"Oh,
iya Pak. Terima kasih, terima kasih.", jawabku dengan nada yang panik
bercampur kaget.
"Bapak
perhatikan, Adek dari tadi hanya melamun. Tatapannya kosong. Waktu jalan masuk
mesjid juga kayak yang linglung. Kalo bapak boleh tau ada apa toh?", tanya
bapak itu dengan logat jawanya yang kental.
"Tidak,
Pak. Tidak apa-apa.", jawabku singkat. Untuk apa juga aku cerita ke orang
tak dikenal soal hati yang remuk ini. Kenal pun tidak. Siapalah bapak ini yang
ingin tau betapa hancurnya hatiku saat ini. Tuhan pun hanya diam saat aku
hancur, apalagi bapak ini bisa apa. Itu pikirku dalam hati.
"Anak
muda seperti Adek ini ya kalau tidak patah hati ya paling masalah keuangan.
Kalau bapak boleh lancang sepertinya masalah hati. Bapak jadi ingat waktu bapak
muda dulu. Hahaha." ia menjelaskan dengan tawa yang lepas.
"Mari Dek
kalau berkenan bapak ajak ke rumah makan di depan mesjid. Konon sehabis makan
di sana urusan hati jadi lebih enteng. Makanya rumah makan itu namanya
"Lega Hati". Saya juga tidak tahu, tapi sejak dulu saya muda sering
mampir selepas sholat di mesjid kalau sedang ngegalau."
"Tidak,
Pak. Terima kasih. Nanti saja saya belum lapar." jawabku masih singkat.
"Saya
duluan kalau begitu. Siapa tau Adek mau menemani bapak tua ini bercerita
silahkan mampir saja. Kalau pun tidak, bapak doakan urusan hatinya segera
membaik." ucap Bapak Tua itu dengan nada yang menenangkan.
Ucapan itu
seperti hujan di tengah padang pasir. Sejuk. Menyejukkan. Entah kenapa hatiku
sedikit lebih riang setelah tersentuh kata-kata Bapak Tua itu. Sekalipun aku
masih belum mau beranjak. Aku masih membatu dan kembali membuka lembar kenangan
itu. Hingga aku disadarkan oleh bunyi perut yang mengganggu ditambah rasa sakit
yang menusuk. Yak, sakit maagh-ku kumat. Ah, terpaksa kujilat air liurku
sendiri dan melangkah ke rumah makan itu.
Tidak ada
yang istimewa dari rumah makan ini. Pilihan lauk dan sayur yang biasa saja.
Apalah yang spesial pikirku sampai Bapak Tua tadi begitu semangat
mempromosikannya.
"Hey, Nak!
Sini! Sudah dari tadi bapak tunggu. Mas, tolong teh manis hangat 1 lagi."
teriak bapak itu yang memecah keramaian jam makan saat itu.
"Kenapa
Bapak menunggu saya? Apa spesialnya saya sampai Bapak rela membuang-buang waktu
untuk saya?"
"Ini
bukan soal seberapa spesialnya Adek atau betapa berharganya waktu saya yang terbuang.
Ini hanya soal nostalgia. Ini soal sebuah cerita lama. Bapak seperti teringat
jaman muda bapak saat melihat Adek di ujung tangga tadi. Persis di tangga itu,
persis dengan cara duduk seperti itu, dan mungkin saja persis dengan masalah
yang sama, masalah hati. Adek habis patah hati? Baru saja diputuskan tanpa
alasan yang jelas?"
Peramal kah bapak
ini? Cenayang kah? Hebat sekali bapak ini membaca pikiranku. Tahu dari mana
dia? Merinding aku saat bapak itu menerka-nerka apa yang terjadi padaku.
"Ya, dari
wajah kagetmu jelas sudah jawabannya."
Tanpa
menunggu lama bapak itu memesankan aku segelas teh manis hangat dan
mempersilahkanku memilih makanan. Aku memang lapar. Jadi, ya apa salahnya
sekedar makan bersama. Toh tujuan kami sama di sini, mengenyangkan perut.
Kami pun
duduk berhadap-hadapan. Sepenglihatanku menu yang dimakan oleh Bapak Tua itu
hanya nasi, sayur sop, tempe goreng, dan tahu goreng. Tapi, begitu lahap dan
semangatnya Bapak Tua itu makan. Apa enaknya menu sesederhana itu pikirku?
Walaupun menu makanku tidak lebih menyedihkan, hanya nasi seperempat dan ayam
goreng. Lebih mewah memang, tapi menu itu tercampur aura senduku sehingga yang
terlihat adalah menu makanan yang mengenaskan.
"Makan,
Nak. Jangan terlalu banyak melamun di sini. Ini rumah makan. Bukan gua tempat
bertapa. Lihatlah orang di ujung jalan itu. Untuk makan pun mereka harus
meminta-minta dahulu. Itupun kalau tidak dipalak preman."
"Oh.
Iya, Pak. Terima kasih. Mari, Pak." aku lagi-lagi hanya menjawab sepatah
saja karena kaget.
"Alhamdulillah.
Koki di sini tidak pernah mengecewakanku sejak dulu. Hahaha. Perut kenyang hati
pun lega. Sembari kamu makan, ijinkan Bapak Tua ini sedikit bercerita."
Aku hanya
mengangguk pelan sambil bersusah payah melawan keenggananku untuk makan. Bukannya
tidak lapar, tapi urusan hati ini bikin kusut. Lenyap nafsu makanku seketika
saat teringat wajahnya.
"Dulu
aku juga duduk di sana saat aku patah hati. Persis termenung seperti Kamu tadi
itu, tidak ada semangat hidup, bercampur kesal, semua aura negatif itu beradu
di sana. Tidak lama datang seorang tua yang menyapaku. Ia menyodorkan sepotong
roti."
"Mungkin
kau lapar, Nak? Ini bapak ada roti. Siapa tau bisa mengganjal perutmu."
"Kamu
tau apa reaksiku saat itu? Aku dulu lebih kejam daripada kamu yang menatap
kosong dan menjawab dingin. Aku menoleh pun tidak dan bapak itu hanya
meletakkan sepotong rotinya di samping tangga. Mungkin dia berharap aku
mengambilnya."
Aku tanpa
sadar terhisap oleh alunan kisah Bapak Tua ini. Tanpa terasa inilah suapan terakhirku.
Ku tatap lekat-lekat Bapak Tua itu. Kali ini aku memutuskan meluangkan sedikit
waktuku menyimak kisah nostalgia ini.
"Kejadian
itu terjadi berulang kembali esok hari. Persis di tempat yang sama. Aku yang
juga sama masih termenung selepas sholat."
"Dek,
bapak tidak tahu apa yang bisa bapak bantu. Tapi, mudah-mudahan sebungkus roti
ini bisa membantu."
Lagi-lagi
Bapak Tua itu meletakkan sesuatu di sampingku. Kali ini tidak hanya sepotong
roti, tapi sebungkus roti. Aku masih sama saja tidak menghiraukan.
"Kejadian
itu berulang di hari ketiga. Kali ini bapak itu menyuguhkanku sebungkus nasi.
Aku tahu itu dari rumah makan di depan mesjid. Persis makanan di sini dan
persis juga apa yang aku makan barusan. Tidak ada ucapan terima kasih atau
balik menatap. Aku hanya merenung kosong. Seolah bapak itu tidak ada."
"Semoga
nasinya bermanfaat, Nak.", ucap bapak itu sambil berlalu.
"Taukah
kamu? Ucapan “nak” itu yang menyadarkanku dari lamunan. Nak? Kapan terakhir ada
orang yang memanggilku “nak” dengan begitu hangatnya? Mungkin benar kata orang
dulu. Apa yang diucapkan dari hati akan selalu menyentuh ke hati."
"Saat
aku tersadar dari lamunanku itu, aku hanya bisa melihat punggung bapak itu dari
kejauhan. Punggungnya yang tertutup sekarung besar sampah. Bapak itu hanyalah
seorang pemulung keliling. Tak lebih rapi penampilannya dariku. Bahkan mungkin
tak lebih baik penghasilannya dibandingkan uang jajanku. Tapi, nasi bungkus di
sampingku ini saksi kebaikan tak mengenal materi, kebaikan tak mengenal usia,
kebaikan tak mengenal kelas sosial.", Bapak Tua itu berhenti sejenak
sambil menatap ke luar ke arah tangga itu.
Ia kemudian
menarik nafas panjang dan terlihat matanya berkaca-kaca.
"Satu
suap, dua suap, tiga suap, hingga aku menyelesaikan suapan terakhirku. Tiap
suapan itu begitu berarti. Entah tanpa sadar air mataku mulai menetes. Aku baru
sadar betapa nikmatnya menyantap makanan. Selama beberapa hari ini makanan itu
hanya sekedar lewat. Rasanya? Apa yang ku makan juga tak kuingat. Hanya wajahnya
yang selalu teringat dan selalu hadir bersama kesedihan. Asal kamu tau, Dek,
makanan yang ku makan inilah makanan yang diberikan bapak itu 30 tahun
lalu."
Begitu penuh
arti menu sederhana itu. Begitu malu aku jika ingat tadi aku sempat mengejek
dalam hati. Aku hanya diam menunduk, tanpa berani memandang wajah Bapak Tua itu
yang kembali melanjutkan kisahnya.
"Sebungkus
nasi itu merubah alur hidupku, Dek. Dulu aku bahkan sempat berpikir untuk kabur
saja ke ujung dunia. Lari sejauh-jauhnya. Meninggalkan kenangan itu di sini.
Tapi, untuk apa? Sejauh apa pun aku lari aku juga masih mungkin teringat
tentangnya. Jawaban kegundahanku itu ada di sebungkus nasi, Dek. Nasi yang
terbungkus ketulusan dan kebaikan."
Bapak Tua
itu berhenti sejenak. Aku bertanya-tanya akhir kisah itu. Aku mulai
membayangkan berada di sana 30 tahun yang lalu.
"Aku
memang tersenyum selepasnya, Dek. Tapi, aku juga bersedih sampai
sekarang.", suara Bapak Tua itu mulai parau.
"Aku
tak pernah tahu namanya. Aku tak pernah tahu rumahnya. Bahkan aku tak pernah
sempat mengucapkan terima kasih. Tiga hari setelah kejadian itu aku selalu
datang menunggu di tangga mesjid pada waktu dzuhur. Tapi, bapak itu tak pernah
datang. Hari keempat aku sempatkan bertanya ke sini, ke tukang masak yang tadi
mengantarkan makananku. Ajal tiada yang tahu, Dek. Selepas menemuiku, bapak itu
tertabrak mobil di ujung jalan raya. Beliau meninggal di tempat dan entah
setelahnya dikuburkan dimana karena beliau bukan orang asli sini."
Bapak Tua
menyempatkan meminum teh manis di hadapannya, kemudian melanjutkan lagi.
"Belakangan
aku baru tahu, 3 hari terakhir bapak itu selalu makan di sini. Di meja yang
terdekat dengan tukang masak. Dia sering bercerita tentang anak lelakinya yang
kabur entah kemana. Kabur gara-gara berselisih pendapat urusan melanjutkan
sekolah di luar pulau. Bapak itu sangat menyesal tidak bisa membahagiakan anak
laki-laki satu-satunya itu hingga masa tuanya. Makanya, saat dia melihat aku
yang termenung di ujung tangga, dia selalu berkata kepada tukang masak,
"Andai aku bisa membantu anak itu tersenyum kembali, mungkin orang tuanya
akan sedikit bahagia." Kalimat itu terucap terus setiap hari, Dek, hingga
dia memutuskan membelikanku sebungkus nasi."
Aku hanya
bisa terdiam mendengarkan serentetan kisah sejarah ini. Ada ayah yang tak
sempat membahagiakan anaknya. Begitu juga ada anak yang tak sempat
membahagiakan ayah atau ibunya. Ada juga orang yang tak sempat mengucapkan
terima kasih seperti kisah Bapak Tua ini.
"Dek,
makanya aku bertekad sejak saat itu untuk banyak berbuat kebaikan sebagai ganti
ucapan terima kasihku pada beliau. Juga sebagai pengusir kegalauanku. Saat kamu
bisa berbuat baik ke orang lain, percayalah hatimu akan diliputi sedikit
kebahagiaan. Bayangkan jika kau berbuat banyak kebaikan? Berapa banyak bahagia
yang bisa kamu hadirkan sebagai ganti kesedihanmu?", lanjut Bapak Tua itu
memecah keseriusanku menyimpulkan makna kisah ini.
"Kalau
pun kau tak percaya, Dek. Setidaknya percayalah bahwa makanan di sini memang
enak dan membuat hati lega. Itu saja sudah cukup. Kau sudah berbuat baik dengan
tersenyum saat membayar masakan mereka.", kata Bapak itu menutup kisahnya.
Aku sekali
lagi hanya mengangguk. Hanyut akan pemikiran-pemikiran baru yang hadir setelah
ku dengar kisah ini.
"Terima
kasih, Pak. Terima kasih."
"Sama-sama,
Dek. Bapak hanya cerita saja. Tidak lebih. Kalau begitu, bapak ijin undur diri
dulu. Percayalah bukan kebetulan kalau bapak melihat kamu termenung tadi. Sama
halnya seperti Bapak Tua itu dulu melihat bapak. Tuhan selalu memberikan jalan
bagi orang yang tidak berputus asa. Kalau ada jodohnya, suatu waktu kita
berjumpa lagi. Semoga mukamu sudah tidak sekusut tadi, Dek.", Bapak Tua
itu berlalu sambil menepuk bahuku dan menebar senyum yang sangat bahagia. Ia
berjalan menuju kasir lalu berlalu meninggalkan rumah makan ini.
Tidak terasa
20 tahun sejak pertemuan itu aku sudah tak pernah bertemu dengan Bapak Tua itu.
Tapi, aku masih sering mampir ke rumah makan ini sesekali walaupun aku sudah
tidak tinggal di komplek sekitar sini. Sekedar mengobati rindu akan menu
sederhana yang melegakan hati ini. Sekarang tampaknya giliranku berkisah.
Tampak di ujung sana pemuda dengan tampang kusutku yang dulu.
23-25
Februari 2015
D. Sudagung
No comments:
Post a Comment