Kisah ini bermula dari kebiasan
unik kakekku. Saat aku kecil aku sering mengikuti kakek jalan pagi. Pada
umumnya ini adalah jalan pagi yang biasa saja. Tapi, selalu saja ada yang
berbeda menjelang putaran akhir perjalanan kami. Kakek selalu menyempatkan untuk
membeli beberapa bungkus nasi kuning. Setelahnya beliau mengajakku melewati
beberapa jalanan kecil di sekitar komplek. Selagi menyusuri jalan-jalan
tersebut kakekku sering sekali disapa oleh orang-orang di sekitar situ. Dulu
aku pikir mungkin kakekku ini artis. Betapa bangganya aku.
Ternyata kakekku lebih dari
sekedar artis. Nasi kuning yang dibelinya itu adalah pembedanya dengan artis
biasa. Kakek selalu menyempatkan mampir ke beberapa tempat di akhir perjalanan
kami setiap pagi. Beliau selalu menghampiri seorang pemulung yang bertangan
satu di dekat pasar. Ia memberikan sebungkus nasi kuning kepada beliau. Tidak
berhenti di situ, bungkus nasi kuning lainnya juga dibagikan kepada tukang
becak, lalu pedagang sayur keliling yang sudah sepuh dan seumuran beliau juga
tidak luput dari pemberiannya. Kakek juga selalu mampir ke perempatan di dekat
komplek di mana terdapat seorang pengemis yang tiap pagi menanti recehan di
sana. Selain kepada pengemis, kakek juga membagikan makanan tersebut ke
anak-anak jalanan yang sedang asyik mengamen di simpang lampu merah.
Sebelum pulang kakek juga selalu
menyempatkan mampir ke pos satpam dan berbincang-bincang dengan satpam komplek.
Di situ kakek biasa mengajakku sarapan bersama dengan satpam. Bukan tempat
sarapan yang terbaik, tapi di sini kakek mengajarkanku untuk menikmati
kesederhanaan. Sebungkus nasi kuning dan segelas teh manis selalu menjadi menu
rutin sarapan kami di pos satpam.
“Kek, kenapa kita selalu sarapan
di situ? Kenapa gak di rumah aja?”, tanyaku pada suatu waktu.
“Kalau di rumah, kita bisa makan
bersama dengan nenek dan ibumu. Memang enak dan lebih ramai. Tapi, coba lihat
Pak Satpam tadi. Kalau kita tidak makan di sana, dia makan dengan siapa?”
Rute jalan pagi kami juga kerap
berbeda menjelang akhir bulan. Kakek selalu mengajakku berjalan lebih jauh ke
panti asuhan dan panti jompo yang berjarak 3 km dari komplek rumah. Kakek sering mengajakku ikut ke sini kalau
aku sedang libur. Di tempat ini aku melihat kakek terlihat lebih ceria daripada
wajah tuanya yang mulai keriput. Tampat wajah yang bahagia saat dia berbagi
cerita dengan anak-anak panti dan juga rekan-rekan seumurannya yang ada di
panti.
“Kita beruntung, masih bisa
kumpul dengan keluarga setiap hari. Mereka di sini mungkin sudah lama tidak
bertemu keluarga mereka. Teman-teman di panti saja yang mungkin menemani
hari-hari mereka. Kelak saat kamu besar, kamu akan mengerti semua ini.”, sambil
mengusap kepalaku di perjalanan pulang.
Ya, memang benar saat itu aku
tidak terlalu paham maksud rute jalan-jalan pagi kakek. Waktu kecil dulu aku
pernah bertanya dengan polosnya kepada ayah tentang kebiasaan kakek saat sedang
makan malam di rumah.
“Yah, kenapa kakek suka bagi-bagi
makanan dan menyapa orang di jalan?”
“Itu adalah cara kakekmu
bersyukur dengan apa yang dia dapatkan selama ini. Semua kebahagiaan dan rejeki
yang dia dapat boleh jadi adalah karena doa-doa orang yang sedari dulu
ditolongnya.”, jawaban sederhana ayah itu cukup mewakili pertanyaan besarku
terhadap kakek.
Itulah apa yang aku ketahui
tentang kakek di masa kecilku. Karena di umur 7 tahun, aku dan keluarga
memutuskan untuk tidak menumpang lagi di rumah kakek dan tinggal di rumah
sendiri. Walaupun demikian aku masih sering main ke rumah kakek setiap minggu.
***
Memasuki masa remaja, aku mulai
bertanya-tanya tentang kisah kakek lebih jauh kepada ayahku. Pertanyaan itu aku
lontarkan pada suatu makan malam bersama ayah.
“Ayah, itu foto kakek bukan?”
“Iya itu foto kakekmu waktu muda.”
“Itu foto di mana? Dengan siapa
itu kakek salaman?”
“Itu di kantor gubernur. Kakekmu
dulu mendapat penghargaan dari gubernur. Dari muda kakekmu diutus merantau ke
sini, diminta membangun daerah sini. Pengabdian bertahun-tahun membangun kota
dan daerah ini. Dulu katanya kakek itu ikut kelompok perintis daerah-daerah di
pelosok sana untuk pemetaan daerah pemekaran dan daerah tinggal masyarakat
transmigran. Kakekmu sudah sering berjabat tangan dengan walikota dan gubernur.
Hanya saja dia belum sempat ketemu dengan presiden yang diidam-idamkannya, Bung
Karno. Lihat saja di rumah kakek berapa banyak buku dan koleksi kliping korang
tulisan Bung Karno yang dikoleksi kakekmu. Kakekmu dulu sering cerita
cita-citanya bertemu dengan Bung Karno. Namun, sampai akhir hayat Bung Karno
kakek belum sempat bertemu dan berjabat tangan.”
Kakek dulu berpesan pada ayah, “Merantaulah
kamu ke Jawa, ketemu orang banyak, belajar banyak, belajar dari masyarakat yang
beragam dan berbeda dengan di sini, ketemu orang besar. Jawa adalah asal usul
kita. Siapa tahu, kamu nanti yang ketemu presiden gantiin bapak.”
“Kakekmu tidak sempat lagi pulang
ke Jawa karena kesibukan di sini selama bertahun-tahun. Di usia senjanya dia
sangat rindu ingin pulang. Ia ingin bertemu saudara-saudaranya di Jawa. Sampai
sekitar 20 tahun lalu, saat kamu berumur 10 tahun, ia memutuskan untuk pulang
ke Jawa karena ingin jalan-jalan. Kepergiannya itu adalah kepulangannya yang
terakhir ke Jawa. Kakek benar-benar pulang dan tidak kembali lagi ke rumahnya
di sini. Dia telah pulang ke rumahnya yang sebenarnya. Persis di samping ayah
dan ibunya.”, ayah melanjutkan kisah tentang kakek.
Ayah sempat terdiam sebentar saat
dia menceritakan tentang kakek yang
telah tiada. Sembari menarik nafas panjang, ayah merubah topik pembicaraan
menjadi tentang dirinya sendiri.
“Dari merantau itu, dulu ayah
sempat berjabat tangan dengan panglima TNI, menteri, anggota dpr. Tidak salah
memang pesan kakekmu waktu itu. Ayah banyak mendapatkan pelajaran berharga
selama merantau saat muda dulu. Hanya saja presiden yang belum sempat ayah temui.
Mungkin nanti kamu yang bise bertemu dengan beliau.”, ujar ayah sebelum
melanjutkan makan malamnya.
Aku cukup lama memikirkan pesan
yang diceritakan tentang pengalaman kakek dan ayah, begitu juga amanah yang
dibebankan padaku sebagai penerus cita-cita mereka. Siapa tau memang ada jalan.
Siapa yang tau kan? Aku hanya berdoa dalam hati semoga suatu saat aku bisa
mewujudkan cita-cita mereka.
Makan malam itu adalah makan
malam sehari sebelum keberangkatanku merantau. Ayah sengaja mengajakku untuk
berbincang-bincang sebelum melepasku pergi ke Jawa. Mungkin ayahku bukanlah
ayah yang paling romantis dan bisa mengungkapkan sayang kepada anak-anaknya.
Tapi, melalui cerita-cerita dan perhatiannya aku tahu dia sangat menyayangiku.
Perbincangan sederhana tentang mimpi dan cita-cita. Cita-cita kakek dan ayah
untuk bertemu presiden yang sekarang dipercayakan kepadaku.
***
Pagi ini aku berdiri di depan
cermin, merapikan sisiran rambutku, memastikan aku menggunakan pakaian terbaik.
Hari ini adalah hari yang spesial. Hari di mana semua cita-cita kakek dan
ayahku terkabul. Aku diundang menghadap presiden sebagai perwakilan dari
akademisi di bidang perekonomian. Kami beberapa perwakilan dari beberapa
universitas diminta memberi masukan mengenai pembangunan ekonomi di Indonesia.
Sebelum berangkat, aku
menyempatkan menelpon ayahku.
“Ayah, nanti lihat berita ya di
tv?”, ucapku kepada ayah di rumah.
Doa itu terkabul. Cita-cita itu
terwujud. Di balik cermin itu aku melihat sosok kakek dan ayahku. Aku adalah
bagian dari mereka. Sekarang aku akan membawa mereka ikut serta menghadap
presiden. Aku akan membawa mereka pada cita-cita yang belum terwujud selama
hidup mereka.
“Kek, lihatlah! Cucumu akan
menuntaskan mimpi kita bertiga, berjabat tangan dengan presiden.”
2 Juli 2015
D. Sudagung