Kisah ini
sebenarnya sudah lama ingin ku ceritakan. Tapi, kesibukanku cukup menyita waktu
sehingga cerita ini hanya tersimpan rapat dalam memori. Setelah cukup lama
tidak menikmati masakan Ibu itu, rasa rindu akan makanannya yang mendorong
semangatku bercerita.
Perjumpaan
kami terjadi di satu hari pada pertengahan tahun. Aku memang sudah tahu ada
warung makan di ujung jalan itu. Tempatnya tidak terlalu besar. Hanya satu
bagian dari sebuah rumah lama. Tidak tampak papan nama atau spanduk, hanya ada
tulisan “Warung Makan” di kaca depan etalase makanannya.
Dulu aku
cukup heran warung makan ini selalu ramai, padahal secara tampilan luar hanya
biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Dulu aku pikir mungkin karena murah.
Kebetulan aku baru tinggal di daerah sini, tadinya aku menyewa kamar di pusat
kota. Namun, karena kondisi keuanganku yang tidak stabil saat itu membuatku
harus merelakan “comfort zone”-ku dan pindah ke daerah sini.
Jodoh
akhirnya mempertemukan kami. Aku akhirnya singgah ke warung makan itu setelah 3
bulan tinggal di daerah baru ini. Itu juga atas ajakan teman se-kontrakan.
“Aku nemu
tempat makan baru, bro. Enak dan murah, yang paling mantapnya ambil nasi
sendiri. Kita bangetlah. Hahahaha.”
Temanku yang
satu ini memang tukang makan. Sebelas dua belas lah kami ini. “Perut kuli”
kalau kata teman satu tongkrongan. Temanku ini bahkan bisa menghabiskan 10
gorengan sendiri. Atau dia makan 1 lauk dengan 3 piring nasi. Sebuah rekor yang
sampai saat ini belum sanggup ku pecahkan. Bravo!
Tanpa
bertanya aku ikut saja ajakannya. Berhubung di kontrakan juga lagi pada libur
panjang anak-anaknya dan hanya menyisakan kami, ya sudah aku iyakan ajakannya.
Ternyata warung makan itu tujuan kami.
“Bro, makan
yang kenyang. Aku yang traktir. Tadi dapat bonus dari bos.”
“Siap, 86!”
Inilah
temanku ini. Tidak pelit untuk hal-hal berbau rejeki. Kalau dia dapat bonus
atau rejeki lebih dia selalu saja traktiran. Walaupun hanya sekotak martabak
manis, sebungkus gorengan, atau makanan lainnya. Dia tidak pernah lupa dengan
teman yang lain. Mungkin karena itu dia banyak teman. Hampir setiap weekend
selalu saja ada temannya entah dari mana-mana datang. Atau malam-malam di hari
kerja juga biasanya ada yang datang.
Saat dulu ku
tanya, dia hanya bilang, “Rejeki kita dari Tuhan, bro. Kenapa pelit-pelit?
Kalau nanti Tuhan pelit ke kita, runyam urusannya. Lagian, boleh jadi sekarang
aku yang bagi-bagi rejeki. Siapa tau besok lusa, kalian-kalian yang bantu-bantu
aku. Guruku juga pernah pesan, boleh jadi pada rejeki kita sekarang itu ada
rejekinya orang lain.”
Mengikuti
petunjuk dari temanku ini, aku pun mengambil posisi siap tancap mengambil nasi
dan teman-temanya. Yang paling berkesan pada pertemuan pertama itu adalah ikan
mas goreng dan sambal koreknya. Luar biasa. Pas rasa ikannya dan pas juga
pedasnya. Kalau saja aku tidak ingat uang di dompet, mungkin sudah aku makan
2-3 ekor ikan lagi.
Ketika
membayar aku sengaja mendekati temanku ini karena ingin tahu harga di sini
berapa.
“Berapa,
Bu?”
“Masakannya enak, Dek?”
“Masakannya enak, Dek?”
Aku kaget
karena justru ibu yang balik bertanya. Mungkin ini salah satu bentuk sharing
opini antara pemasak dan konsumen.
“Enak, Bu.
Saya ketagihan dengan ikan mas dan sambelnya. Kalo kata orang, maknyos!”, aku
yang menjawab dengan sigap.
“Syukur alhamdulillah kalau pada suka. Ibu seneng kalau pada lahap makannya. Adek-adek ini kuliah apa kerja?”
“Kalau saya kerja, Bu. Kalau teman saya ini masih kuliah, Bu.”, si bro yang nyahut.
“Semoga jadi makanannya manfaat buat nambah energi kerja dan kuliahnya ya dek. Oya, semuanya 25 ribu.”
“Syukur alhamdulillah kalau pada suka. Ibu seneng kalau pada lahap makannya. Adek-adek ini kuliah apa kerja?”
“Kalau saya kerja, Bu. Kalau teman saya ini masih kuliah, Bu.”, si bro yang nyahut.
“Semoga jadi makanannya manfaat buat nambah energi kerja dan kuliahnya ya dek. Oya, semuanya 25 ribu.”
Aku cukup
kaget saat mendengar harganya. Padahal kami juga pesan es teh manis. Belum lagi
lauk dan aksesorisnya. Dan lagi makanannya enak. Aku masih tidak habis pikir
masih ada yang jual makanan enak dan semurah ini di kota ini.
“Terima
kasih, Bu.”
“Sama-sama, Dek.”
“Sama-sama, Dek.”
Di
perjalanan pulang aku masih bertanya-tanya keheranan ke temanku ini.
“Koq bisa
murah, bro? Enak lagi.”
“Ibu itu gak ngambil untung banyak, bro. Waktu itu aku sempat iseng-iseng nanya. Ibunya cuma jawab dengan santai sambil tersenyum. Katanya yang penting pelanggan puas.”
“Ibu itu gak ngambil untung banyak, bro. Waktu itu aku sempat iseng-iseng nanya. Ibunya cuma jawab dengan santai sambil tersenyum. Katanya yang penting pelanggan puas.”
Keesokan
harinya dan hari-hari setelahnya aku selalu menyempatkan untuk mampir ke warung
makan si Ibu. Hitung-hitung mengirit dan tetap saja perut puas. Satu hal yang
selalu berkesan. Si Ibu selalu tersenyum melayani makan pelanggan-pelanggannya.
Pada suatu hari obrolan pun terjadi antara kami. Aku bukan orang yang bisa
berbasa-basi memulai pembicaraan. Jadi, ya sudah bisa ditebak ibu itu yang
memulai pembicaraan.
“Kerja
dimana, Dek?"
"Oh,
saya masih kuliah, Bu.” ku jawab sambil tersenyum malu.
Mungkin Ibu
itu mengira umurku sudah cukup tua untuk seorang mahasiswa, makanya
pertanyaannya adalah pekerjaan. Seingatku, tempo hari sudah pernah ku jawab
pertanyaan serupa.
“Di sini
tinggal dimana? Koq baru-baru kelihatan di sekitar sini."
"Saya
baru sebulan Bu ngekost di rumah Pak Gia. Tadinya kampus saya tidak di dekat
sini, Bu. Berhubung ada renovasi total kampus lama jadinya dialihkan sementara
ke kampus yang di dekat sini, Bu."
"Pantesan
Ibu baru lihat."
"Ngomong-ngomong
udah lama Bu jualan?"
"Alhamdulillah,
Dek. Setengah umur Ibu sudah jualan di sini. Dulu Ibu saya yang jualan di sini.
Lalu, sekarang saya yang lanjutkan. Dari kecil Ibu udah bantu-bantu masak di
sini. Ya beginilah sekolahan saya, Dek."
Ibu itu
ternyata tidak menyelesaikan bangku sekolah. Dia hanya lulusan "sekolah
memasak” di bawah pengajaran Ibunya.
“Walaupun
Ibu tidak lulus sekolah tapi Ibu bahagia dengan apa yang Ibu lakukan sekarang,
Dek. Melihat anak-anak sekolah yang makan dengan lahap di sini dan pulang
tersenyum adalah kebahagiaan tersendiri buat Ibu."
Aku tidak
menyangka sesederhana itu konsep bahagia versi Si Ibu. Aku? Bahagia itu dalam
benakku adalah punya rumah besar, mobil, istri yang cantik, uang banyak,
anak-anak yang pintar, dan hal-hal berbau materi sejenisnya. Sementara Ibu ini,
hanya dari makanan yang dimasak dia bisa merasakan bahagia. Aku hanya diam saja
setelahnya menikmati makanan. Aku diam bukan tidak ingin melanjutkan obrolan,
tapi aku malu. Ada konsep bahagia yang lebih tulus yang ku pelajari hari
ini.
"Dulu
orang tua saya pesan.”, ibu itu melanjutkan ceritanya sambil duduk di kursi
tempat dia duduk sekarang, “Mungkin Bapak dan Ibu tidak bisa menyekolahkan kamu
tinggi-tinggi, tapi Bapak dan Ibu akan selalu berusaha yang terbaik untuk
membahagiakan kamu. Walaupun itu mungkin hanya dengan mengajarimu
memasak."
Ibu itu
masih melanjutkan ceritanya, "Ternyata bukan hanya memasak saja yang
mereka ajarkan. Tapi, pengalaman selama membantu mereka dulu itu begitu
berkesan, Dek. Pernah suatu waktu ada Ibu-ibu muda membawa anaknya selepas
sekolah untuk makan siang di sini. Melihat mereka tersenyum senang, sambil
berbincang-bincang saat makan. Di situ Ibu merasakan bahagia. Dan banyak lagi
hal-hal besar yang Ibu dapatkan di sini."
Aku menyimak
setiap cerita yang disampaikan oleh Si Ibu dengan seksama. Obrolan pun terus
saja mengalir karena berhubung aku menyukai sejarah, aku suka dengan hal-hal
yang antik, aku pun menanyakan banyak hal tentang kisah-kisah warung ini dulu.
Bukan tanpa sebab aku membuka topik tersebut. Karena banyak foto yang
terpampang di dinging rumah makan ini. Foto itu lebih banyak foto tua.
Dari obrolan
Ibu itulah aku tahu bahwa dulu pelanggan mereka sudah pada jadi orang. Mantan
walikota, gubernur, bahkan aku sangat mengenali 1 orang di foto yang terpampang
di situ yang tidak lain adalah salah seorang menteri. Mereka-mereka itu dulunya
mahasiswa yang pernah dan biasa makan di sini. Uniknya lagi, tidak jarang
mereka-mereka itu datang kembali ke sini.
"Kalau
dulu waktu Pak Menteri ke sini semua di gang ini jadi heboh. Ibu sih biasa aja,
karena toh udah kenal dari dulu sejak sebelum jadi pejabat. Beliau ke sini
mencari orang tua saya, karena dulu waktu beliau masih kuliah Bapak dan Ibu
saya masih jadi kokinya. Waktu itu beliau datang kebetulan sudah Ibu yang
pegang rumah makan ini. Tapi, beliau tidak sungkan untuk ngobrol-ngobrol.
Cerita-cerita nostalgia jaman dulu saat beliau masih tinggal di sekitar sini.
Kesan beliau adalah makanan di sini tidak berubah, persis sama dengan dulu.
Alhamdulillah Ibu tidak mencoreng warisan orang tua atas rumah makan
ini."
Banyak lagi
cerita-cerita yang disampaikan si Ibu. Aku bahkan sampai betah mendengarkan
kisah-kisah masa lalu seperti itu. Sebuah ketulusan dan kebaikan hati yang
selalu terpancar dari setiap kisah si Ibu merupakan daya tarik tersendiri dari
warung makan ini. Selain tentunya, makanan enak yang disajikan. Sebuah kisah
yang sudah lama ingin ku ceritakan. Kisah si Ibu yang tulus memasak sampai
akhir hayatnya.
Kisah si Ibu
juga mengingatkanku pada kisah nenek penjual kue yang dulu sering berjualan
keliling komplek rumah. Sewaktu kecil nenek itu selalu datang tepat waktu,
pukul 3, di rumahku. Selalu datang menjualkan kue jajanan pasar. Buatku nenek
itu adalah pasarnya, kuenya lengkap sekali. Bakwan, caikue, ketupat isi ebi,
risoles, korket, bahkan semur jengkol pun beliau jual. Seorang nenek tua yang
datang dengan keranjang kuenya, berjalan kaki menyusuri kota. Beliau selalu
datang pukul 3 dan menumpang sholat ashar. Sering kali beliau datang saat aku
sedang tidur sore. Dengan lemah lembut sering beliau membangunkan aku tidur.
“Mas,
bangun. Itu ada caikue nenek bawa. Sholat ashar dulu, baru makan ya?”
Ajaibnya,
aku selalu terbangun setiap si Nenek mengucapkan kata-kata itu. Cukup lama aku
baru sadar bahwa si Nenek sebenarnya datang untuk membangunkanku supaya sholat
ashar. Beliau begitu tulus dan baik selama berjualan. Persis sama seperti Ibu
penjual makanan di dekat kostanku. Sampai usiaku ke-15 aku masih sering
berjumpa dengan beliau. Setelahnya beliau pergi selamanya meninggalkan kenangan
yang tersimpan rapat di hatiku.
Kini si Ibu
juga telah tiada. Baru sepekan ku tinggalkan kota itu aku mendapatkan kabar
dari teman kostanku bahwa si Ibu telah pergi untuk selamanya.
Selamat
jalan, Bu! Semoga kau tenang di sana. Insyallah pesan-pesan dan kisahmu akan
selalu ku ingat dan akan selalu diamalkan serta aku bagi ke orang-orang.
Bukankah amal yang tidak akan putus adalah ilmu yang bermanfaat? Setidaknya
ijinkan aku melanjutkan ilmu ikhlas yang Ibu ajarkan sebagai rasa terima
kasihku kepada Ibu. Semoga tenang di surga. Karena aku yakin, orang sebaik dan
seikhlas Ibu pasti masuk ke surga. Jika Ibu berjumpa dengan si Nenek, tolong
sampaikan salam rinduku padanya.
Selesai
31 Mei dan 8
Juni 2015
Oleh D.
Sudagung
No comments:
Post a Comment