Pernahkah kita memperhatikan kondisi di jalan raya akhir-akhir ini?
Saya dalam satu tahun terakhir berpikir-pikir atas apa yang saya
amati dari rutinitas berkendara di Kota Bandung dan sekitarnya. Adalah
fakta bahwa aturan-aturan di jalan semakin ditinggalkan, tanda tidak
boleh parkir, tanda tidak boleh stop, dilarang memutar, menyebrang jalan
sembarangan, menerobos lampu merah, tidak mengenakan helm, melawan
arus, dan sebagainya.
Suatu hal yang menjadi perhatian saya adalah mengenai hubungan
pejalan kaki dan pengendara kendaraan bermotor. Sering sekali saya temui
pengendara motor dan mobil tidak memberikan hak pada pejalan kaki untuk
menyebrang. Jangankan untuk pejalan kaki, sering kali sesama pengadara
kendaraan tidak mau mengalah. Hal ini sudah menjadi kejadian yang sering
terjadi menunjukkan bahwa sesama pengguna jalan saling tidak
menghormati.
Namun, satu hal yang unik dan menarik perhatian saya dari hubungan
pejalan kaki dan pengendara kendaraan adalah pejalan kaki juga terkadang
tidak menghargai pengguna jalan yang lain atau bahkan dirinya sendiri.
Pernyataan ini muncul di benak saya saat saya sering melihat kejadian
orang-orang yang menyebrang sembarang tempat, orang-orang yang
menyebrang di lampu merah saat lampu lalu lintas berwarna “hijau”.
Untuk kejadian yang pertama, dalam beberapa kasus saya melihat
masalahnya bisa muncul karena dua hal. Pertama, kebiasaan dari
orang-orang yang mengabaikan zebra cross dan jembatan penyebrangan. Ada
kecenderungan “ngoboi” atau semau-maunya di jalan, dan tidak hanya
dilakukan oleh pengendara motor tapi juga dilakukan oleh pejalan kaki.
Kedua, dalam beberapa kasus pejalan kaki tidak diberi tempat untuk
menyebrang jalan. Salah satu yang saya perhatikan adalah jarak antar
zebra croos terlalu jauh. Kalau mau menyebrang harus berjalan agak jauh
sehingga tidak praktis, mungkin ini yang ada di benak beberapa pejalan
kaki. Saya mengamati dari mulai zebra cross di depan kampus IKOPIN,
Jatinangor, sampai dengan depan kampus UNPAD, Jatinangor tidak tedapat
zebra cross. Logisnya, muncul pertanyaan bagaimana mahasiswa UNPAD
menyebrang jalan jika tidak ada zebra cross? Bukankah ini artinya kita
mengambil hak perlindungan bagi para penyebrang jalan?
Kejadian yang kedua adalah salah satu kejadian paling unik yang
membuat saya berpikir bahwa pejalan kaki juga sudah tidak teratur di
jalan. Tertular oleh kebiasaan para pengguna motor dan mobil yang
cenderung melanggar lampu lalu lintas. Beberapa kali saya melihat
orang-orang yang menyebrang saat lampu lalu lintas berwarna hijau.
Seolah-olah karena menganggap mendapat hak special di jalan, mereka
menggunakan kekuasaan itu untuk melanggar aturan.
Jika kita melihat kejadian-kejadian yang terjadi di jalanan yang
semakin padat, macet, dan tidak teratur dapat saya tarik satu kesimpulan
bahwa pengguna jalan tidak sabaran. Ketidaksabaran ini yang membuat
kita tidak menghargai pengguna jalan yang lain. Untuk itu kita harus
mulai mengintrospeksi diri. Apakah kita semua tidak mendambakan jalan
yang lancar dan teratur? Lantas apa yang bisa kita ubah dari perilaku
kita saat ini?
Upaya pertama adalah mengembalikan kembali budaya saling menghargai
di jalan. Semua pengguna jalan memiliki haknya yang harus kita hargai.
Sikap saling menghargai ini harus diterapkan kembali dalam diri kita
masing-masing.
Lantas, untuk masalah penyebrangan jalan apa yang dapat kita lakukan?
Suatu ide yang saya rasa bisa diterapkan dalam menyikapi hal ini adalah
menggalakkan budaya menyebrang pada tempatnya. Pada tempatnya berarti
tempat dalam arti fisik dan tempat dalam arti waktunya. Zebra cross
dipertimbangkan lagi jarak dan penempatannya sehingga pejalan kaki
diberikan haknya untuk menyebrang. Jika jalan tersebut dirasakan terlalu
berbahaya untuk disebrangi, ada baiknya jembatan penyebrangan dibuat
seperti di depan kampus UNPAD.
Kemudian, yang kedua adalah mempromosikan budaya menyebrang yang
baik. Kita bisa mulai dengan memberikan plang “menyebrang di sini” di
setiap tempat penyebrangan jalan. Kita mulai dengan ajakan dan jangan
lupa dengan mulai merubah diri kita. Satu kalimat yang sangat bagus
adalah “Kalau mau merubah dunia, jangan lupa untuk mulai dengan merubah
diri sendiri.” Kalau satu per satu kita sudah bisa membudayakan tertib,
kita tunggu waktunya langkah-langkah kecil itu menjadi ombak yang
menggulung dan merubah kebudayaan tidak teratur saat ini.
Oleh D. Sudagung
5 November 2013