Ini adalah kisah seorang teman lama. Kisah ini bermula
saat kami masih sama-sama berkuliah di salah satu daerah yang tidak terlalu
jauh dari ibukota. Seperti layaknya anak muda, temanku ini juga pernah
merasakan masa indah dan juga masa suram dalam percintaan. Tapi, kali ini
berbeda. Sampai 2 tahun perpisahan dengan kekasihnya, ia masih saja “gagal move
on”.
Dia sering bilang, “Aku mau mencoba peruntunganku, siapa
tau dia mendatangi tempat kenangan kami. Mungkin aku bisa bertemu dengannya, ah
bukan, mungkin aku boleh melihatnya.” Ini adalah kalimat andalannya setiap kali
dia hendak berangkat ke ibukota kalau mulai rindu.
Suatu waktu juga dia menjawab saat aku tanya, “Apa
susahnya sih kau telpon atau kau sms dia dan ajak ketemuan?”
Jawabannya selalu sama, “Tak elok, Boi. Apalah aku yang
hanya seorang mantan justru mau mengusik hidup barunya.”
Dan dia selalu tau apa jawabanku selanjutnya, “Kau pasti
akan bilang, ya sudah kenapa susah-susah tersesat di masa lalu padahal dia
sendiri sudah bahagia di sana. Tapi,
kawan. Ini bukan soal tersesat atau tidak. Bagiku mencintai cuma sekali dan itu
untuk dia.”
Habis sudah kata-kataku kalau beradu debat dengan
pujangga cinta yang satu ini. Untuk soal yang satu ini, CINTA, dia memang aku
akui lebih punya banyak pengalaman. Dari cerita-ceritanya di masa lampau, dia
menyebut dirinya “mantan playboy”. Oke aku akui kebenaran cerita-ceritanya,
tapi untuk yang kali ini sedikit aneh bagiku buat seorang “mantan playboy”.
Kenapa susah-susah menunggu sampai 2 tahun untuk seseorang yang sudah
jelas-jelas tidak lagi mencintainya? Bukannya gampang bagi playboy untuk pdkt
ke cewek-cewek dan tidak butuh waktu lama bisa dijadiin pacar? Ini
pertanyaan-pertanyaan besar atas kisah temanku ini.
Tanpa terasa sudah setahun sejak kelulusan dan kami sudah
lama tidak bertemu. Temanku memilih bekerja di luar pulau dengan alasan gaji
yang besar dan petualangan baru. Namun, bagiku alasannya jelas. “Melupakan
kenangan”. Sedangkan aku, memilih melanjutkan sekolah di ibukota. Kota yang penuh
kenangan, begitu julukan yang diberikan temanku setiap dia menyebut nama kota
itu. Di hari itu, kami biasa saling bertukar kabar via whatsapp. Di tengah
obrolan panjang tentang kisah-kisah kami di kota masing-masing, tiba-tiba
temanku meminta pertolongan.
“Bisakah kau temui dia hari ini? Ini aku kasih petunjuk
lokasi pertemuannya. Kalau kau sudah sampai di sana, bisa tolong kau telpon
aku?”
Temanku ini sangat jarang meminta tolong seserius ini.
Saat ku tanya alasannya dia hanya bilang, nanti akan aku ceritakan. Sebuah
permintaan dari teman baik tak boleh ditolak. Lokasinya cukup jauh dari pusat
kota, sekitar 13 km dari kontrakan-ku kalau berdasarkangoogle maps. Sampai di tempat, aku hanya bisa
terkejut. Banyak pertanyaan dan dugaan yang muncul di kepala. Tapi, langsung
saja aku telpon temanku seperti pesannya. Dia kemudian memberikan arahan
lanjutan lokasi persis pertemuan tersebut.
Sekarang aku berdiri di depan batu nisan seorang wanita.
Ya, aku tau betul siapa nama yang tertulis di situ. Dan yang lebih mengejutkan
lagi adalah tanggal kematiannya, persis 3 tahun lalu saat temanku memulai tahap
galau karena putus cinta.
“Boi, bisa tolong kau sampaikan kepadanya: Lama tidak berjumpa. Aku rasa
kau sudah bahagia di sana. Aku minta maaf. Minggu depan aku akan benar-benar
melanggar janjiku 3 tahun lalu. Janji untuk hanya selalu mencintaimu. Karena
besok aku akan menikah dengan seseorang yang ternyata juga aku cintai. Maaf
juga aku tidak sempat pamit saat akan pergi meninggalkan kotamu. Terima kasih, Boi.”, katanya diujung
telpon dengan suara parau. Aku tau dia sedang menahan tangis dan tetap ingin
terdengar tegar. Walaupun aku tau, ini bukan sekedar soal siapa yang kuat
menahan tangis. Atau soal siapa yang tegar menghadapi masalah. Tapi, ini soal
cinta yang setia.
Setelah selesai aku menyampaikan pesan dan juga
kusampaikan doa di tempat itu. Aku beranjak pergi dan sempat termenung di
parkiran motor. Ternyata ini rahasia kecilmu kawan. Rahasia yang kau pendam
sendiri sejak 3 tahun lalu. Rahasia yang mungkin bisa kau bagi, tapi kau pilih
tetap kuat dihadadapan aku. Rahasia yang kau bungkus rapi dengan kisah “gagal
move on”-mu. Andai aku tau lebih awal. Aku tidak akan berani menertawakan
kisah-kisahmu yang begitu galau saat itu. Aku juga tidak akan berdebat denganmu
saat kau mulai mengeluhkan dia.
Bodohnya aku. Tidak lama temanku mengirimkan pesan,
“Terima kasih, Boi. Kau memang kawan terbaikku. Maaf kalau selama ini aku tidak
cerita. Aku hanya tidak ingin orang lain ikut bersedih karena kisahku dan aku
juga tidak mau dikasihani karena nasibku. Kalau kau sempat, datanglah minggu
depan di acara pernikahanku. Aku sengaja ingin memberikanmusurprise soal
undangan ini.”
Ya, kawan. Kau memang mengejutkanku, tapi bukan
untuk undanganmu. Tapi, karena rahasia kecilmu ini. Akhirnya aku mengerti
maksud kata-katamu dahulu. “Aku mungkin pernah menyukai banyak wanita, tapi aku
ingin mencintai satu wanita saja.” Salut aku haturkan untuk kegigihanmu setia
pada satu cinta itu, walaupun kalian memang tidak akan pernah bertemu lagi. Sebuah
pelajaran berharga dari kisah seorang teman, kawan, sekaligus sahabatku.
21 September 2014
Oleh D. Sudagung