Aku tidak
tahu kenapa akhirnya aku mau diajak ke sini. Berhari-hari memang sahabatku yang
keras kepala itu membujukku. Ah, bukan membujuk, lebih tepatnya dia memarahiku.
Katanya aku terlalu lama tinggal dalam gua yang sempit ini. Katanya aku terlalu
lama meratap dan menangis.
“Lihat itu
tong sampah, apa isinya? Tissue, kalau tissuemu habis mau kamu lap pake apa
tangisanmu itu? Mau kamu tampung? Mau kamu tampung pake ember? Atau pake bak
mandi? Kamu pikir dia senang di sana ngeliat kamu menangis dan meratap fotonya
sepanjang hari sepanjang malam? Apa dia senang melihatmu kurus kering kayak
gini, Na? Apa dulu katanya, “hey bulatku”, sekarang apa? Kamu begitu lurus,
hilang sudah bulat di pipimu itu. Ayo ikut!“
Kami
berdebat cukup panjang di dalam kamar itu. Aku hanya ingin di sini. Aku belum
siap, belum mampu menghadapi dunia yang keras tanpa dia.
“Tidak
pernah ada kata siap kalau kamu tidak mencoba, Na. Kamu bukan satu-satunya yang
bersedih di dunia ini. Masih banyak orang-orang yang jatuh, tapi karena mereka
menatap ke depan mereka pun mau bangkit untuk melesat maju. Lihatlah matahari,
tidak pernah berhenti berjuang untuk bersinar sekalipun terhalang awan gelap ia
tetap bersinar di balik awan itu.”
Aku masih
belum ingin bertemu orang-orang. Yang menyalami mengucapkan berduka, prihatin,
menyemangati, yang ku tahu beberapa hanya tahu berucap. Tapi, apa mereka tahu
rasanya? Memang mudah mengucapkannya. Tapi, hati yang kosong ini mau diganti
dengan apa. Kenangan yang tertinggal, yang terus terputar dalam ingatan.
Senyumannya yang selalu teringat. Bagaimana tidak hancur remuk hati ini?
Sore ini
akhirnya aku memilih mengikuti ajakannya. Aku pun diberikan tempat duduk tepat
di depan jendela. Aku bahkan baru sadar itu jendela setelah 1 jam di sana.
Sebelumnya aku hanya sibuk menatap gelas kopi dan secarik kertas yang tadi ku
tulis untuk memesan minuman. Sahabatku sudah dari tadi pulang, dia ada urusan
kerjaan yang tidak bisa ditinggal.
“Tenang-tenanglah
duduk di sini. Nikmati saja kedai dan kopinya. Oya, 1 lagi. Jangan pulang
sebelum sunset ya?”, ucapnya sebelum pamit.
Sunset? Kamu
bercanda. Itu kebiasaan kami sejak dulu. Kamu sebut semua tempat melihat sunset
di kota ini, itu sudah pernah kami jamah. Kamu justru menghadirkan kembali
ingatan tentangnya, kawan. Makin banyak kenangan ini datang, makin kuat
dorongan air mata ini untuk mengalir.
Kopi. Sudah
lama rasanya aku tidak menikmati pahitnya kopi. Apalah artinya pahit? Aku sudah
lama lupa apa itu pahit? Yang aku tahu hanya manisnya hidup bersamanya. Kini,
aku kembali menikmati pahit. Untuk apa pura-pura mencari yang manis padahal
hati sedang pilu, dan hidup sedang getir. Mungkin ini maksud temanku menyuruhku
ke sini. “Nikmatilah pahitmu di tempat yang baru.”
Baru saja
seteguk kopi yang ku minum, bayanganmu kembali datang. Habis sudah semangatku
menelan habis pahitnya kopi. Aku kembali larut akan ingatan-ingatan itu. Hingga
tanpa terasa malam telah datang. Aku tak mau menghabiskan malam di sini, aku
tak ingin banyak orang melihatku menangis dan berempati padaku.
—————————
Setiap orang
pasti punya titik balik. Ada 3 momen yang menjadi titik balikku. Ada 3 hal yang
akhirnya bisa membukakan mataku. Membuatku melihat kembali hidupku tidak hanya
berhenti pada satu titik yang bernama kesedihan. Hidupku tidak hanya sekedar
diisi dengan bersedih dan meratap. Tapi, hidup bisa lebih dari itu. Hidupku
akan lebih dari itu.
Kopinya,
kedainya, dan sunsetnya. Atau mungkin aku balik urutannya: sunsetnya, kopinya,
dan kedainya.
Kunjunganku
di bulan kedua disponsori oleh kebawelan sahabatku. Dia terus saja mengomentari
pengalamanku menikmati suasana kedai itu.
“Kedai itu
lebih dari sekedar deretan kursi dan gelas-gelas berisi kopi, Na. Kamu belum menikmati
semua dari tempat itu. Lagian kenapa kamu lagi-lagi memajang barang-barang
kenangan itu dan memeluk-meluk bayangan dia lagi. Relakan. Sudah relakan.
Ayolah, perjalanan hidupmu masih jauh. Ini hanya tanda koma dalam kisahmu,
masih ada baris kata, deretan kalimat, berbagai tanda baca dan kisah-kisah baru
yang menantimu.”
Dan berbagai
macam bujuk rayu dan omelan yang diblend jadi satu rangkaian pidato. Pidato ala
Ia. Temanku ini memang pandai memilah kata, menyusun kembali, memberikan
penekanan pada argumennya, memainkan mimik muka, menambahkan ekspresi dalam
setiap ucapannya. Lengkap, mungkin dia adalah Bung Karno, orator ulung yang
dahulu kala sangat mahsyur nananya, versi perempuan.
Ini
kunjungan ketigaku ke sini. Dua kunjungan yang hampa dan sekarang aku mencoba
mulai menikmati seisi tempat baru ini. Aku tidak bisa bohong kalau wajahnya
masih sering mampir. Dan itu cukup membuka sedikit demi sedikit kotak bernama
kenangan di hati. Luluh lagi hatiku, menetes lagi air mataku. Aku cukup lama
terdiam, menatap jendela.
Tanpa terasa
waktu sudah beranjak sore. Warna langit mulai berubah. Merah, jingga, beradu
padu bersinar di kaki langit. Ditambah lagi bangunan kota yang mendadak seolah
menyala terkena bias cahaya senja. Indahnya. Aku baru sadar kembali ada
keindahan seperti ini. Keindahan yang dulu sering kami nikmati bersama. Aku
teringat kata-katanya dulu.
“Sayang,
kalau kamu melihat senja. Lihatlah betapa mentari enggan meninggalkan hari.
Perlahan ia melepaskan kekasihnya. Dengan senyum indah. Tahukah kamu waktu
senja adalah seindah-indahnya senyuman mentari. Dia memberikan perpisahan
terindah pada kekasihnya, memberikan kenangan terindah lewat senyum terbaik.
Karena dia tahu dengan kenangan indah itu, kekasihnya akan terus hidup selama
kepergiannya.”
Dulu aku
tidak mengerti arti kata-katanya. Ternyata kamu ingin menjadi mentari, Sayang.
Yang meninggalkan kenangan terindah untukku melanjutkan hidup. Air mata ini
kembali menetes bersama hilangnya senja di sore ini.
Bodohnya
aku, larut dalam gelap. Larut dalam sedih. Aku justru menjadikan kepergianmu
begitu sia-sia dengan terus bersedih. Aku hanya melihat punggungmu, tanpa ku
sadar bahwa di wajahmu kamu pasti tersenyum indah ingin menitipkan senyuman itu
ke hatiku.
Hari ini aku
cukup lega menikmati senja. Sedikit demi sedikit beban itu mulai lepas. Terima
kasih Tuhan atas nikmat senja yang begitu indah.
——————————
Karena
senjalah aku cukup sering mengunjungi kedai itu. Aku ingin menikmati senja
lagi. Tapi, sayang berbulan-bulan aku ke sana. Hujan terus turun di kota. Aku
hanya menikmati hujan dan tentunya kopi. Ya, kopi yang selalu sama sejak ku
pesan pertama kali. Entah sejak kapan kopi ini selalu dihiasi oleh krim putih
berbentuk senyuman. Aku baru menyadari itu di bulan keempat. Mungkin barista
ingin mengajakku tersenyum.
Dan kopi ini
selalu setia dengan rasa pahitnya. Pas. Sama persis saat kunjungan pertamaku.
Dan selalu datang tepat waktu saat aku baru saja tiba di sini. Mungkin dia
sudah hafal denganku, si pelamun yang selalu merenung menatap jendela.
Kopi ini
begitu special. Karena aku juga sebenarnya punya satu kenangan tentangnya.
“Yang, aku
suka minum berbagai macam kopi. Itu semua tergantung suasana hatiku. Kalau aku
sedang senang, aku pilih yang pahit tapi manis dan menyegarkan. Kalau aku
sedang susah dan risau aku pilih yang hitam pahit. Tapi, sejak aku menemukanmu
kopi-kopi ini sudah tidak lagi menyisakan pahit.”, itu kata-katanya dulu waktu
kami ngedate di salah satu kedai kopi favoritnya.
Sementara
aku, sebenarnya selalu aku meminum secangkir kopi susu atau sejenisnya. Aku
belum pernah meminum kopi hitam yang pahit. Baru waktu itu, di tempat ini aku
mencobanya. Aku mengikuti nasihatnya. Secangkir kopi pahit untuk kehidupan yang
perih.
“Kalau aku
sedang senang, aku tengguk minuman manis ini supaya kebahagiaan yang kurasakan
juga bisa kukecap dengan lidah. Begitupun saat aku sedang susah, biarlah
pahitnya kopi itu mewakili semua kegundahan dan kuminum habis.”, begitulah
alasannya setiap memilih minuman yang mau diminum.
Ya, terima
kasih untuk kopi ini. Rasa kopi di sini sangat unik. Awalnya aku kira
baristanya lupa aku pesan kopi pahit yang ada manisnya. Karena di awal aku
mencoba kopi di sini, rasanya begitu pahit. Tapi, makin lama diminum
tersembunyi rasa manis di dalam segelas kopi ini. Bahkan rasa manis itu yang
tersisa di ujung lidahku. Dia mengajariku bahwa pahitnya hidup tidaklah sepahit
yang selama ini aku bayangkan. Masih ada sedikit manis di ujung lidah, yang
artinya mungkin masih akan ada bahagia di ujung jalan sana.
Sementara
kedai ini berasa sangat special dalam perubahan suasana hatiku. Tempat ini
begitu hidup. Baik dari tampilan luarnya yang unik. Dengan beberapa tanaman
yang tergantung di bagian2 atas dinding luar. Begitu masuk tempat ini cukup
luas dan kalian disuguhkan dengan beberapa pilihan tempat duduk. Dan aku selalu
memilih spot di depan kaca besar di ujung sana. Tempat ini sangat tepat
menghabiskan waktu, menyaksikan orang berlalu-lalang, menyaksikan kokohnya
bangunan-bangunan tua di jalanan kota, menikmati senja pastinya, dan satu lagi,
hujan.
Ya,
menikmati hujan juga indah di sini. Rintik-rintik yang turun mengalir di kaca
besar itu, cukup indah. Bahkan menangis di tengah hujan pun kamu boleh. Tidak
ada yang melarangmu mengeluarkan ekspresimu di sini. Lihatlah. Lihat berbagai
macam ekspresi orang di sini. Wajah-wajah bahagia, wajah-wajah cemberut,
wajah-wajah tertawa, wajah-wajah yang sendu. Kamu bebas menampilkan dirimu
dengan ekspresi terbaik atau terburukmu. Pelayan di sini pasti akan selalu
tersenyum untukmu.
Oiya, ada 1
lagi hal yang membangkitkan suasana hatiku. Sore itu. Selagi aku menikmati kopi
di sore yang hujan, kebetulan ada live musik di sini. Aku lupa temanya apa,
tapi lagu-lagunya seingatku cukup enak didengar. Beberapa bahkan asing di
telinga, tapi tetap asyik didengarkan. Aku membawa sepucuk surat.
“Na, aku
rasa kamu sudah siap menerima surat ini?”, ucap Ia sahabatku.
“Surat? Dari
siapa?”
“Dari
Anry.”, jawabnya singkat.
Jangan sebut
nama itu lagi, sobat. Sudah cukup lama aku mencoba melupakan dia dan kamu
dengan entengnya menyebutnya lagi di depan mukaku. Tapi, aku tidak marah.
Mungkin Tuhan punya jalan dengan mengingatkanku pada nama itu.
“Anry pesan
berikanlah saat melihat kamu siap. Dan aku rasa, akhir-akhir ini suasana hatimu
sudah membaik. Aku tidak mau menyimpan ini lama-lama, karena mungkin kamu lebih
membutuhkannya.”, sambil menyerahkan surat itu dan memeluk tubuhku.
“Terima
kasih, Ia. Kamu memang sahabat terbaikku.”
Surat. Surat
dari Anry. Sejak kapan? Untuk apa? Banyak pertanyaan di dalam kepalaku sebelum
membuka surat beramplop putih polos ini.
Akhirnya aku
membukanya dengan membaca bismillah sambil menguatkan hati membaca semua isi
surat dari Anry. Semoga Tuhan menguatkan hatiku melalui satu episode hidup ini,
membaca surat dari kekasih yang telah tiada.
Dear Kirana
yang tersayang
Itu tulisan
tangannya. Dia sempat-sempatnya menulis di saat dia tergolek lemah di rumah
sakit. Aku tahu dari tulisannya yang bergetar dan tanggal suratnya. Kenapa
memaksakan diri, sayang?
Hey, apa
kabar? Semoga kabarmu selalu sehat yaa. Semoga senyum si bulat tidak menghilang
di pipimu. Atau semoga pipi itu tidak hilang dari wajahmu. :p
Mungkin saat
kamu baca surat ini, aku sedang pergi. Tapi, tenanglah. Aku baik-baik aja koq.
Dan aku akan selalu baik-baik aja. Karena aku tidak pernah pergi dari hatimu.
Saat hidupmu
begitu susah. Saat hatimu begitu menyesakkan. Mudah-mudahan sebuah pesan dariku
ini bisa bermanfaat.
Hey, jangan
menangis. Aku tidak sedang cerita sedih loh. Aku sedang menyapamu. Hehehe. Kamu
mah nangis aja kerjaannya ya? Liat tuh, matamu bengkak. Idungmu makin ilang
tertutup mata. I wish i can pinch that nose. Senyum yaa. Bahagia.
Kalau aku
tidak bisa menjadi alasanmu berbahagia, setidaknya aku tidak ingin menjadi
alasanmu bersedih.
Percayalah,
kenangan akan selalu hidup di hati. Dan kamu akan selalu hidup di hatiku.
Salam sayang
Anry
Nb: balik
surat ini, semoga pesan di balik surat ini bisa menguatkanmu.
Aku lalu
membalik surat ini dan menemukan sebuah tulisan di bawah surat.
Aku
mencintaimu selalu
Semua
pertahanan hati ini rubuh sudah. Aku tidak bisa menahan air mata yang meleleh.
Kamu memang sangat berarti. Kamu menempati tempat terindah di hati dan akan
selalu ada tempat spesial di hati untukmu. Aku begitu sedih dan begitu bahagia.
Entahlah mana yang lebih dominan. Rasa rinduku terobati. Membaca suratmu
seakan-akan melihatmu hidup kembali. Seolah kamu duduk di sini menemaniku.
Kedai ini
sedang menyajikan sebuah penampilan lagu klasik yang aku tidak tahu judulnya.
Tapi reff-nya berbunyi “Help me make it through the night”. Kenapa bisa pas
lagunya? Di saat aku sedang ingin melewati malam dengan tenang.
Aku sedih,
tapi aku tidak mau terlalu sedih. Aku ingat kata-katanya tadi.
“Aku tidak
mau menjadi alasanmu bersedih.”
Aku
memutuskan tidak lagi ingin bersedih. Benar kata sahabatku, dia tidak akan
senang melihatku bersedih. Ya, aku tidak boleh bersedih lagi.
Terima
kasih, Tuhan. Akhirnya Kau menjawab doa-doaku. Pertanyaan semua gundahku.
Pertanyaan yang akhirnya terjawab lewat senja, segelas kopi, dan kedai ini. Dan
tentunya surat itu.
Selesai
11, 12, 13
Mei 2015
Oleh D. Sudagung