku. Itu pikiranku saat itu. Ternyata keberatan Ibu cukup beralasan. Kau tidak akan cukup bermodalkan ijazah di kota besar semacam ini.

Di sore yang ketujuh, aku hanya menghempaskan diri di kursi goyang di balkon kosan. Membakar sebatang rokok. Menerawang jauh ke langit. Anakmu bodoh, Bu.

Entah apa kata orang tentang suasana langit sore ini. Tapi bagiku sore ini begitu suram. Tambah lagi aku bisa melihat beberapa orang yang baru pulang kerja. Walau tampak lelah, tapi aku melihat guratan bahagia di sana. Setidaknya itu tafsiranku, karena bekerja kau dapat penghasilan lalu kau bisa belanjakan untuk apa saja. Tidak bingung sepertiku yang harus makan apa malam ini. Rokok pun aku hanya mampu membeli 1 atau 2 batang saja. Belum lagi grup whatsapp-ku berbunyi dengan beberapa chat dari teman yang cerita masa-masa awal kerjanya.

Aku? Masih bekerja menerawang langit. Aku memilih menghabiskan saja waktu di malam ini tanpa rencana melamar esok hari. Aku off dulu besok. Semangatku hilang bersama tenggelamnya matahari sore.

Tahukan apa yang terjadi saat banyak hal yang kau pikirkan? Susah tidur, gelisah, atau dalam bahasa kekinian orang menyebutnya galau. Aku mulai putus asa berkutat di kota ini. Padahal baru seminggu. Baru saja tujuh hari dan aku sudah cukup lelah di sini.

"Andai saja aku dengarkan kata-kata Ibuku saat itu.", ucapku dalam hati.

Satu tarikan nafas panjang di malam hari cukup jelas memperlihatkan rasa frustasiku. Aku memutuskan merebahkan diri di karpet. Untuk apa aku nyaman tidur di kasur sementara saat bangun aku tetap saja susah?

Malam itu musnah sudah keinginanku untuk membuang waktu dengan tidur yang panjang. Aku kembali melanjutkan renunganku. Kali ini sepetak kamar sepi berukuran 2 x 3 ini yang jadi saksi.

Di tengah lamunanku, aku teringat ibuku pernah menitipkanku sepucuk surat yang tidak boleh kubuka saat itu.

Dia berpesan, “Bukalah surat ini saat kau benar-benar perlu saja. Semoga bisa sedikit membantu.”

Aku langsung saja mencoba mencari-cari surat itu. Sialnya aku lupa dimana keberadaan surat itu. Aku pikir karena kata ibu nanti saja bacanya aku taruh saja sembarangan di antara tumpukan barang-barang bawaanku.

Setelah cukup lama mencari, akhirnya surat itu ketemu. Dia terselip di antara baju-baju tidurku.

Anakku. Saat kamu membaca surat ini mungkin kamu sedang susah hati. Ibu hanya bisa berpesan untuk meluruskan niatmu, Nak. Kenapa kamu ingin merantau? Carilah jawaban pertanyaan itu, Nak. Kalau sudah kamu temukan, peluk erat-erat alasan itu dan selalu ucapkan saat semangatmu mengendur. Sertakan juga ia dalam doa dan sholatmu. Insyallah Tuhan akan membimbingmu ke jalan yang baik. Ibu selalu mendoakanmu dan mendukungmu dari sini. Ketahuilah, Nak, Ibu tidak pernah membenci ataupun menolak keputusanmu merantau.

Bergetar hatiku membacanya. Betapa ibuku menyanyangiku. Sempat aku mengira ibuku tidak senang dengan perantauanku. Selama ini aku salah. Mungkin benar kata orang dahulu: Kasih anak sepanjang jalan, sementara kasih ibu sepanjang masa.

ps: Coba kamu cari rumah makan tua yang dikelola oleh orang-orang tua. Mungkin kamu bisa dapat banyak cerita dan pelajaran dari mereka. 

Itu nasihat terakhir di baris bawah surat ibuku.

Apa maksudnya?

————————————————

Pagi ini aku terbangun lebih awal. Pertama, karena masih banyak pikiran di kepala. Kedua, termotivasi surat dari ibu. Pagi di ibukota tidak begitu buruk. Aku bisa melihat sinar fajar merah muncul di balik langit. Udara yang masih segar. Saking sibuknya aku mencari kerja, aku lupa menikmati pemandangan indah ini. Sebuah tarikan nafas panjang mengawali pagi.

"Aku ingin menyerap energi positif pagi ini.", ucapku dalam hati.

Benar kata orang, suasana hati mempengaruhi sudut pandang dalam melihat sesuatu. Surat semalam aku bingkai di dinding kamar di samping kaca. Terima kasih Ibu. Setiap pagi dan malam aku pandangi. Suatu energi baru datang ke diriku. Minggu kedua aku jalani dengan semangat. Ibarat dopping, surat ibu menguatkan setiap langkah kaki. Dari 1 pintu ke pintu perusahaan yang lainnya. Begitupun minggu ketiga dan keempat, hingga minggu kedelepan.

Namun, nasib masih enggan tersenyum padaku. Menuju minggu kesepuluh rasa lelah itu datang lagi. Belakangan aku sudah jarang menatap surat ibu. Karena aku harus pergi pagi dan pulang larut malam hanya demi memasukkan lamaran kerja. Sehingga mungkin saja efek doppingnya berkurang. Semangat itu mengendur. Aku juga mulai lupa indahnya menatap matahari pagi dari balkon.

Pada suatu malam di sela perjalanan pulangku dari memasukkan lamaran kerja, tanpa sengaja aku melihat sebuah rumah makan tua. Tempat ini masih asing bagiku karena baru sekali ini aku melewatinya. Biasanya aku melewati jalan besar di depan. Entah apa yang mengilhami aku untuk memutar lewat jalan belakang hingga akhirnya aku berdiri di sini.

"Apa istimewanya sebuah rumah makan tua? Ini saja sudah mati segan hidup tak mau", ucapku dalam hati.

Rumusnya sederhana, saat kau lapar dan mencium bau makanan kau akan selalu datang mendekat. Di mana ada gula di situ ada semut. Di mana ada perut yang lapar, pastilah kau akan mencari makanan. Perutku lebih kuat daripada otakku, sehingga aku memutuskan untuk berdamai dengan cap sinisku akan rumah makan ini.

"Silahkan, selamat datang!", seorang ibu-ibu tua dengan logat tionghoa menyapaku terlebih dahulu.

Tidak lama kemudian suaminya yang menyapa, “Mau pesan apa?”

Aku pun membaca daftar menunya. Hmmmmm. Cukup banyak pilihan. Tapi, aku kemudian memilih kwetiau goreng. Lama memang aku tidak memakan kwetiau goreng yang banyak di jual di kampungku. Apalagi yang jual orang Tionghoa, biasanya enak pikirku.

"Kwetiau gorengnya satu ya, Bu, sama susu kacang kedelai gak pake es."

"Ditunggu sebentar ya." jawab Ibu sambil mengangkat daftar menu dari mejaku.

Tidak lama kemudian makanan dan minumanku datang. Seperti biasa masakan-masakan khas Tionghoa, tidak perlu menunggu lama. Tampilan nakanannya sederhana, penuh dengan daging, baso, babat, urat, dan usus. Lengkap dengan daun bawang dan toge. Oke, aku cukup banyak terkontaminasi acara-acara di tv soal kuliner jadinya spontan mengontari penampilan. Baunya harum menambah tingkat laparku. Tanpa basa basi kwetiau itu aku santap. Enak. Enak sekali. Sudah lama tidak memakan kwetiau seenak ini. Suapan demi suapan berlalu hingga habis sudah sepiring kwetiau. Kenyang dan memuaskan.

Aku menyempatkan melihat-lihat sekitar rumah makan ini. Banyak foto-foto jaman dulu yang terbingkai rapi. Dari foto itu aku bisa bilang rumah makan ini tidak banyak berubah. Hanya orang dalam foto saja yang menua. Selebihnya lokasi meja dan perabotannya persis sama. Kemudian aku juga penasaran kenapa ada lima tempat masak di situ. Aku coba mencari-cari di foto mana yang menunjukkan tempat memasak mereka.

"Suka sejarah juga?", bapak tua koki sekaligus pemilik rumah makan ini menyapaku.

"Oh, iya, Pak. Menarik foto-fotonya."

Bapak itu sambil mengemasi piring dan gelas di mejaku. Ia membuka pembicaraan, “Kalau masih ada waktu luang biar saya jelaskan foto-foto itu.”

"Boleh Pak."

Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Lupa bahwa aku tadinya ingin pulang cepat dan istirahat. Supaya besok bisa lebih awal berangkat.

Pak Tua itu duduk menjelaskan foto itu satu per satu. Peletakan foto itu cukup membantu karena disusun secara historis berurutan dari awal rumah makan ini berdiri sampai yang terbaru. Foto terbaru adalah foto Pak Tua, Nyonya, anak dan cucunya. Pak Tua sangat bersemangat menceritakan awal karirnya.

"Kau lihat wajan yang ku gantung di tengah itu?", Pak Tua menunjuk satu buah wajan yang terpasang gagah di dinding tua itu.

"Itu wajan pertamaku, pemberian ayahku sebelum melepas kepergianku merantau. Dia pesan kalau mau merantau, jadilah perantau yang sukses dan kalau kau mau jadi tukang masak,  jadilah tukang masak yang sukses. Jangan lupa untuk berbahagia dengan kesuksesanmu.", matanya mulai berkaca-kaca.

Hampir 1 jam Pak Tua bercerita. Asyik sekali dia menceritakan kisah-kisah itu. Nyonya, begitu aku memanggil istrinya, juga ikut membagi kisah-kisah mereka. Malam ini aku belajar arti kegigihan. Pak Tua ini merantau dari seberang pulau dengan modal wajan, surat dari saudara jauh, beberapa potong pakaian dan seamplop uang. Aku cukup malu kalau berkaca dengan kondisiku di awal merantau.

"Pak, kenapa kompornya ada 5?", di jeda cerita Pak Tua aku memberanikan bertanya suatu hal yang mengganjal pikiranku sedari tadi.

Nyonya yang menjawab, “Kompor itu adalah milik koki-koki yang lain. Kami pernah punya 4 koki lainnya. Mereka seumuran kamu saat pertama bekerja. Sudah seperti anak kami sendiri. Selang waktu berjalan, aku berunding dengan Bapak. Kalau mereka terus di sini bersama kami, mereka hanya akan tenggelam dalam bayang-bayang kami. Tidak berkembang.”

Pak Tua menimpali, “Kamu tahu filosofi induk burung? Saat kamu telah cukup siap untuk terbang ke dunia, induknya tidak pernah menahan kepergiannya. Mereka merelakan kepergian anak-anaknya ke dunia yang luas. Dengan satu harapan, anak-anak itu akan menjadi burung yang tangguh dan lebih baik dari mereka.”

"Walaupun kami sangat bersyukur mereka selalu menyempatkan untuk pulang kembali ke sini.", tambah Nyonya.

"Aku kira ini rumah makan yang hendak mati. Mereka berdua ditinggalkan menua di sudut kota ini dengan sisa-sisa kenangan yang hidup di sini. Aku salah. Kisah mereka lebih besar dari sudut otakku yang sempit.", aku bergumam dalam hati.

"Setiap tanggal 14 kami selalu tutup. Karena mereka selalu pulang kembali ke sini. Selalu saja mereka berlagak seperti koki dan kamilah pelanggan. Mereka berlomba memasakkan kami menu-menu restoran mereka. Aku bahagia. Kami tidak dilupakan walaupun mereka jauh lebih sukses dari kami yang hanya berujung di sini.", lanjut Pak Tua.

"Tapi aku lebih bahagia berujung di sini bersamamu.", timpal Nyonya yang membuat raut wajah Pak Tua memerah.

Rumah makan ini ternyata penuh rasa kekeluargaan dan penuh kebahagiaan. Tampilan luar memang bisa menipu. Mungkin ini maksud ucapan temanku dulu, “Kau hanya butuh sedikit senyuman, kisah, dan sahabat baik untuk berbahagia.”

"Aku lihat kamu membawa map lamaran kerja? Boleh aku lihat?", Pak Tua tiba-tiba bertanya.

Aku spotan menyodorkan map yang lengkap dengan semua kelengkapan melamarku.

"Mungkin kami perlu tambahan pegawai. Kalau kamu berkenan, kamu bisa mulai kerja besok. Kami sudah tidak seenergik dulu, pun juga tidak secekatan dulu. Sepertinya Tuhan berbaik hati membuatmu singgah dan membawa lamaran ini.", Pak Tua berkata dengan sangat serius sekaligus hangat.

"Iya, boleh juga. Mungkin kalau kamu bersedia sedikit lelah di rumah makan ini kamu boleh mulai bekerja besok. Kamu boleh memakai kamar di atas untuk istirahat siangmu. Tenang saja, Nak. Kamu bebas makan di sini selama menjadi pegawai kami.", Nyonya ikut membujukku kali ini.

"Baiklah. Terima kasih banyak Pak dan Nyonya. Kalau mau sekarang juga saya siap bekerja.", jawabku tegas.

"Tenang anak muda. Pulanglah dan beristirahat. Besok pagi kami tunggu pukul 7. Terima kasih banyak telah mau mendengarkan kisahku yang panjang dan bersedia membantu kami yang tua ini.”

Beginilah keseharianku sekarang. Menjadi bagian dari keluarga besar ini. Suatu kebanggaan dan kebahagian aku bisa bekerja di sini. Terima kasih Tuhan, terima kasih Ibu untuk doa yang tak pernah putus. Untukmu Ayah yang di sana, aku selalu mendoakanmu.

Pada suatu hari saat aku asyik menikmati pekerjaanku dan juga keromantisan mereka. Hey, perlu kalian tahu mereka adalah pasangan paling romantis yang pernah aku lihat. Selalu makan bersama. Pak Tua tidak mau memulai makan kalau Nyonya tidak makan bersamanya. Begitupun sebaliknya. Atau tiap pagi aku selalu menjadi saksi dua manusia yang berjalan dengan bahagianya memasuki rumah makan ini. Begitu juga saat pulang. Saling merangkul tangan. Sesekali Pak Tua mengelus rambut putih kekasihnya. Nyonya juga tidak sungkan mengelus pipi kekasihnya yang sudah tampak keriput.

Satu rutinitas yang selalu membuatku berdecak kagum. Pak Tua selalu yang pertama membukakan pintu saat mereka hendak masuk dan keluar rumah makan, sambil mempersilahkan Tuan Puterinya berjalan dahulu.

Rumah makan ini mungkin kuat karena dibangun oleh orang-orang yang berbahagia. Aku menemukan ruang belajar baru soal pekerjaan dan kerja keras, juga tentang kehidupan, khususnya cinta. Setiap hari aku selalu terpesona dengan keromantisan mereka berdua.

Rumusnya sederhana kalau kata Pak Tua, “Aku harus selalu menjadi alasannya tersenyum. Pantang bagiku melihatnya berwajah susah.”

Di tengah lamunanku saat itu tiba-tiba Pak Tua membuka pembicaraan.

"Nak, jangan cuma bekerja seperti kuda. Aku lihat kamu selalu siap paling pagi dan pulang paling terakhir selama 3 bulan ini. Kamu juga jarang menikmati hari libur dan memilih mengecek persediaan rumah makan ini. Sekali-kali lakukanlah hal lain yang memang kamu suka. Supaya hidupmu tidak kembali jenuh. Bukankah kamu pernah bilang kejenuhan itu musuh paling jahat."

"Aku menikmati hari-hari dan waktuku di sini, Pak. Aku tidak pernah jenuh belajar, bekerja, dan menyaksikan kisah cinta kalian di sini. Tidak pernah, Pak.", aku hanya menjawab dalam hati.

"Aku lihat kamu cukup bagus menulis. Tulisan tanganmu rapi. Lihatlah menu di sini yang kau poles jadi lebih indah dibaca. Atau beberapa penjelasan soal makanan yang kau pajang di etalase depan. Banyak pelanggan yang senang."

"Baik, Pak.", jawabku singat sambil memikirkan usulan itu.

Cukup lama aku berpikir sebelum tidur malam hari. Mungkin ada benarnya aku coba menulis lagi.

Maukah kau kuceritakan satu kisah cinta yang abadi?

Kalimat pertamaku setelah lama tidak menulis lagi. Mungkin ini kisah yang baik untuk ditulis. Terinspirasi dari kisah Pak Tua dan istrinya. Kisah mereka yang sudah banyak membuatku berubah menjadi lebih baik. Akhirnya aku memberanikan menulis lagi setelah Pak Tua menasihatiku semalam. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang akan membacanya nanti.

7 Maret 2015
D. Sudagung

25 February 2015

Bapak Tua dan Sebungkus Nasi

"Dek, itu sendalnya kebalik.", suara itu terdengar sayup-sayup di telingaku. Suara itu berulang diucapkan hingga yang ketiga kali baru aku tersadar aku tidak sedang bermimpi.

"Oh, iya Pak. Terima kasih, terima kasih.", jawabku dengan nada yang panik bercampur kaget.

"Bapak perhatikan, Adek dari tadi hanya melamun. Tatapannya kosong. Waktu jalan masuk mesjid juga kayak yang linglung. Kalo bapak boleh tau ada apa toh?", tanya bapak itu dengan logat jawanya yang kental.

"Tidak, Pak. Tidak apa-apa.", jawabku singkat. Untuk apa juga aku cerita ke orang tak dikenal soal hati yang remuk ini. Kenal pun tidak. Siapalah bapak ini yang ingin tau betapa hancurnya hatiku saat ini. Tuhan pun hanya diam saat aku hancur, apalagi bapak ini bisa apa. Itu pikirku dalam hati.

"Anak muda seperti Adek ini ya kalau tidak patah hati ya paling masalah keuangan. Kalau bapak boleh lancang sepertinya masalah hati. Bapak jadi ingat waktu bapak muda dulu. Hahaha." ia menjelaskan dengan tawa yang lepas.

"Mari Dek kalau berkenan bapak ajak ke rumah makan di depan mesjid. Konon sehabis makan di sana urusan hati jadi lebih enteng. Makanya rumah makan itu namanya "Lega Hati". Saya juga tidak tahu, tapi sejak dulu saya muda sering mampir selepas sholat di mesjid kalau sedang ngegalau."

"Tidak, Pak. Terima kasih. Nanti saja saya belum lapar." jawabku masih singkat.

"Saya duluan kalau begitu. Siapa tau Adek mau menemani bapak tua ini bercerita silahkan mampir saja. Kalau pun tidak, bapak doakan urusan hatinya segera membaik." ucap Bapak Tua itu dengan nada yang menenangkan.

Ucapan itu seperti hujan di tengah padang pasir. Sejuk. Menyejukkan. Entah kenapa hatiku sedikit lebih riang setelah tersentuh kata-kata Bapak Tua itu. Sekalipun aku masih belum mau beranjak. Aku masih membatu dan kembali membuka lembar kenangan itu. Hingga aku disadarkan oleh bunyi perut yang mengganggu ditambah rasa sakit yang menusuk. Yak, sakit maagh-ku kumat. Ah, terpaksa kujilat air liurku sendiri dan melangkah ke rumah makan itu.

Tidak ada yang istimewa dari rumah makan ini. Pilihan lauk dan sayur yang biasa saja. Apalah yang spesial pikirku sampai Bapak Tua tadi begitu semangat mempromosikannya.

"Hey, Nak! Sini! Sudah dari tadi bapak tunggu. Mas, tolong teh manis hangat 1 lagi." teriak bapak itu yang memecah keramaian jam makan saat itu.

"Kenapa Bapak menunggu saya? Apa spesialnya saya sampai Bapak rela membuang-buang waktu untuk saya?"

"Ini bukan soal seberapa spesialnya Adek atau betapa berharganya waktu saya yang terbuang. Ini hanya soal nostalgia. Ini soal sebuah cerita lama. Bapak seperti teringat jaman muda bapak saat melihat Adek di ujung tangga tadi. Persis di tangga itu, persis dengan cara duduk seperti itu, dan mungkin saja persis dengan masalah yang sama, masalah hati. Adek habis patah hati? Baru saja diputuskan tanpa alasan yang jelas?"
Peramal kah bapak ini? Cenayang kah? Hebat sekali bapak ini membaca pikiranku. Tahu dari mana dia? Merinding aku saat bapak itu menerka-nerka apa yang terjadi padaku.

"Ya, dari wajah kagetmu jelas sudah jawabannya."

Tanpa menunggu lama bapak itu memesankan aku segelas teh manis hangat dan mempersilahkanku memilih makanan. Aku memang lapar. Jadi, ya apa salahnya sekedar makan bersama. Toh tujuan kami sama di sini, mengenyangkan perut.

Kami pun duduk berhadap-hadapan. Sepenglihatanku menu yang dimakan oleh Bapak Tua itu hanya nasi, sayur sop, tempe goreng, dan tahu goreng. Tapi, begitu lahap dan semangatnya Bapak Tua itu makan. Apa enaknya menu sesederhana itu pikirku? Walaupun menu makanku tidak lebih menyedihkan, hanya nasi seperempat dan ayam goreng. Lebih mewah memang, tapi menu itu tercampur aura senduku sehingga yang terlihat adalah menu makanan yang mengenaskan.

"Makan, Nak. Jangan terlalu banyak melamun di sini. Ini rumah makan. Bukan gua tempat bertapa. Lihatlah orang di ujung jalan itu. Untuk makan pun mereka harus meminta-minta dahulu. Itupun kalau tidak dipalak preman."

"Oh. Iya, Pak. Terima kasih. Mari, Pak." aku lagi-lagi hanya menjawab sepatah saja karena kaget.

"Alhamdulillah. Koki di sini tidak pernah mengecewakanku sejak dulu. Hahaha. Perut kenyang hati pun lega. Sembari kamu makan, ijinkan Bapak Tua ini sedikit bercerita."

Aku hanya mengangguk pelan sambil bersusah payah melawan keenggananku untuk makan. Bukannya tidak lapar, tapi urusan hati ini bikin kusut. Lenyap nafsu makanku seketika saat teringat wajahnya.

"Dulu aku juga duduk di sana saat aku patah hati. Persis termenung seperti Kamu tadi itu, tidak ada semangat hidup, bercampur kesal, semua aura negatif itu beradu di sana. Tidak lama datang seorang tua yang menyapaku. Ia menyodorkan sepotong roti."

"Mungkin kau lapar, Nak? Ini bapak ada roti. Siapa tau bisa mengganjal perutmu."

"Kamu tau apa reaksiku saat itu? Aku dulu lebih kejam daripada kamu yang menatap kosong dan menjawab dingin. Aku menoleh pun tidak dan bapak itu hanya meletakkan sepotong rotinya di samping tangga. Mungkin dia berharap aku mengambilnya."

Aku tanpa sadar terhisap oleh alunan kisah Bapak Tua ini. Tanpa terasa inilah suapan terakhirku. Ku tatap lekat-lekat Bapak Tua itu. Kali ini aku memutuskan meluangkan sedikit waktuku menyimak kisah nostalgia ini.

"Kejadian itu terjadi berulang kembali esok hari. Persis di tempat yang sama. Aku yang juga sama masih termenung selepas sholat."

"Dek, bapak tidak tahu apa yang bisa bapak bantu. Tapi, mudah-mudahan sebungkus roti ini bisa membantu."

Lagi-lagi Bapak Tua itu meletakkan sesuatu di sampingku. Kali ini tidak hanya sepotong roti, tapi sebungkus roti. Aku masih sama saja tidak menghiraukan.

"Kejadian itu berulang di hari ketiga. Kali ini bapak itu menyuguhkanku sebungkus nasi. Aku tahu itu dari rumah makan di depan mesjid. Persis makanan di sini dan persis juga apa yang aku makan barusan. Tidak ada ucapan terima kasih atau balik menatap. Aku hanya merenung kosong. Seolah bapak itu tidak ada."

"Semoga nasinya bermanfaat, Nak.", ucap bapak itu sambil berlalu.

"Taukah kamu? Ucapan “nak” itu yang menyadarkanku dari lamunan. Nak? Kapan terakhir ada orang yang memanggilku “nak” dengan begitu hangatnya? Mungkin benar kata orang dulu. Apa yang diucapkan dari hati akan selalu menyentuh ke hati."

"Saat aku tersadar dari lamunanku itu, aku hanya bisa melihat punggung bapak itu dari kejauhan. Punggungnya yang tertutup sekarung besar sampah. Bapak itu hanyalah seorang pemulung keliling. Tak lebih rapi penampilannya dariku. Bahkan mungkin tak lebih baik penghasilannya dibandingkan uang jajanku. Tapi, nasi bungkus di sampingku ini saksi kebaikan tak mengenal materi, kebaikan tak mengenal usia, kebaikan tak mengenal kelas sosial.", Bapak Tua itu berhenti sejenak sambil menatap ke luar ke arah tangga itu.

Ia kemudian menarik nafas panjang dan terlihat matanya berkaca-kaca.

"Satu suap, dua suap, tiga suap, hingga aku menyelesaikan suapan terakhirku. Tiap suapan itu begitu berarti. Entah tanpa sadar air mataku mulai menetes. Aku baru sadar betapa nikmatnya menyantap makanan. Selama beberapa hari ini makanan itu hanya sekedar lewat. Rasanya? Apa yang ku makan juga tak kuingat. Hanya wajahnya yang selalu teringat dan selalu hadir bersama kesedihan. Asal kamu tau, Dek, makanan yang ku makan inilah makanan yang diberikan bapak itu 30 tahun lalu."

Begitu penuh arti menu sederhana itu. Begitu malu aku jika ingat tadi aku sempat mengejek dalam hati. Aku hanya diam menunduk, tanpa berani memandang wajah Bapak Tua itu yang kembali melanjutkan kisahnya.

"Sebungkus nasi itu merubah alur hidupku, Dek. Dulu aku bahkan sempat berpikir untuk kabur saja ke ujung dunia. Lari sejauh-jauhnya. Meninggalkan kenangan itu di sini. Tapi, untuk apa? Sejauh apa pun aku lari aku juga masih mungkin teringat tentangnya. Jawaban kegundahanku itu ada di sebungkus nasi, Dek. Nasi yang terbungkus ketulusan dan kebaikan."

Bapak Tua itu berhenti sejenak. Aku bertanya-tanya akhir kisah itu. Aku mulai membayangkan berada di sana 30 tahun yang lalu.

"Aku memang tersenyum selepasnya, Dek. Tapi, aku juga bersedih sampai sekarang.", suara Bapak Tua itu mulai parau.

"Aku tak pernah tahu namanya. Aku tak pernah tahu rumahnya. Bahkan aku tak pernah sempat mengucapkan terima kasih. Tiga hari setelah kejadian itu aku selalu datang menunggu di tangga mesjid pada waktu dzuhur. Tapi, bapak itu tak pernah datang. Hari keempat aku sempatkan bertanya ke sini, ke tukang masak yang tadi mengantarkan makananku. Ajal tiada yang tahu, Dek. Selepas menemuiku, bapak itu tertabrak mobil di ujung jalan raya. Beliau meninggal di tempat dan entah setelahnya dikuburkan dimana karena beliau bukan orang asli sini."

Bapak Tua menyempatkan meminum teh manis di hadapannya, kemudian melanjutkan lagi.

"Belakangan aku baru tahu, 3 hari terakhir bapak itu selalu makan di sini. Di meja yang terdekat dengan tukang masak. Dia sering bercerita tentang anak lelakinya yang kabur entah kemana. Kabur gara-gara berselisih pendapat urusan melanjutkan sekolah di luar pulau. Bapak itu sangat menyesal tidak bisa membahagiakan anak laki-laki satu-satunya itu hingga masa tuanya. Makanya, saat dia melihat aku yang termenung di ujung tangga, dia selalu berkata kepada tukang masak, "Andai aku bisa membantu anak itu tersenyum kembali, mungkin orang tuanya akan sedikit bahagia." Kalimat itu terucap terus setiap hari, Dek, hingga dia memutuskan membelikanku sebungkus nasi."

Aku hanya bisa terdiam mendengarkan serentetan kisah sejarah ini. Ada ayah yang tak sempat membahagiakan anaknya. Begitu juga ada anak yang tak sempat membahagiakan ayah atau ibunya. Ada juga orang yang tak sempat mengucapkan terima kasih seperti kisah Bapak Tua ini.

"Dek, makanya aku bertekad sejak saat itu untuk banyak berbuat kebaikan sebagai ganti ucapan terima kasihku pada beliau. Juga sebagai pengusir kegalauanku. Saat kamu bisa berbuat baik ke orang lain, percayalah hatimu akan diliputi sedikit kebahagiaan. Bayangkan jika kau berbuat banyak kebaikan? Berapa banyak bahagia yang bisa kamu hadirkan sebagai ganti kesedihanmu?", lanjut Bapak Tua itu memecah keseriusanku menyimpulkan makna kisah ini.

"Kalau pun kau tak percaya, Dek. Setidaknya percayalah bahwa makanan di sini memang enak dan membuat hati lega. Itu saja sudah cukup. Kau sudah berbuat baik dengan tersenyum saat membayar masakan mereka.", kata Bapak itu menutup kisahnya.

Aku sekali lagi hanya mengangguk. Hanyut akan pemikiran-pemikiran baru yang hadir setelah ku dengar kisah ini.

"Terima kasih, Pak. Terima kasih."

"Sama-sama, Dek. Bapak hanya cerita saja. Tidak lebih. Kalau begitu, bapak ijin undur diri dulu. Percayalah bukan kebetulan kalau bapak melihat kamu termenung tadi. Sama halnya seperti Bapak Tua itu dulu melihat bapak. Tuhan selalu memberikan jalan bagi orang yang tidak berputus asa. Kalau ada jodohnya, suatu waktu kita berjumpa lagi. Semoga mukamu sudah tidak sekusut tadi, Dek.", Bapak Tua itu berlalu sambil menepuk bahuku dan menebar senyum yang sangat bahagia. Ia berjalan menuju kasir lalu berlalu meninggalkan rumah makan ini. 

Tidak terasa 20 tahun sejak pertemuan itu aku sudah tak pernah bertemu dengan Bapak Tua itu. Tapi, aku masih sering mampir ke rumah makan ini sesekali walaupun aku sudah tidak tinggal di komplek sekitar sini. Sekedar mengobati rindu akan menu sederhana yang melegakan hati ini. Sekarang tampaknya giliranku berkisah. Tampak di ujung sana pemuda dengan tampang kusutku yang dulu.

23-25 Februari 2015
D. Sudagung