Hubungan Internasional di Indonesia mulai berkembang sejak tahun
1960-an. Adalah Universitas Gadjahmada (UGM), Universitas Indonesia
(UI), dan Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang menjadi universitas
pertama menyediakan jurusan Hubungan Internasional. Hal ini dikarenakan
kebutuhan pemerintah Indonesia untuk mendidik calon-calon diplomat.
Hubungan Internasional kemudian ikut tumbuh seiring diawali kelahirannya
di beberapa universitas tersebut. Fenomena ini dituliskan oleh Bob S.
Hadiwinata dalam artikelnya yang mengulas perkembangan Hubungan
Internasional di Indonesia mulai dari periode awal hingga tahun 2008.
Pada tulisan berjudul “International relations in Indonesia: historical legacy, political intrusion, and commercialization”, Hadiwinata
memotret perkembangan Hubungan Internasional yang berkembang sangat
pesat di Indonesia. Setidaknya terdapat beberapa argumen penting dalam
tulisan ini yang dapat penulis kategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu
sejarah, kondisi politik domestik, dan komersialisasi pendidikan.
Pada periode awal Hubungan Internasional dibawa dari luar Indonesia
dikarenakan kebutuhan. Salah satu poin yang diutarakan oleh Hadiwinata
adalah sejarah Indonesia mempengaruhi lahirnya Hubungan Internasional di
Indonesia. Pengaruh besar Amerika Serikat pada tahun 1960-1970 dalam
perkembangan Hubungan Internasional sangat jelas terasa. Salah satunya
adalah penggunaan buku-buku Hubungan Internasional yang didominasi oleh
pemikir Realis dari Amerika Serikat, seperti George F. Kennan, H. J.
Morgenthau, Kenneth Waltz, Ernst B. Haas, dan sebagainya. Bukti lainnya
dapat terlihat pada salah satu buku terbitan Suwardi Wiriaatmadja,
yaitu Pengantar Hubungan Internasional. Di mana dalam tulisan ini sangat terpengaruh oleh pemikiran Morgenthau dan Kennan.
Selain itu, hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat di era Orde
Baru ikut berperan besar dalam perkembangan studi Hubungan
Internasional. Seperti disebutkan dalam tulisan Hadiwinata ini, beberapa
penstudi Hubungan Internasional melanjutkan studinya di Amerika
Serikat. Hasil dari studi mereka ini mempengaruhi universitas tempat
mereka bernaung, di mana mulai dibukanya beberapa mata kuliah Studi
Kawasan di Indonesia. Studi Kawasan ini sendiri menjadi salah satu ciri
khas Hubungan Internasional di Amerika Serikat. Ditambah lagi dengan
pengalaman pahit pemerintah Indonesia dengan Komunisme mengakibatkan
aliran Marxisme sangat diasingkan, bahkan menjadi salah satu aliran
sesat di masa itu. Hal ini semakin memperkuat pengaruh pemikiran
Realisme pada penstudi Hubungan Internasional di Indonesia.
Menurut penulis, perihal sejarah ini merupakan salah satu poin
penting dalam perkembangan studi Hubungan Internasional di Indonesia.
Sebagai ilmu yang memang berkembang dan lahir di Barat, sudah
sepantasnya Indonesia sangat terpengaruh pada siapa yang pertama kali
mempekenalkan ilmu tersebut. Layaknya seorang balita yang baru belajar
berbicara, kata-kata yang pertama diucapkan dan teringat adalah
kata-kata yang diajarkan pertama kali oleh orang tuanya. Begitu pun ilmu
Hubungan Internasional yang diajarkan di Indonesia sangat terpengaruh
oleh penyebar pertama dari ilmu tersebut. Di mana dalam hal ini Amerika
Serikat melalui penstudinya yang ikut merumuskan kurikulum di UGM dan
tujuan studi penstudi Hubungan Internasional generasi pertama yang
memilih Amerika Serikat sebagai tempat studi. Ditambah dengan paham
anti-komunisme yang berkembang di Indonesia pasca peristiwa Gerakan 30
September 1965, membuat pemikiran Marxisme sebagai asal dari Komunisme
mendapat tentangan yang keras. Mengingat juga pada saat itu, kondisi
dunia sedang dihadapkan pada pertentangan power antara dua kubu besar, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sehingga konsep-konsep seperti power, national interest, balance of power,
dan sebagainya dirasa relevan untuk dijelaskan dalam studi Hubungan
Internasional, khususnya di Indonesia. Sehingga pemikiran-pemikiran
Realisme menjadi lebih mudah diterima.
Argumentasi kedua yang dipaparkan oleh Bob S. Hadiwinata adalah
kondisi politik di Indonesia. Kondisi politik ini dijelaskan oleh
Hadiwinata dalam empat penjelasan utama. Pertama, terdapat hubungan yang
erat antara penstudi Hubungan Internasional dan birokrasi. Kedua,
pengaruh pemerintah sangat kuat di kalangan akademisi. Ketiga, rasa
nasionalisme yang tinggi di kalangan penstudi Hubungan Internasional
terkait dengan arah kebijakan pemerintah. Keempat, posisi Indonesia di
ASEAN tidak popular di kalangan penstudi Hubungan Internasional.
Pada poin pertama disebutkan bahwa beberapa penstudi ilmu sosial di
Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan birokrasi. Keterkaitan ini
terlihat dari diberikannya posisi menteri yang diserahkan kepada
akademisi ilmu sosial. Beberapa nama seperti Emil Salim, Sumitro
Djojohadikusumo, Ali Wardhana, Radius Prawiro, dan Mochtar Kusumaatmadja
pernah menjabat sebagai menteri di era Orde Baru. Kondisi ini
dipengaruhi oleh posisi menteri yang prestisius dan insentif sebagai
penstudi yang tidak seberapa dibanding menjadi pejabat publik.
Hadiwinata menjelaskan kondisi ini menjadi salah satu alasan kurang
berkembangnya ilmu sosial dan hubungan internasional. Ketersediaan waktu
penstudi yang menjadi birokrat tersita oleh tugas-tugasnya ketimbang
menghabiskan waktu mengembangkan penelitian untuk kemajuan ilmu sosial.
Penulis melihat hal ini menjadi sangat wajar karena merupakan pilihan
realistis untuk mengabdi pada negara ketimbang melanjutkan pengajaran
atau penelitian yang apresiasinya minim. Bahkan sampai sekarang
apresiasi untuk penelitian dari berbagai pihak masihlah minim.
Kedua, kekuasaan pemerintah di era Orde Baru sangatlah kuat dimana
salah satunya adalah di kampus. Beberapa kebijakan-kebijakan yang
mengatur pergerakan di kampus sangatlah ketat. Mulai dari program
“Naturalisasi kampus” dan pengontrolan organisasi sosial yang berdampak
pada penggunaan akademisi ilmu sosial sebagai instrumen pemerintah untuk
mencapai kekuasaan. Pergerakan mahasiswa dan akademisi menjadi
terbatas. Karena dalam beberapa kasus jika ditemukan pemikiran mereka
bertentangan dengan pemerintah, maka dampaknya sangat besar. Diantaranya
adalah penangkapan, pengasingan, perusakan citra diri, atau bahkan bisa
saja diculik dan tidak kembali. Beberapa kasus yang disebutkan dalam
tulisan Hadiwinata ini adalah pemberhentian Arief Budiman, Ariel
Haryanto, dan George Aditjondro. Kondisi seperti ini menurut penulis
semakin memperkuat alasan ilmu sosial, khususnya ilmu Hubungan
Internasional tidak berkembang di Indonesia. Khususnya di era Orde Baru
di mana semuanya sangat bergantung pada keinginan pemerintah. Kekuasaan
yang hampir absolut menyebabkan penstudi tidak bisa mengembangkan ilmu
secara keseluruhan. Ilmu-ilmu yang dikembangkan cenderung praktis dan
hanya menguntungkan pemerintah.
Seperti juga disebutkan kemudian oleh Bob S. Hadiwinata bahwa
penelitian-penelitian yang dilakukan tidak lepas dari siapa yang
mendonorkan dana penelitian. Sering kali penelitian hanya ditujukan
untuk menjawab masalah atau isu yang berguna bagi pendonor. Baik dari
pemerintah ataupun swasta yang berkepentingan. Hal ini ikut mempengaruhi
poin ketiga mengenai rasa nasionalisme penstudi. Akibat dari orientasi
penelitian yang ditujukan pada kebutuhan pemerintah mengakibatkan
perkembangan objek kaji hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan
Indonesia saja. Mulai dari hubungan bilateral, kepentingan nasional, dan
sebagainya.
Bahkan pada poin keempat disebutkan bahwa ASEAN sebagai tempat di
mana Indonesia berada tidak menjadi menarik. Salah satunya akibat
nasionalisme yang tinggi sehingga menjadikan penelitian terhadap negara
di kawasan Asia Tenggara lainnya tidak menarik. Karena di Indonesia
masih berkembang nasionalisme yang malah berujung pada sentimen pribadi
terhadap suatu negara tertentu, contohnya Malaysia. Masyarakat secara
umum atau bahkan penstudi tidak sedikit yang terjebak pada sentimen
terhadap Malaysia. Hal ini mengingat beberapa sejarah dan beberapa kasus
terbaru yang mengarahkan Malaysia sebagai public enemy. Belum lagi dihadapkan oleh kendala bahasa negara-negara Asia Tenggara lainnya yang tidak populer di Indonesia.
Penulis mengakui poin ketiga dan keempat merupakan kenyataan
yang terjadi di kalangan mahasiswa Hubungan Internasional hingga saat
ini. Merupakan alasan yang logis bagi para mahasiswa kemudian mengambil
objek kaji yang lebih banyak sumber referensinya seperti di Eropa,
Amerika, Timur Tengah, atau Amerika Latin. Tidak bisa dipungkiri
bahan-bahan mengenai negara-negara di Asia Tenggara masih sangat minim.
Disamping itu faktor biaya yang sangat besar untuk berpergian ke negara
yang dikaji membuat para mahasiswa cenderung bermain aman dengan
meneliti negara-negara yang lebih banyak referensinya di internet atau
di perpustakaan.
Menurut penulis, salah satu masalah yang dihadapi oleh mahasiswa
Hubungan Internasional adalah ketersediaan bahan rujukan. Buku-buku
referensi untuk studi Hubungan Internasional masih sangat kurang di
Indonesia, sehingga banyak penulis temukan rekan-rekan sesama mahasiswa
yang lebih banyak memilih melakukan pencarian rujukan hanya sebatas
artikel di internet. Ketersediaan buku di perpustakaan atau akses ke
kedutaan sangat terbatas bagi para mahasiswa sarjana. Sehingga tidak
sedikit yang merasa kapok menekuni studi Hubungan Internasional yang
berujung pada hasil penelitian skripsi menjadi serba seadanya. Kondisi
ini merupakan suatu proses seleksi alam yang tidak terkontrol. Mengingat
peminat dari jurusan Hubungan Internasional di Indonesia meningkat
sangat pesat, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan pesat pada
jumlah penstudi atau penelitinya.
Menurut penulis, nasionalisme juga penting dalam perkembangan ilmu
Hubungan Internasional di Indonesia. Supaya bisa menunjukkan nilai-nilai
Indonesia yang dapat diadopsi bagi kepentingan ilmu pengetahuan.
Seperti contohnya, Deklarasi Juanda yang akhirnya diimplementasikan ke
dalam United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS)
menunjukkan bahwa dari segi pemikiran orang-orang Indonesia tidak kalah
dibandingkan dengan orang-orang di negara maju. Meskipun di sisi yang
lain nasionalisme yang membutakan justru membuat kita menjadi tinggi
hati dan tidak bisa bersifat netral. Padahal ilmu Hubungan Internasional
bersifat lebih luas dan tidak hanya sebatas pada Indonesia saja.
Kondisi pendidikan tinggi di Indonesia terkini kemudian dibahas dalam
argumen keempat oleh Bob S. Hadiwinata dalam tulisan ini. Beliau
menyebutkan mengenai komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Hal
ini turut mendorong rendahnya kualitas penelitian Hubungan
Internasional. Banyaknya jumlah peserta didik dan perkembangan jumlah
jurusan Hubungan Internasional yang sangat pesat ternyata tidak didukung
oleh sistem pendidikan yang baik dari pemerintah. Atas nama pemenuhan
kebutuhan keuangan universitas, maka jumlah mahasiswa diutamakan
dibanding dengan kualitas pengajaran dan kualitas penelitian.
Pengaruh yang dirasakan adalah habisnya waktu para peneliti Hubungan
Internasional untuk mengajar dan melakukan proses bimbingan kepada
mahasiswa. Demikian juga penulis melihat dampaknya pada para calon
peneliti (mahasiswa sarjana) Hubungan Internasional. Dengan jumlah
mahasiswa yang tidak sebanding dengan jumlah pengajar mengakibatkan
proses penyerapan ilmu menjadi terhambat. Padahal para mahasiswa sarjana
ini merupakan cikal bakal penerus dari para peneliti-peneliti yang
sudah ada. Jika proses kaderisasinya saja sudah tidak baik, bagaimana
menghasilkan peneliti dan penelitian yang baik pula.
Kemudian kebijakan dari pemerintah mengenai promosi golongan para
penstudi yang lebih menitikberatkan pada poin pengajaran dan bimbingan.
Hal ini mengakibatkan poin pengabdian pada masyarakat dan penelitian
menjadi dinomorduakan, bahkan cenderung diabaikan. Menjadi wajar
kemudian para dosen-dosen lebih mengejar untuk menghabiskan waktu untuk
menambah poin dari mengajar dan proses bimbingan mahasiswa. Ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ada sistem yang ikut menghambat proses
perkembangan ilmu Hubungan Internasional di Indonesia.
Meskipun telah disinggung bahwa besar kemungkinan para lulusan
sarjana ini melanjutkan studi ke negara-negara maju seperti Inggris,
Amerika Serikat, Australia, Jerman, Jepang, dan lainnya. Tetapi, sistem
yang ada saat ini masih menyisakan masalah. Pada akhir tulisannya,
Hadiwinata menyebutkan bahwa perlu dilakukan revolusi pada manajemen
pendidikan tinggi. Pernyataan ini penulis lihat dilatarbelakangi oleh
fenomena hubungan akademisi dan birokrat yang terus terpelihara, proses
promosi golongan, prioritas waktu penstudi untuk mengajar saja sehingga
kualitas penelitian tidak mengalami kemajuan. Walaupun penstudi muda
melanjutkan studi di luar negeri, tetapi sekembalinya dari studinya
mereka kembali melanjutkan sistem yang diwariskan tersebut.
Penulis melihat dari tulisan ini argumen-argumen yang disampaikan
saling terkait. Mulai dari sejarah perkembangan Hubungan Internasional
hingga sistem warisan sejarah tersebut. Kemudian ditambah dengan sistem
terkini yang menuntut kampus untuk mencari dana lebih dari para
mahasiswa (komersialisasi). Hal ini mengerucut pada dampak yang paling
krusial seperti disebutkan oleh Bob S. Hadiwinta, yaitu kualitas
penelitian dan perkembangan ilmu Hubungan Internasional yang berjalan di
tempat. Meskipun tidak secara keseluruhan berjalan di tempat sejak
tahun 1960an karena memang terdapat beberapa perkembangan yang baik
pula.
Tetapi, jelas terdapat satu faktor penghambat perkembangan ilmu
Hubungan Internasional yang penulis temukan dalam tulisan ini, yaitu
terkait hasil publikasi dan penelitian. Buktinya adalah tidak adanya
satu pun jurnal Hubungan Internasional yang terakreditasi nasional.
Penulis melihat bukti ini adalah yang sangat menegaskan bahwa ilmu
Hubungan Internasional masih belum terlalu berkembang di Indonesia.
Penyebabnya sudah tampak mulai dari rentetan sejarah, pengaruh sistem
kekuasaan yang mengekang perkembangan akademisi, preferensi kajian
penelitian, sampai dengan waktu peneliti yang terbatas.
Penulis sampai pada kesimpulan bahwa perkembangan ilmu Hubungan
Internasional tidak lepas dari pengaruh Amerika Serikat sebagai rujukan
utama. Kemudian, ilmu Hubungan Internasional di Indonesia mengalami
beberapa kendala dalam perkembangannya dikarenakan oleh pengaruh negara
yang sangat kuat di era Orde Baru, masuknya akademisi ke dalam birokrasi
pemerintahan, paham nasionalisme yang berlebihan, kajian yang hanya
disesuaikan dengan kepentingan negara atau lembaga donor, dan yang
terkini adalah komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Penulis
menilai tulisan Bob S. Hadiwinata cukup komprehensif menjelaskan
mengenai Hubungan Internasional di Indonesia sejak awal kelahirannya
hingga tahun 2008. Hanya saja penulis melihat terdapat beberapa kali
penyampaian alur yang maju mundur. Seperti pada sub-bab 1 mengenai
sejarah, tapi kemudian dibahas kembali di sub-bab 2 dan 3. Sehingga pada
beberapa bagian bacaan ini kurang mengalir dan membuat pembaca seolah
kembali lagi ke penjelasan yang sebelumnya. Meskipun kemudian pada
sub-bab 5 penjelasan mengenai komersialisasi sudah dapat memperjelas
pembaca bahwa semua itu mengerucut pada gagasan merevolusi manajemen
pendidikan tinggi di Indonesia.
Melalui tulisan tersebut, penulis mendapat beberapa tambahan
informasi yang patut diapresiasi. Terutama mengenai sejarah studi
Hubungan Internasional di Indonesia. Sudah sering penulis membaca
mengenai ilmu Hubungan Internasional secara umum, isu-isu Hubungan
Internasional dan perspektif yang digunakan dalam ilmu ini. Tetapi, baru
lewat tulisan ini penulis dibawa menjelajahi sejarah dan perkembangan
ilmu Hubungan Internasional di Indonesia. Mengutip dari pernyataan
Presiden Soekarno pada peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia
pada tahun 1966, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”. Penulis
berpendapat masalah-masalah yang dipaparkan oleh Hadiwinata sebenarnya
dapat diperbaiki dengan mengulas kembali asal mula terjadinya
masalah-masalah tersebut.
Dengan demikian, para penstudi Hubungan Internasional di Indonesia
dapat memikirkan langkah-langkah untuk mengembangkan ilmu Hubungan
Internasional, khususnya meningkatkan kualitas publikasi penelitian yang
lebih baik. Walaupun nantinya tidak menutup kemungkinan terdapat
beberapa kubu yang membela sejarah dan beberapa yang ingin memperbaiki
sejarah. Tetapi, bukankah perkembangan ilmu Hubungan Internasional
sendiri juga dihiasi dengan Great Debates sehingga memunculkan
isu-isu atau teori-teori baru yang memperkaya ilmu itu sendiri? Tidak
ada salahnya kita berdebat selama dapat memunculkan pemikiran dan
gagasan yang baru demi kemajuan ilmu Hubungan Internasional di
Indonesia.
Oleh Adityo D. Sudagung
"International Relations in Indonesia: historical legacy, political intrusion, and commercialization", merupakan tulisan dari Bob S. Hadiwinata yang dipublikasikan pada tanggal 6 November 2008 pada International Relations of the Asia-Pasific Advance Access.