Pertemuan pertamaku adalah saat ada acara malam
keakraban di kampus tetangga. Aku cukup beruntung bisa hadir ke acara yang
begitu romantis. Biasanya malam keakraban identik dengan persembahan musik tiap
angkatan. Yang kadang kala tidak sejalan dengan tema keakraban karena
masing-masing penampil memiliki ego akan angkatannya. Begitulah image makrab
dalam benakku.
Kampusku memang cukup modern jika aku mengasosikan
modern dengan kehidupan orang modern jaman sekarang. Saat orang-orang yang
mengaku modern hidup dalam dunianya sendiri. Sibuk dengan gadget, urusan
kantornya, sampai abai dengan orang-orang di sekitarnya. Jika itu definisi
modern yang aku anut, ya mungkin makrab di kampusku tergolong modern. Tiap-tiap
angkatan hanya akan ramai saat temannya yang tampil. Saat orang lain yang
tampil, mereka atau boleh kubilang kami hanya sibuk dengan lingkaran kami.
Tapi, malam ini begitu berbeda. Ini adalah makrab yang
berbeda, jauh berbeda dari kesan modern yang ku anut. Kalau kami menerapkan
modernitas, maka makrab kali ini boleh ku bilang tradisional. Bagaimana tidak.
Liatlah betapa aku tidak bisa membedakan mana yang tua dan muda. Mereka membaur
jadi satu di satu ruangan besar. Deretan makanan yang tersaji di pinggir
ruangan. Meja-meja makan bundar di tengah ruangan. Serta beberapa space kosong
di depan meja makan. Dan juga sebuah panggung. Apa yang kulihat sekarang
seperti jamuan makanan kenegaraan.
Lihatlah meja yang satu. Aku duga itu adalah seorang
guru besar. Karena perawakannya yang sudah sepuh, berambut putih, mimik wajah
yang bijak. Sementara di sebelahnya ada yang tampak muda sekali, dugaanku
mahasiswa baru, ada juga dosen muda, dan beberapa mahasiswa lainnya duduk
semeja. Begitu pun meja-meja lain di dalam ruangan ini.
“Oi, bro. Ayo duduk. Matamu biasa aja kalau liat yang
bening.”, temanku mengusik pengamatanku sambil mengibaskan tangan ke depan
mataku.
“Asem kau, boi. Aku bukan lagi jelalatan. Aku gak lagi
cari yang bening. Tapi ini beda, boi. Beda.”
“Kan aku udah bilang, kau gak akan rugi datang ke
sini. Untungnya temanku Si Is sakit dan gak bisa dateng. Jadi undangannya bisa
kau pakai.”
“Yayaya.”, aku masih keheranan memperhatikan jamuan
“tradisional” ini.
“Prof, ini teman saya namanya Jati.”, temanku
memperkenalkanku pada seorang dosennya yang sudah lebih dahulu duduk di meja
yang akan kami tempati.
“Halo, salam kenal. Panggil saja Pak Yusuf. Kamu juga
satu, kan sudah saya bilang kalau di luar kampus tidak usah pakai prof-prof
segala. Kita hidup di negara bebas. Prof bagi saya hanya sekedar pemberian dan
amanah dari civitas. Mari-mari, Dek. Silahkan duduk. Saya kira saya belum
pernah melihatmu. Mahasiswa semester berapa?”
“Saya dari fakultas kehutanan, Prof. Eh, Pak.”, aku
agak grogi ngobrol dengan guru besar. Secara, kepangkatan di kampusku cukup
dijaga dengan baik. Bahkan sangat dijaga dengan baik. Jangan harap kau bisa
berbincang sedekat ini dengan mahaguru.
“Oh, mahasiswa tetangga. Hahaha. Maaf-maaf saya tidak
tahu. Kenal dimana kamu, Ga?”
“Teman kostan, Pak. Berhubung Si Is sakit. Jadi saya
ajak aja dia. Daripada malam mingguan bengong ngeliatin tv, ngobrol dengan ikan
peliharaannya, atau dia maen gitar dan nyanyi-nyanyi galau. Hahaha.”, temanku
Yoga dengan semangat membuka segala kartu rahasiaku.
Ya, begitulah hingga akhirnya aku bisa hadir di acara
“tradisional” yang buatku sangat kental dengan nuansa keakraban. Bukan hanya
itu alasan acara ini begitu spesial bagiku. Ada hal lain yang membuatnya spesial.
Dia.
Dia ada di sana di ujung meja sana. Tampil dengan
balutan gaun indah yang diulurkan panjang di bawah lutut. Rambut indahnya
terurai dengan begitu anggunnya. Perempuan ini beda. Jelas terlihat pesona
kecantikannya.
Entah apa aku saja yang terpana atau dia termasuk
primadona di kampus temanku. Kesan pertama begitu mempesona. Mungkin inilah
maksud dari mata turun ke hati.
Dari sejak awal mulai acara sampai pertengahan aku
sering mencuri pandang ke arahnya. Menikmati senyumannya yang manis. Sesekali aku
salah tingkah saat kebetulan mata kami beradu pandang.
“Kamu kenapa lagi, bro? Kasak kusuk aja dari tadi.”
“Cantik, boi.”
“Iya aku tau pembawa acaranya emang cantik. Bunga
kembang desa itu di sini.”
“Bukan itu. Tapi yang di sana. Yang pake gaun warna merah.
Duduk di deretan belakang persis di samping hiasan bunga.
“Oh, itu. Bagus juga seleramu, bro. Aku kira kau hanya
selera dengan sejenis ikan cupang atau ikan mas. Hahaha.”
“Asem tenan. Kau kira aku ini apa? Putra duyung? Aku
masih suka perempuan, boi. Hanya saja sampai hari ini belum ada yang
menggetarkan hati seperti Dia.”
“Lah, mulai lagi ini pujangga mengeluarkan kata-kata
puitis. Mau ku kenalkan?”
“Nanti dulu, boi. Aku harus tampil dulu. Boi, boleh
aku menyumbang sebuah lagu?”
“Serius kamu, bro?”
“Ya, serius. Sudah jadi kebiasaan di keluarga kami
menyanyikan lagu untuk seorang yang dipuja.”, aku memasang wajah serius saat
melontarkan candaan soal tradisi keluarga itu.
“Kamu kira aku percaya bualanmu.”
“Bagus kalau kau cerdas. Tapi, aku serius ingin
menyumbangkan lagu. Temani aku, Boi. Kita akustikan berdua bikin surprise
performance aja. Gimana?”
“Sebentar aku coba nego ke panitia.”, Yoga beranjak
pergi menyampaikan usulku ke panitia.
Entah jurus apa yang digunakan, tapi aku tahu temanku
ini jarang sekali gagal saat berdiplomasi. Sudah tabiatnya tidak pernah mau
kalah dan penuh siasat. Dari jauh Yoga memberikan tanda jempol. Itu dia
tandanya. Baiklah, saatnya mengahangatkan suasana. Kalian akan melihat duet
Ariel Noah dan Cakra Khan di atas panggung.
Kami naik ke panggung dan memperkenalkan diri dengan
nama “Yoga and friend”.
“Baiklah. Sebenarnya tidak ada rencana kami akan
tampil di sini. Namun, karena ada request special dari temanku ini. Akhirnya
kami ada di sini untuk menghibur kalian semua.”, seperti vokalis band terkenal
temanku memberikan intro yang meyakinkan untuk penampilan kami.
Temanku memang terkenal akan suara merdunya layaknya
Cakra Khan. Keriuhan ruangan menjadi bukti shahih popularitasnya.
Aku? Bukannya mau sombong, tapi aku juga primadona di
kampus karena suara serak-serak basah ala Ariel Noah. Mungkin mereka saja yang
belum tahu, mari kita hangatkan suasana, kawan.
“Kami akan membawakan sebuah lagu yang cukup klasik.
Lagu era 90an dari Padi. Mungkin kamu mau menambahkan, bro?”, si Yoga
mempersilahkan aku menyampaikan sepatah dua patah kata.
“Lagu ini sangat spesial. Lagu yang begitu dalam
liriknya. Untuk kalian semua. Untuk kamu yang duduk di sana.”, aku mengakhiri
prologku sambil menunjuk ke arah Dia.
Petikan gitar kami memecah keheninganan ruangan.
Audiens begitu terhanyut dengan alunan suara kami. Begitu berkesannya sampai
mereka juga ikut menyanyi bersama kami.
“… Karena dia begitu indah.” aku menutup lagu itu
sambil membuat pose jari menunjuk ke arahnya.
Norak? Biarkanlah. Toh, kesempatan tidak datang dua
kali. Mumpung ada waktu dan kesempatan, aku keluarkan aja jurus merayu yang
sempat diajarkan Kakakku dulu. Syukur-syukur dia terpesona, kalau pun tidak toh
aku tidak perlu malu karena kita belum saling kenal.
“Setidaknya aku tidak penasaran untuk mengucapkan dia
begitu indah, Boi.”, ucapku saat temanku menanyakan aksi gilaku malam ini.
“Aku salut, bro, dengan keberanianmu. Walaupun aku
jago nyanyi tapi aku belum tentu seberani itu ke orang yang ku taksir. Gokil!”
Malam ini aku tidur nyenyak. Bukan hanya karena perut
kenyang dan acaranya sangat bagus. Tapi, karena aku ingin segera bertemu Nona
Cantik di dalam mimpi. Senyumannya itu. Masih terbayang-bayang jelas dalam
khayalanku. Aku tertidur membayangkan iya tersenyum menyanyikan lagu tidur
untukku.
“Wahai Tuhan, ciptaan-Mu begitu indah. Kalau boleh
izinkan aku mencintainya dengan sempurna.”, sebaris doa yang ku ucap sebelum
tidur.
——————-
Pernahkah kalian merasa amat bahagia? Sehingga kau
sering lupa waktu, lupa hari, kalian begitu larut dengan rasa bahagia. Ya,
itulah jatuh hati. Saat kalian sedang jatuh hati, semua keindahan akan selalu
hadir dalam tiap langkahmu.
Inilah yang sekarang aku rasakan. Tiga bulan dari
perjumpaan itu kami memutuskan berpacaran. Proses pendekatan yang cukup
singkat, kalau kalian mengatakan tiga bulan itu singkat, tidak menyurutkan
tekadku merajut kasih dengan Dia.
Waktu yang kami lalui bersama. Aku selalu bersemangat
tiap kali akan bertemu dengannya.
“Jarang ku lihat kamu mandi sore, Bro. Ternyata jatuh
hati bisa merubah orang ya? Hahahaha.”, si Yoga selalu mengejekku yang mulai
rajin mandi sore sejak berpacaran.
Benar kata Yoga. Jatuh hati bisa merubah orang.
Lihatlah aku yang sekarang lebih rajin bangun pagi, seminggu dua kali kami
jogging bersama, mandi sore tentunya, dan hal-hal positif lainnya yang muncul
setelah kami berpecaran. Bukan hanya itu, bahkan hal unik seperti menghilangkan
ketakutanku memakan petai, jengkol, dan sambel. Inilah jatuh hati, kawan.
Kalian akan melakukan apa pun “in the name of love.”
Tapi, romansa itu hanya bertahan tiga bulan. Singkat,
persis seperti masa pendekatan yang kami lakukan. Tiga bulan untuk sebuah kisah
berumur tiga bulan.
Kami berdebat panjang tentang keputusannya mengakhiri
hubungan kami. Aku dengan bermacam argumentasi dan rayuan mencoba menyelamatkan
kapal yang diterjang badai ini.
“Kita sudah tidak bisa lanjut lagi. Jarak ini
membuatku takut, Ja. Takut kehilangan kamu dengan cara yang tidak baik. Kamu
terlalu baik. Aku takut selama KKN kamu banyak didekati wanita lain. Belum lagi
aku harus ikut orang tua ke luar negeri. Aku hanya tahu LDR tidak selamanya
berhasil. Dan banyak temanku yang gagal untuk itu. Kehadiran itu berarti, dan
kalau ada yang dekat, kenapa kamu mencari aku yang jauh? Aku takut hanya
memberikan harapan palsu selama kita jauh. Aku takut menjadi orang jahat
untukmu suatu saat nanti. Bagaimana kalau jodohmu ada di sini. Di Indonesia, di
Bandung? Dan bukan aku? Bukannya kita hanya akan mendikte Tuhan? Bukannya kita
hanya saling menutup pintu jodoh yang seharusnya terbuka untuk kita?”, itulah
kalimat-kalimatnya yang berhasil meruntuhkan logika sayangku. Dia sangat
bersungguh-sungguh kali ini. Ini bukan sekedar kalimat wanita yang sedang
datang bulan.
Habis sudah bangunan hati yang ku jaga baik-baik. Hancur
sudah karena argumentasi takdir. Siapa yang bisa merubah takdir? Manusia mana
boleh merusak jalan Tuhan atas rejeki, jodoh, dan kematian. Karena aku tahu
persis alasannya adalah itu dan aku yakin dia sudah teguh dengan pendiriannya.
Akhirnya aku pun merelakan.
“Ijinkan aku mengantarkanmu pulang untuk yang terakhir
kali.”, hanya itu jawabanku di akhir perbincangan kami.
Beberapa hari aku hanya murung, merenung, lebih banyak
diam setiap kembali ke kosan. Kehidupanku menjadi sangat datar. Aku bangun,
meratap, melihat fotonya, mandi, makan, ke kampus, pulang sore, langsung tidur.
Lalu, siklus itu terulang selama 7 hari ke depan.
Pada malam kedelapan, Yoga mendobrak kamarku saat aku
tengah lelap tertidur. Atau boleh ku bilang aku memaksa mataku untuk tidur. Karena
hanya dengan tidur aku berhenti memikirkan Dia.
“Ini aku pinjamkan kau buku, bro. Bacalah dulu
sebentar. Semoga bisa mengobati kegalauanmu. Atau setidaknya mengalihkanmu dari
kegiatan sia-sia selama beberapa hari ini.”, ucap Yoga sambil meletakkan sebuah
buku novel di meja belajarku.
Ia melanjutkan, “Ayolah, bro. Kamu lebih kuat dari
itu. Aku tahu itu. Aku masih ingat hal yang membuatku segan dan hormat padamu.
Pertama kali kamu ku tanya kenapa memilih kehutanan, ingat kan jawabanmu apa.
Kamu ingin menyelamatkan hutan Indonesia. Dulu aku kira kau sesuai namamu,
Jati. Kokoh dan tegar. Tapi, sekarang aku kecewa. Jangankan mau menyelamatkan
hutan di negeri ini. Menyelamatkan hidupmu, menyembuhkan hatimu saja aku rasa
kamu yang sekarang belum mampu. Kalau kamu butuh sesuatu atau mau cerita
sesuatu, aku selalu siap mendengar, kawan. Kamu harus tahu, bro. Kamu lebih
dari sekedar pohon jati yang lapuk dimakan rayap. Rayap yang namanya Cinta.”
Ya, namanya memang Cinta. Dia bernama Cinta. Seorang
wanita yang dengan hadirnya menghidupkan hatiku dan dengan kepergiannya membawa
semua hati itu pergi.
Itulah sebabnya aku tidak mau menyebutkan namanya
kepada kalian. Namanya begitu lekat dalam ingatan. Setiap ku dengar atau ku
baca kata “cinta”, alam bawah sadarku langsung menghadirkan wajah dan
senyumannya di benakku. Makanya aku menamainya dengan Dia. Karena kata “cinta”
begitu penuh kesan mendalam tentangnya.
Setelah Yoga pergi meninggalkan kamar. Aku mencoba
bangkit dan meraih buku yang diletakkannya di meja. “Pemintal Mimpi”, begitulah
judul buku itu. Ku buka 1 halaman secara acak dan ku temui sebuah halaman yang
menarik.
“Beruntunglah kalian yang hanya pernah mencintai 1
orang. Karena setiap cinta memiliki cerita dan tiap cerita pasti mempunyai
kenangan. Dan kenangan akan selalu di hati. Bayangkan berapa banyak kenangan
yang kau simpan di hati yang kecil ini jika banyak cinta yang sempat datang di
hati?
Karenanya hiduplah dengan semua kenangan yang hidup di
hati. Berbahagialah orang yang bisa merasakan kenangan. Karena kenangan itu
menandakan hati yang masih hidup dan pernah mencintai dengan tulus.”
Dalam sekali tulisan orang ini. Apakah ini jawaban
pertanyaan gundahku? Apakah Tuhan masih hendak memberikanku jalan yang lebih
baik?
Seketika air mata haru itu menetes tanpa bisa ku
bendung. Pertama, karena aku begitu malu dengan kegalauanku yang menghabiskan
waktu dengan sia-sia. Kedua, karena Tuhan begitu baik merangkulku dengan
perantara sahabat dan buku ini. Ketiga, karena hati ini tidak bisa bohong kalau
rasa cinta ini ada untuk Dia dan aku merindukannya.
Sejak malam ini aku membuat keputusan yang mungkin
merubah jalan takdirku. Aku memutuskan bangkit dari hidup penuh kegalauan. Aku
akan meletakkan kenangan itu di hati. Biarlah Dia hidup dalam kenangan, biarkan
Cinta selalu ada di dalam kenangan. Hiduplah Dia dalam kenangan dengan berjuta
cerita yang dibungkus rapat bersama rasa cinta, ku simpan erat Cinta di dalam
hati. Karena aku telah mencintai satu hati, biarlah sementara hati ini terisi
kenangan akan dirinya.
Selesai
11 dan 12 Juni 2015
D. Sudagung
No comments:
Post a Comment