Lebaran Idul Adha pertama tanpa kakek dan nenek. Di situ
ia mulai memikirkan sesuatu hal yang sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun
terakhir setelah meninggalnya Sang Kakek. Tapi, baru saat itu tepat 5 tahun
lalu ia memikirkan hal itu. Andi memiliki seorang paman tertua yang semenjak
Sang Kakek meninggal dunia ditunjuk memimpin takbiran selepas Idul Adha di
rumah keluarga besarnya. Suatu hal yang pasti terjadi itu adalah Sang Paman
tidak pernah lancar memimpin takbir. Bukan karena ia tidak hafal atau tidak
fasih, tapi karena ia selalu terisak sambil menangis ketika bertakbir. Andi dan
sepupu-sepupu sebaya dan yang lebih muda jelas tidak paham akan hal itu. Bahkan
seorang adik sepupu pernah iseng sekedar bertanya polos, “Paman kok cengeng,
Ma?”
Andi muda belum paham dengan apa yang terjadi saat itu.
Tahun berikutnya, mereka kedatangan adik Paman yang bertugas di luar kota.
Sebuah kunjungan yang jarang terjadi mengingat letak kota tempatnya bertugas
yang sangat jauh. 3 hari 3 malam perjalanan darat dan disambung dengan semalam
menggunakan perahu. Sebuah kehormatan untuk memimpin takbiran pun dilimpahkan
kepada beliau. Tanpa diduga-duga. Paman yang satu ini pun juga melakukan hal
yang sama, terisak setiap kalimat takbir ia kumandangkan. Lagi-lagi hal ini
terjadi di momen yang sama. Otak Andi mulai bertanya-tanya. Tapi, ia menyimpan
pertanyaan itu dalam hati sambil terus mengikuti takbiran dan tentunya
makan-makan setelahnya.
3 tahun kemudian hal itu masih terus terjadi. Pemandangan
yang sama hingga Andi memberanikan diri menanyakan pada ibunya yang merupakan
adik dari Si Paman. “Ma, paman kenapa selalu menangis kalau takbiran?”
Dengan bijak Si Ibu menjawab, “Dulu kakekmu semasa
hidupnya yang memimpin takbiran setiap lebaran sejak mama kecil.”
Sebuah jawaban sederhana yang kemudian membuat Andi
berpikir jauh ke belakang. Sosok ayah yang sangat melekat di ingatan Sang Anak.
Itu kesimpulan sementara Andi. Betapa Sang Anak merindukan sosok ayah. Jawaban
ini juga diperkuat oleh kalimat setelah Si Paman memimpin doa, “Abang ingat bapak
duduk di sini memimpin takbir.” Nuansa haru pun terllihat di setiap wajah paman
dan bibi Andi, bahkan di wajah sepupu-sepupu Andi yang mungkin ada beberapa
yang tidak sempat bertemu Si Kakek.
Dua tahun berjalan, Si Paman dipanggil menemui ayah dan ibunya.
Kejadian yang cepat dan tidak diduga-duga oleh keluarga besar Andi. Bahkan
tetangga sekalipun yang pada waktu salat subuh berjamaah masih berjumpa dan
berbincang-bincang dengan beliau. Kuasa Tuhan tiada berbatas, tiada yang bisa
menyangkal datangnya maut. Sebuah perpisahan bagi keluarga besar Andi, tapi
perjumpaan lagi bagi Sang Anak dengan orang tuanya.
Tahun ini karena paman pertama sudah meninggal, kemudian paman
kedua berada di kotanya. Maka, adalah giliran paman ketiga yang memimpin
takbiran. Hey, dan ternyata kejadian itu pun terjadi lagi. Sambil menahan
tangis dan haru, gema takbir berkumandang di ruang tengah rumah kakek Andi.
Setelah takbiran Si Paman berujar, “Aku ingat Abang yang memimpin takbir tahun
lalu di sini.” Suasana haru pun menyelimuti keluarga besar Andi saat itu.
Begitu dalam arti takbiran bagi mereka. Begitu dalam pula arti keluarga bagi
mereka. Sekarang Andi tidak pada posisi memberikan kesimpulan sementara. Ia
sudah pada kesimpulan akhirnya. Betapa mereka begitu mencintai keluarganya.
Mungkin umur tidak bisa ditebak, mungkin juga perpisahan
tidak bisa ditolak, tapi cinta itu akan selalu ada bersama mereka yang memeluk
erat cinta pada keluarganya. Ketika kita masih sempat untuk mencintai orang tua
kita, saudara kita, kakek dan nenek kita, maka sayangilah mereka dan berikan
yang terbaik bagi mereka. Tunjukkan pada mereka selagi kalian dapat bertatap
muka bahwa kalian mencintai mereka dan ingin membahagiakan mereka. Sederhana
kawan. Tidak lebih sulit dari sekedar memberi perhatian, keluarga tidak akan
meminta banyak. Mereka hanya ingin yang terbaik buat kita, itulah kebahagiaan
mereka. Bahagiakanlah mereka selagi kalian masih dapat menemuinya setiap hari.
Oleh D. Sudagung
18 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment