Catatan ke-1
Saya
menyukai kopi. Saya menjelajahi seluruh Indonesia untuk mencari racikan
terbaik. Boleh dibilang saya terobsesi pada buku klasik karangan seorang
maestro seni Indonesia. Buku ini bahkan sempat difilmkan. Begitu menyentuhnya
novel dan film itu. Kira-kira begitulah testimoni dari kakek saat menceritakan
masa mudanya dulu. Kisah dongeng yang dia ceritakan saat aku kecil. Kisah
inilah yang membentuk alam sadar saya untuk mencintai kopi. Bahkan lebih dari
cinta saya kepada pacar saya. Yang padaa akhirmya kami putus karena saya
dianggap lebih mencintai kopi dibandingkan dia. Sudahlah, cukup nostalgianya. Ini
cerita bukan tentang dia.
Well,
sampailah akhirnya saya di sini. 3 tahun menyusuri kebun kopi, warung kopi, dan
banyak tempat indah di nusantara ini. Akhirnya saya memutuskan membuka sebuah
kedai kopi di kota hujan. Kota ini cukup sering hujan, dan orangnya pasti
mencari minuman hangat. Itu saja alasan saya memilih kota di bawah kaki gunung
ini. Sekalipun sudah banyak kedai kopi di kota ini, saya kadung cinta ke
suasana di kota ini. Bangunan klasik, cuaca yang sejuk, orang-orang yang ramah,
dan kisah sejarah yang banyak di kota ini. Persis inilah kota yang sering
dikisahkan oleh Kakek saya dulu. Kota penuh keindahan, konon orang dulu bilang
Tuhan tersenyum saat menciptakan kota ini.
——————————-
Catatan ke-2
Tempatnya
klasik. Mungkin itu komentar kalian saat mengunjungi kedai saya. Tempatnya
tidak terlalu besar. Hanya 1 lantai. Tadinya saya buat konsep outdoor, tapi
ternyata alam lebih kuat dengan seringnya hujan. Akhirnya saya mengalah dan
merenovasi supaya orang tetap bisa menghadap jalan tanpa kehujanan.
Meja kotak
ala warung kopi di pasar, yang cukup untuk berempat atau berdua. Kursi-kursi
rotan dengan sandaran dan asbak. Setidaknya 3 hal itu yang penting bagi
pelanggan. Jendela yang besar menghadap jalan dan dihiasi tanaman yang
digantung untuk memberikan kesan hijau di sini. Jendela itu kuncinya, di mana
orang tetap bisa ngopi menikmati jalan raya.
Tidak lupa
saya buatkan ruangan khusus no smoking. Saya cukup toleran dengan penikmat kopi
yang tidak merokok. Atau sebenarnya saya menyalurkan aspirasi pribadi di sini.
Walaupun sudah fakta absolut bahwa sebagian besar pengopi adalah perokok. Tapi,
saya adalah anomali. Saya pengopi sejati, tapi saya tidak begitu terobsesi
dengan rokok. Sampai teman baik saya pernah mengomentari kejanggalan saya,
“Sayang sekali, kawan. Kau kehilangan separuh nikmatnya menggenggam dunia.
Kenikmatan itu adalah tangan kanan memegang rokok dan tangan kiri memegang
cangkir kopi.”
Saya hanya
menjawab dalam hati saat dia menasihati waktu itu, “Apa salahnya orang hanya
menikmati kopi tanpa merokok?”
Klasik, ya
aku mengusung tema klasik. Kembali ke zaman dulu. Saat minum kopi tidak hanya
punya org bermobil. Karena itu juga harga kopi di sini tidak mahal. Setengah
harga pasaran. Kopinya dipancong (istilah di kampung Kakek saya, artinya kopinya
dipangkas hanya setengah gelas). Gelas kaca dialas piring seng dan sebuah
sendok besar untuk mengaduk. Klasik, jarang sudah sajian kopi seperti itu di
sini.
“Apa nama
kedai kopimu, nak?”, tanya ayah saya saat bangunan ini sudah mulai selesai.
Historia.
Sejarah. Saya selalu ingat pesan kakek saya, “Ingatlah sejarahmu nak. Kamu
dibesarkan di kotanya kopi. Di mana warung kopi sama seperti kantor dewan
rakyat. Di situ rakyat berkumpul. Di situ rakyat berdebat, beradu pikiran,
bercerita, dan banyak lagi.”
Saya ingin
mengembalikan masa-masa itu. Memang tidak gampang. Idealisme saya ini hidup di
zaman materialistis. Uang, modal, kemewahan sekarang adalah trend. Ngopi pun
sudah masuk dalam kategori itu, barang lux. Sudah susah kalian temui kedai kopi
seharga kurang dari 10 ribu. Karena ngopi sekarang di mall-mall atau di
cafe-cafe mentereng. Saya hanya ingin menyediakan tempat ngopi yang bisa
didatangi oleh siapapun, kapanpun. Tanpa kelas, tanpa membeda-bedakan.
Tujuannya cuma 1, kami ingin ngopi. Sudah cukup itu.
———————————
Catatan ke-3
Catatan ini
saya lanjutkan kembali setelah sekian lama absen. Cukup banyak kesibukan di
kedai kecil ini. Hilir mudik teman ngopi (begitu saya menggelari para pelanggan
setia) di kedai selama beberapa minggu ini. Saya menemukan 1 kesimpulan selama
menggeluti usaha ini bahwa manusia terdiri dari bermacam karakter. Salah
satunya yang duduk termenung di depan saya.
Tatapan
tajamnya beberapa kali menerawang gelas kopi. Entah apa yang dipikirkan.
Sesekali dia melihat ke langit-langit. Atau sekedar membalikkan badan ke arah
jendela untuk mengamati pejalan kaki. Saya sengaja memasang kursi bulat khusus
di depan meja saji. Kursi bulat yang bisa diputar agar teman ngopi bisa dengan
leluasa mencari view mana saja dari tempat duduknya.
Saat saya
sedang menyusun gelas di rak, dia menyapa.
“Mas, apa
arti kopi buat mas?”
Pertanyaan
sederhana yang begitu bermakna.
“Kopi itu
teman saya. Dan saya senang berada di antara teman-teman saya.”
“Oh. Teman?
Kenapa bukan sisi gelapnya? Kenapa bukan kesendiriannya di satu gelas ini?
Sudahlah mas, jangan hiraukan saya. Saya memang begini. Suka menanyakan hal-hal
yang tak penting.”
“Ah, tenang
aja mas. Saya juga senang-senang aja diajak ngobrol.”
“Mas, mau
mendengarkan cerita saya?”
“Silahkan,
mas. Dengan senang hati saya siap mendengarkan. Kebetulan sekarang juga masih
sepi pelanggan.”
“Mas, kenapa
saya memilih kopi hitam? Jawabanya ada pada ketegasan akan rasa pahitnya. Kopi
tidak pernah manis pada dirinya sendiri. Ia tegas dan jujur pada realita. Dan selama
saya bergaul dengan kopi hitam itu saya selalu mendapatkan sensasi yang
berbeda. Apalagi saya pertama meminumnya setelah putus cinta. Itu menambah
kenangan tersendiri bagi kopi hitam.”
Ia diam
sebentar, sambil menarik nafas panjang. Sepertinya ia akan menceritakan suatu
hal yang besar kali ini.
“Mas, pernah
kecewa sama seseorang yang mas suka atau sayang? Begitu dalam rasa yang ada,
tapi sudah saja itu tak berbekas di hatinya. Maaf mas saya sedikit curhat.
Bener ya kata orang itu kalau Love can start with friendship but not all
friendship can start with love. Susah mas memulai lagi sesuatu yang sudah pecah
belah. Sekalipun menyatu, indahnya tidak seperti dulu saat kepingan itu masih
bersama.”
Saya hanya
diam menatap orang ini bercerita. Sepertinya begitu dalam perasaannya sampai
dengan begitu seriusnya dia bercerita. Mimik wajahnya begitu serius, sekaligus
menderita. Inilah salah satu alasan saya belum mencari pacar, saya takut sakit
hati. Karena dulu hati ini pernah sakit dan lama sekali penyembuhannya.
Bagaimana kalau terjadi lagi? Bagaimana kalau lebih lama dan banyak lagi
kenangan yang tersimpan? Bisa gila saya nanti. Tanpa sadar saya justru teringat
kisah pilu sendiri. Saya bisa paham kegundahan orang ini.
“Tapi, mas.
Untungnya saya berkenalan dengan kopi. Apa yang saya alami belakangan ini dan
yang saya dapat ketika minum kopi menjelaskan ke saya bahwa kehilangan adalah
pahit yang pernah bisa dikecap lidah. Sampai kapan pun”, ia menutup ceritanya
dengan sebuah kalimat yang saya rekam benar dalam memori.
“Tetap
berkarya aja mas. Saya rasa mas berbakat sekali bercerita. Pemilihan katanya
sangat indah dan berbobot. Mungkin baik jika ditulis mas.”
“Apa iya?
Tapi, nanti apa ada yang mau nerima? Apa ada yang mau dengar curhatan orang
kayak saya?”
“Mas, saya
juga awalnya membuka kedai berawal dari banyak kata tapi. Cuma saya putuskan
saya akhiri kalimat saya dengan kata iya. Iya untuk merintis usaha. Kebanyakan
mikir ini itu dan segala kekhawatiran kita bikin kita cepat putus asa dan
berhenti mencoba mas. Mungkin Tuhan sudah menuliskan guratan takdirnya untuk
Mas sebagai penulis, cuma Tuhan juga mau lihat usaha mas sampai tidak untuk
menjadi apa yang ditulis Tuhan.” saya coba membesarkan hatinya.
“Saya kira
Mas cuma bisa membuat kopi dan tersenyum menyambut tamu. Ternyata sebiji kopi
di depan mata saya lebih luas dari apa yang terlihat.”
Begitulah,
kami mengawali obrolan panjang yang mengalir. Sedikit banyak kami beradu
kalimat bijak, hasil perenungan atas kehidupan dan apa yang ada di sekitar
kami. Saya sendiri memang larut dalam buku-buku sastra, filsafat, dan politik,
sehingga saat si penyair (begitu saya menjulukinya) mengajukan suatu alur
pembicaraan saya tidak begitu kaget. Sangat menyenangkan bisa melihat
wajah-wajah bahagia di tempat kecil bersejarah ini.
——————————
Catatan ke-4
Ternyata
tidak hanya saya yang punya kebiasaan menatap hujan. Nona di meja ujung itu
salah satunya.
Pertama kali
dia datang ke sini langkahnya gontai, hampir sepanjang jalan dari pintu ke meja
di ujung sana hanya menunduk. Ia datang ditemani sahabat baiknya, seorang
pelanggan setia saya.
“Aku cuma
tau tempat ini, Kang. Tempat terindah menikmati senja dan keindahan kota dengan
semua kemegahanan masa lalunya. Kaca etalase berbentuk setengah bundar di ujung
itu jelas membuat kami lebih mudah menikmati kota.”
“Neng suka
berlebihan gitu mujinya. Biasa aja. Kebetulan aja.”
“Hahaha. Aku
jujur memuji, Kang. Tidak meminta jatah kopi gratis kayak waktu itu. Oiya, soal
temanku. Biarkan saja dia duduk di sana. Biar dia menghirup udara luar, sudah
cukup lama dia termenung di kamar. Kisah asmaranya cukup tragis, ditinggal mati
calon suaminya mendekati hari H.”
Setidaknya
itu alasan yang saya tahu kenapa nona itu termenung. Di hari pertama
kunjungannya saya mencoba menyapa menawarkan menu. Dia hanya menunjuk salah
satu list kopi. Tanpa menyebutkan apa-apa. Sebelum saya beranjak dia hanya
menulis di secarik kertas.
“Jangan
terlalu pahit, tapi juga jangan terlalu manis. Ambil aja kembaliannya. Terima
kasih.”
Saya cukup
faham dengan sikapnya, jadi tidak banyak balasan kata. Saya hanya membalas
dengan senyuman terbaik. Karena kami selalu memegang erat moto, “Berikanlah
senyuman terbaikmu buat para pelanggan, karena saat mereka keluar dari sini
dengan tersenyum adalah kepuasaan bagi kami.”
Dan
begitulah terjadi kejadian serupa berbulan-bulan. Hingga saya iseng
menjadikannya objek pengamatan. Setidaknya saya bisa sedikit membantu
memberikan progres kepada temannya saat dia menanyakan. Saya coba ingat-ingat
kejadian pertama sampai terbaru.
Bulan
pertama, 2 kunjungan.
-Kunjungan 1: menunduk saja, kopi sekedar diminum. Sesekali mengaduk kopi. Beberapa kali tatapannya kosong.
-Kunjungan 2: langkah masih gontai, sudah mulai melihat sekitar. Untungnya dia datang saat sore, waktu terbaik menatap senja. Dan saya menyaksikan dia menatap senja indah itu dari dekat. Kebetulan ada pesanan yang ingin saya antar. Terlihat linangan air mata di pipinya. Nb: Malang nian nasibmu, nona.
-Kunjungan 1: menunduk saja, kopi sekedar diminum. Sesekali mengaduk kopi. Beberapa kali tatapannya kosong.
-Kunjungan 2: langkah masih gontai, sudah mulai melihat sekitar. Untungnya dia datang saat sore, waktu terbaik menatap senja. Dan saya menyaksikan dia menatap senja indah itu dari dekat. Kebetulan ada pesanan yang ingin saya antar. Terlihat linangan air mata di pipinya. Nb: Malang nian nasibmu, nona.
Bulan ke-2:
cuaca hujan, dia tetap datang. Saya yang sudah hafal pesanannya, langsung saja
mengantarkan segelas kopi hangat. Mungkin bisa menghangatkan badan di tengah
hujan. Dia lebih banyak menatap hujan. Rona wajahnya tampak semakin pilu.
Bulan ke-3
sampai ke-5: hampir sama dengan sebelumnya dan entah kenapa dia hanya selalu
datang saat hujan. Dan betapa pilunya suasana tiap sore saat dia mulai duduk di
sudut meja. Bunyi hujan seperti memainkan orkestra sebuah lagu sendu yang
sangat panjang dan penuh energi. Sesekali kilat menghentak menaikkan tempo.
Alunan alam yang begitu pilu. Mungkin ini alasannya menanti saat hujan. Supaya
ia bisa menikmati orkestra persembahan alam yang begitu menyayat hati.
Bulan ke-6:
hujan rintik-rintik, kebetulan di kedai saya ada live musik. Dan temanya
“eternal love song”. Semoga momen ini tidak salah untuk kedatangannya. Karena
saya sama sekali tidak tahu kondisi hatinya.
Dia datang
persis sebelum acara dimulai. Tempat favoritnya pun sudah sengaja kuberi
“reserved” khawatir diambil orang lain saking penuhnya karena saya tahu hari
ini jadwalnya berkunjung kemari. Dia tampak bingung saat melihat tulisan itu,
tapi saya beri kode dari jauh ke pelayan di dekat sana untuk memberinya duduk.
Hari ini
saya tidak banyak mengamati Nona itu. Kerjaan cukup banyak, Bung. Mana sempat
mengamati atau kalau dalam bahasa gombal menikmati indah wajahnya. Saya sedikit
geli menulis ini, tapi sudahlah hanya selingan.
Saya hanya
sesekali saja sempat menyaksikan beberapa kali perubahan ekspresi wajahnya.
Dari pertama hanya menatap hujan rintik di luar, hingga mulai menyimak alunan
musik yang dimainkan bintang tamu.
Salah satu
momen mengharukan selama karir saya membuka kedai adalah melihat ekspresinya
wajahnya tiba-tiba tersenyum, walaupun jelas terlihat air mata itu masih
menetes. Tapi, dia tersenyum, Bung. Bukan dia yang dulu menangis pilu menikmati
tangisan hujan.
Momen itu
adalah saat dimainkannya lagu “Help Me Make It Through the Night” yang
diciptakan oleh Kris Kristofferson. Sebuah lagu lawas era 70-an, era kakeknya
kakek saya. Untungnya penyanyi di kedai ini memang suaranya merdu didukung
dengan alunan gitar akustik dan sound system yang bagus, suara merdunya begitu
menyentuh pendengar di sini. Tepuk tangan riuh mengakhiri alunan lagu tersebut.
Dan sebuah senyuman adalah harga termahal yang terbayar dari sebuah lagu lawas
itu kawan.
Malam ini
dia menyempatkan mampir ke kasir tempat saya biasa nongkrong.
“Kang,
terima kasih.”, ia membayar dengan uang nominal 150.000 rupiah.
“Sama-sama,
Neng. Oya, kembaliannya…”
“Itu ganti
sewa kursi dan meja selama ini, dan untuk semangat baru dari kedai ini. Semoga
selalu laris dan bisa menjadi semangat baru, Kang.”, dia perlahan beranjak
pergi meninggalkan pintu.
Saya hanya
menyaksikan saja salah seorang bidadari yang akhirnya tersenyum. Syukurlah,
jika hatinya sudah kembali kuat dan tidak serapuh dulu. Siapa yang tidak rapuh
dihantam masalah seberat itu.
Ternyata
lagu sendu, nyanyian hujan, belum tentu cukup melepaskan kegelisahan hati.
Mungkin ia cukup menemanimu menangis dan akan terus menangis. Sebaliknya,
sebuah lagu indah, harapan akan keindahan, suasana riang, cukup menghadirkan
sebuah senyuman. Dan percayalah, sebuah senyuman adalah gerbang sebuah hati
yang berbahagia.
“Mas, itu
siapa tadi cewek cantik?”, suara seorang laki-laki muda tiba-tiba menyadarkan
saya dari lamunan.
“Akan saya
ceritakan setelah kedai tutup, Mas. Bersedia menunggu? Bersedia mendengarkan
kisahnya? Ceritanya kurang lebih setengah buku ini?”, sambil saya tunjukkan
buku harian saya.
“Siap, Mas!
Siapa tau bidadari itu jodoh saya, sampai besok subuh pun saya siap menunggu,
saya siap mendengarkan.”
Selesai
21, 28
April, 9 Mei 2015
D. Sudagung
No comments:
Post a Comment