19 April 2015

Kisah Di Balik Hujan

Sore ini aku terdampar di sudut kota. Di sebuah kedai kopi yang kuhampiri karena di jalan hujan sangat deras. Saat inilah aku melihat bidadari jatuh dari langit. Ia duduk dengan manisnya di sudut kedai kopi ini. Aku tak perlu jelaskan detail rupanya, bidadari kawan. Bayangkan sajalah wanita tercantik di dunia. Itulah dia. Nanti kalian juga tau bagaimana rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Ini hanya pertemuan pertama. Akal sehatku cukup cepat menamparku dan menyadarkanku untuk berpijak ke bumi. Setelah hari itu aku cukup sibuk hingga tidak sempat iseng menemuinya di sana.
Pertemuan kedua dan di momen yang hampir sama. Aku menemukannya kembali di tempat yang sama. Dua kali ketemu, apalagi kalau bukan tanda ini? Tapi, berhubung aku cukup pemalu aku urungkan perkenalan itu. Hari ini aku ingin menikmati keindahannya lebih lama. Dia sesekali menatap ke jendela dengan tatapan kosong. Manis. Mau dia menatap kosong atau tidak, aku rasa hatiku tetap bilang manis. Aku mulai banyak berkhayal tentang perkenalan dan obrolan yang nanti aku lakukan dengannya. Tapi, dia tidak menoleh ke sini. Sudahlah, hari ini aku cuma ingin berteduh dan meminum secangkir kopi hangat. Untungnya ada bonus bertemu dia lagi.
Pertemuan ketiga, tepatnya pada bulan ketiga. Aku bertemu lagi dengan dia. Aku sampai pada kesimpulan, kami selalu berjodoh saat hujan. Dia seperti biasa, mengenakan pakaian terbaik, meminum kopinya dan sesekali melihat jendela. Apakah gerangan yang kau lihat, nona? Lihatlah kemari, pangeran tampan sudah di sini.
Setelah aku berkata begitu, sialnya dia menoleh ke arahku dan tersenyum. Aduh, apa dia bisa telepati? Apa dia bisa baca pikiran orang? Matilah aku. Beberapa kali membicarakannya dalam hati. Aku kikuk hanya bisa membalas senyum dan tentu saja mukaku memerah. Ia kembali menoleh ke jendela. Tatapannya kosong. Hey, nona ada apa denganmu? Sejurus tadi senyummu begitu hidup. Tapi, selepasnya kau mati kembali.
Aku sengaja berlama-lama di kedai itu hingga ia lebih dahulu pulang. Sebelum pulang dia sempat menoleh dan tersenyum ke arahku. Mungkin maksudnya “Terima kasih atas perhatiannya, tenang aku baik-baik saja”.
Ia adalah misteri baru dalam pikiranku. Aku pun memberanikan bertanya ke barista sekaligus kasir. Siapa tau dia tau tentang nona itu.
Benar saja, bapak ini tau satu rahasia kecil bidadariku. Bidadariku? Bidadari dalam khayalanku lebih tepatnya. Ternyata dia begitu selepas ditinggal mati calon suaminya. Persis sehari sebelum pernikahan. Bagai disambar petir di siang bolong, aku tersentak. Keras sekali hidupmu, nona.
“Dan entah kenapa sudah setengah tahun ini hujan turun di tanggal 16. Tanggal itulah dia mendengarkan kabar duka itu saat tengah hujan di rumahnya. Sejak itu, menurut temannya yang pertama kali membawanya ke sini, ia selalu datang saat hujan di tanggal 16 ke sini. Hanya duduk memesan secangkir cappucinno, menatap keluar, sesekali dia aku lihat menangis. Entah kebetulan atau itu jalan Tuhan, dia semakin sedih saat hujan semakin deras. Aku pernah kebetulan melewati mejanya saat dia menangis terisak-isak. Dan untungnya bunyi hujan lebih keras, hingga tangisan pilunya tidak menggangu pelangganku yang lain”, ucap barista di kedai ini.
“Aku pernah iseng bertanya, "Mbak, suka nongkrong di sini akhir-akhir ini?” Dia hanya menjawab singkat, “Aku suka hujannya, kopinya, dan tempat duduk yang nyaman ini. Terima kasih Pak.”, begitu kurang lebih percakapan kami 3 bulan yang lalu. Sejak aku tahu kisahnya itu, aku selalu datang menghampiri dengan pesanan favoritnya tanpa pernah lagi menyodorkan menu. Mungkin aku bisa membantu dengan secangkir kopiku, dan aku bahagia bisa membantu orang lain.“
"Sayang sekali, kisah hidupnya begitu sedih. Padahal wajahnya cantik. Kalau saja langit tidak sekelam sekarang, mungkin ia juga bisa ikut tersenyum seperti mentari”, timpalku atas cerita kasir itu.
“Kawan, biarkan saja hujannya turun dengan deras. Karena semakin deras akan semakin pilu ia menangisi kepergiannya. Dan saat semua tangisnya telah usai, semoga ia lebih cepat melupakan kenangan itu”, balas barista itu menanggapi kata-kataku.
“Ah, bodohnya aku. Kenapa aku begitu terobsesi pada senyumnya. Bahkan aku seolah memaksanya tersenyum. Sementara hatinya? Ia masih memendam kesedihan dalam hati. Bagaimana bisa ia tersenyum manis? Kalaupun ia membalas senyumanku, itu tak lebih hanya senyuman ala kadarnya. Aku bodoh sekali menanti senyuman itu. Harusnya aku ikut menghibur hatinya yang bersedih”, aku berdebat dengan hatiku, sambil ku bayar tagihan minumku sore ini.
Bulan depan, ya mulai bulan depan. Aku akan kembalikan senyumanmu nona. Kalau ini adalah takdir Tuhan, yang membuatku menatapmu, membuatku berdebar-debar melihatmu, biarkan aku bermakna dalam kisah hidupmu. Sekalipun kau belum tentu memberikan tempat di hatimu.

Selesai

19 April 2015
D. Sudagung

01 April 2015

Braga


Seorang muda sedang duduk di tepian jalan ibu kota. Jalan ini merupakan jantungnya ibu kota, dengan gemerlap sinar lampu dan bangunan klasik di sisi jalan. Banyak menyimpan kenangan bagi warga kota. Itulah aku, yang menikmati malam. Malam ini malam “spesial”. Karena akhirnya aku kembali melakukan rutinitas ini. Rutinitasku melakukan perenungan.

Apalah arti “spesial”? Buatku, spesial itu hanyalah saat hal itu tidak biasa terjadi. Bisa baik, boleh jadi buruk. Spesialnya hari ini adalah bertubi-tubinya masalah.

Pagi ini aku cukup “beruntung” mendapatkan kuliah dari pembimbingku. Kuliah ini berisi cercaan dan luapan emosi. Kesimpulannya satu, aku datang tidak di waktu yang tepat. Aku sejak pagi mengirimkan pesan singkat dan beberapa kali menelpon. Sesampai di kampus dan saat bapak itu melihat saya menunggu di depan ruangannya, kalimatnya hanya satu.

"Masuk kamu!"

Kalian pasti tahu kelanjutan ceritanya. Ya,  Aku hanya berdiri di samping pintu, mematung, berwajah pucat, beberapa kali jadi sasaran tunjuk dan untuk kali itu aku dekat dengan Tuhan. Karena baru saat itu aku kembali ingat kepada Tuhan dan berdoa semoga musibah itu segera usai.

Masalah kedua datang saat aku baru saja menjejakkan kakiku di kosan.

"Lek,  tolonglah kawanmu ini.", dia berteriak lantang dari lantai 2 saat tau aku datang.

Dia teman sebelah kamar di kostanku. Kami memang berbeda jurusan, tapi kami cukup akrab berhubung punya satu problem yang sama. Susah menjaga hubungan baik dengan pacar.

"Kenapa lagi, Lek? Kau apakan sekarang anak gadis orang? Kau tinggalkan di pinggir jalan dan suruh aku jemput lagi? Atau kau maki habis dia di depan restoran? Atau "

Belum selesai aku mencelanya, dia lantas memotong perkataanku.

"Bukan itu. Aku tidak sengaja menampar wajahnya. Lalu, dia menangis dan bilang putus. Aku khilaf, Lek. Aku lagi banyak pikiran dan dia tanpa mau tau mengajakku belanja dan hang out. Kami berdebat panjang dan sampai akhirnya telapak tangan ini melayang."

"Berat, Bung. Kali ini kau sudah terlewat bangsat. Aku kan sudah sering bilang, kalau mau berdebat tahan itu tangan. Kau lupa apa berapa banyak perabotan kosan yang kau banting setiap kali ribut dengan pacar-pacarmu dulu? Kaca depan motor, laptop, handphone, gagang sapu, helm, hampir semua barang sudah jadi korban. Kalau kepalamu bisa kau copot, aku rasa itu juga kau banting."

"Bukan gitu, Lek. Pusing ini kepala. Gimana ya?"

"Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Sudahlah, aku juga lagi kusut. Aku mau pergi dulu malam ini," aku tinggalkan saja temanku dan langsung masuk ke kamar.

Aku punya satu kebiasaan unik yang dikatakan aneh oleh teman-temanku. Aku suka bertapa. Ya, bukan bertapa seperti layaknya kisah-kisah pendekar zaman dahulu. Aku suka menghabiskan malam di pinggir jalan saat sedang gundah gulana. Lengkap sudah hari ini, aku dapat kuliah gratis plus curhatan bodoh teman sebelah kamar. Mau melanjutkan ketikan pun sudah muak. Tumpukan buku yang menyambut di kamar sudah cukup membuatku tambah stres. Mungkin sedikit udara malam bisa mencairkan suasana hatiku.

————————————————————————————

Kota ini punya banyak kisah sejarah. Lihat saja sepanjang jalan Braga ini. Banyak sekali bangunan klasik, yang boleh jadi dulu di masa jayanya lebih indah dari sekarang. Inilah kenapa aku suka merenung di sini. 

Aku teringat ucapan Pak Tua yang pernah menemaniku menyereput kopi dulu. Dia bilang, “Dulu kota ini lebih indah dibanding sekarang. Banyak pohon rindang, hawa sejuk, bangunan megah di mana-mana, orang-orang Belanda dan pribumi yang saling sapa dan akrab. Sejak aku kecil aku sangat senang berjalan di sekitar sini. Indah sepanjang mata memandang,”  Sekarang lihatlah, orang-orang sebangsa yang lewat tanpa ingat menyapa. Kau lihat juga trotoar di depan situ? Hanya jadi bongkahan batu karena ketidakbecusan oknum pemerintah. Aku sedih, nak.”

Setelah tahu kisah indah tentang jalan ini, aku coba mencari-cari info bentuk wajahnya dahulu. Sejak saat itu setiap kali aku ke sini aku memenuhi kepalaku dengan imajinasi sudut-sudut jalan dan bangunan di sini.  Ayahku pernah mengajariku setiap tiba di suatu tempat, sempatkan untuk menutup matamu sejenak dan bayangkan apa yang mungkin terjadi pada zaman dahulu di tempat ini. Penuhi imajinasimu dengan pengetahuan sejarah dan khayalanmu sehingga kita bisa merasa seperti pernah di tempat itu. Mungkin pengalaman itu yang membuatku betah berlama-lama duduk di jalan ini.

Jalan ini sekarang memang sedang sakit. Sakit karena jalannya banyak lobang galian, trotoar yang berantakan, pohon-pohon yang berserakan di tepi jalan. Belum lagi di beberapa titik ada pengemis dan gelandangan yang sepanjang malam menghabiskan waktu menyatu dengan dinginnya malam. Padahal di depan mereka atau di belakang mereka tempat makan mewah, bar, mal, hotel berdiri gagah. Tapi, sebuah ironi karena di tengah pesatnya ekonomi sekelompok masyarakat ternyata tumbuh pula keterpurukan dan penyakit sosial seperti itu di sini. Kalian mungkin bisa lihat mobil bagus berjejeran parkir di pinggir jalan dan di dekatnya kalian juga bisa lihat gelandangan dengan pakaian compang-camping beralaskan kardus duduk merenung menengadahkan tangan. Indahkah pemandangan ini?

Ketimpangan ini yang sering aku kutuk dalam lamunanku. Bahkan aku suka iseng sembari merokok duduk di samping gelandangan itu. Perlu kalian tahu di kota ini sudah berpuluh tahun diterapkan larangan memberikan uang pada pengemis. Sehingga tidak sedikit orang yang sangat patuh dengan aturan dan sekedar lewat saja di hadapan mereka. Untuk tersenyum pun tidak. Lewat saja. Mungkin mereka-mereka ini sudah tidak ada artinya bagi orang-orang kaya itu.
 
Kadang-kadang aku juga memikirkan bulan yang jauh di sana. Kenapa bulan tidak duduk saja di sini menemani aku ngobrol. Atau bintang-bintang juga ikut di sini supaya lebih ramai. Tanpa terasa banyak hal sudah jadi bahan renunganku, termasuk kamu.

“Ah, sudahlah. Aku di sini tidak untuk meneteskan air mata. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan kamu? Di sinilah kadang aku bingung dengan pikiranku sendiri, kenapa memunculkan ingatan tentang dia yang sudah lama pergi. Aku di sini untuk menikmati malam, rokok, dan kopiku. Sudah-sudah.” Itu ucapku tegas dalam hati.

Tiba-tiba aku mendengar bunyi recehan di sebelah tempatku duduk.

“Ini, Pak. Semoga bermanfaat ya.” Terdengar suara anak kecil yang ceria di sampingku.

Sudah lama aku tidak melihat orang yang memberikan uang kepada gelandangan atau pengemis. Anak kecil apalagi. Tampak tidak jauh ayahnya menyemangati dan memimpin tangannya. Sepertinya ayah anak kecil itu yang mengajarinya. Orang tua yang unik di zaman yang egois seperti sekarang. Aku penasaran dan kuikuti mereka. Betul saja, setiap akan bertemu dengan gelandangan dan pengemis ayah si anak mengeluarkan sejumlah uang untuk diberikan kepada pengemis melalui si anak.

“Pak, maaf uangnya jatuh.” Ucapku kepada Bapak itu.

“Oh, mungkin bukan, Dek. Karena saya tidak membawa uang sebanyak itu di saku celana saya.”

“Saya tidak menyangka masih ada orang baik di kota ini. Maaf mengganggu waktu Bapak. Apa boleh saya berbincang-bincang? Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan perihal pemberian Bapak kepada pengemis.”

“Boleh saja. Bagaimana kalau di nasi goreng di depan sana? Kebetulan anak saya sudah kelaparan dan ingin makan nasi goreng katanya. Benar kan, Ari?”

“Iya, Yah. Nasi goreng enak Mas Joko.”, ujar anak kecil itu dengan manjanya.
 
Kami pun berjalan ke gang di tengah jalan ini. Gang itu terkenal dengan beragam macam makanan yang di jual dan enak-enak. Aku juga suka menyempatkan diri makan terlebih dahulu sebelum pulang dari sini.

“Kenapa Bapak memberikan pengemis itu uang? Dan lagi Bapak mengajarkan anak Bapak? Tidak takut didenda?”

“Aku hanya mengikuti kata hati saja, Anak Muda. Dulu gurunya guruku pernah berpesan, “Berbuat baiklah, karena sebenarnya kita ini selalu menginginkan yang baik-baik. Yang baik itu adalah yang saat kamu lakukan membuat hatimu lega.” Boleh jadi yang saya lakukan tadi itu kebaikan bagi diri saya, boleh jadi juga tidak. Tapi, setidaknya saya menjalankan apa yang kata hati saya inginkan.” Ucapnya dengan tenang.

“Untuk urusan mengajarkan kepada anak saya. Saya ingin memberikan pelajaran dengan sikap saya. Tidak mau saya banyak ceramah suruh ini, suruh itu, tapi saya sendiri tidak melakukannya. Biar saat dia besar nanti dia punya kepekaan yang bagus terhadap sekitar. Saya rasa kamu tahu kondisi masyarakat saat ini bagaimana. Dari pertanyaanmu, saya tahu kamu cukup berpendidikan dan cukup sering memikirkan kota ini. Mungkin ini caraku membantu kota ini bangkit. Mungkin dari recehan yang saya beri ke pengemis. Ini juga bentuk cinta saya kepada kota ini. Saya lahir dan dibesarkan di sini. Kurang ajar buat saya kalau berjalan angkuh dan membusungkan dada berjalan di sini. Sementara orang di bawah sana belum tentu bisa makan enak seperti yang kita makan sekarang ini.”

“Tapi, bukannya sudah ada larangan memberi kepada pengemis? Bukankah juga sudah banyak berita yang mengungkap praktik pengemis kaya raya? Gak sayang apa uang Bapak justru dipakai dengan tidak semestinya?”

“Anak muda, urusan uang saya dipakai untuk hal yang buruk saya serahkan saja kepada Tuhan. Saya memberi hanya mengikuti kata hati saja. Saya tidak tega melihat orang duduk sepanjang hari dan malam di pinggir jalan, tidak mampu berbuat apa-apa, hanya menunggu recehan. Apalah salah saya sekedar membagi receh? Kalaupun receh itu tidak berguna, setidaknya ijinkan saya berbagi senyuman kepada mereka-mereka. Siapa tau dengan berbagi senyuman, mereka jadi tergerak untuk melakukan hal-hal besar lainnya. Mudah-mudahan. Urusan orang lain mencap saya melanggar aturan atau orang lain berpikir negatif terhadap kegunaan uang saya untuk para pengemis, sudahlah. Untuk apa kamu mikirin hal-hal yang belum tentu benar terjadi? Tau dari mana kamu orang-orang itu berpikiran jelek terhadap pengemis? Tahu dari mana kamu orang yang kamu kasih itu orang yang pura-pura miskin?”

“Apa boleh saya menanyakan suatu hal yang personal, Pak? Sebenarnya ini lebih ke curhat sih.” Aku mulai mengalihkan obrolan ke isu yang lain.

“Hahahaha. Silahkan, Anak Muda. Selama saya masih bisa menjawab akan saya coba menjawab.”

“Pertanyaan lainnya soal cinta, Pak. Saya cukup lama menyukai seorang cewek di kampus. Tapi, karena kesibukan saya dan kesibukan dia sehingga kami jarang bertemu,” sebenarnya kami belum pernah bertemu ucapku dalam hati.

“Bagaimana baiknya menurut Bapak? Saya lihat bapak cukup banyak pengalaman soal kehidupan.”

“Sudah pernah menyapanya?”

“Belum. Tapi, saya sudah mencari tahu semua tentang dia. Mulai dari kesukaannya, keluarganya, tempat tinggalnya, dan lain sebagainya.”

“Prajurit dengan persiapan perang dan amunisi yang lengkap tapi tidak berperang hanya akan jadi petugas pemeriksa senjata. Begitupun orang yang suka tanpa sempat mengutarakan perasaannya. Kamu cuma akan hanyut dalam lamunan, Anak Muda. Bagaimana kau tahu dia mengenalmu sementara kamu belum pernah menyapanya? Beranikan dirimu menyapanya. Setidaknya dia tahu kamu itu ada, dan bukan sekedar patung yang menatapnya setiap hari saat dia lewat.”

“Tapi, Pak.”

“Anak muda, temanku dulu pernah berpesan untuk jangan terlalu lama berpikir. Semakin lama kita berpikir, semakin banyak waktu yang terbuang sia-sia. Mungkin saja Tuhan menuliskan takdir kita berbincang akrab dengan si dia, tapi karena kita terlalu lama berpikir Tuhan menghapus takdir itu dan menuliskan nama orang lain sebagai lawan bicaranya. Tidak salah kau mempersiapkan segala sesuatu. Hanya saja, jangan terlalu banyak berpikir berlebihan. Saat kamu yakin, sudah lakukan. Jangan berpikir kalau begini nanti begitu. Sebelum ragu itu muncul, majulah dengan berani. Sekalipun kau ditolak nantinya, setidaknya waktu mencatat dirimu sebagai pencinta yang gagah berani. Percayalah akan selalu ada kisah cinta yang indah di balik satu jalan yang terjal.”

“Tapi”

“Hahaha, kamu mengingatkan diri saya dulu. Berjiwa muda, banyak pertanyaan, banyak argumentasi, banyak pemikiran. Kalau aku dulu tidak bertemu temanku yang tadi aku ceritakan, mungkin aku juga masih sepertimu yang menatap bulan dan bintang dengan ditemani rokok atau kopi. Melangkah maju, Anak Muda. Masamu masih panjang. Jangan habis dengan membakar puntung rokok saja, hiasilah dengan karya. Suatu saat kamu akan jadi orang penting di kota ini atau mungkin di tempat lain. Jangan hilangkan rasa penasaranmu akan hal-hal baik, Nak.”

“Ayah, ayo pulang.” Suara anak Bapak itu tiba-tiba memotong pembicaraan kami. Anak yang sedari tadi tertidur pulas di kursi tiba-tiba saja terbangun dan sadar ia belum berada di kasur favoritnya.

“Anak muda, saya ijin undur diri dulu. Kasian anak saya sudah ingin tidur pulas setelah makan enak. Hahaha. Jangan sungkan untuk menyapaku di mana pun kita bertemu lagi. Soal makanan ini, sudah, biar aku yang bayar. Simpan saja uangmu untuk mentraktir pujaan hatimu itu,” ucap Bapak itu dengan senyum kecil di wajahnya.

“Terima kasih, Pak.” Bapak ini tahu aja uangku pas-pasan.

Aku masih terduduk memikirkan kata-kata yang disampaikan oleh Bapak tadi sedari tadi. Saking asyiknya mendengarkan cerita, aku lupa bertanya nama dan memperkenalkan diriku. Mungkin aku harus mulai memberanikan diri untuk melakukan hal-hal besar yang sering aku pikirkan selama ini. Mulai dari menyapanya. Baiklah, aku bisa!

Aku pun beranjak pulang sambil berpamitan dengan mas-mas penjual nasi goreng.

“Mas beruntung loh bisa ketemu beliau.” Ucap Mas Joko penjual nasi goreng saat aku melambaikan tangan hendak berpamitan.

“Oiya? Kenapa, Mas?”

“Mas bukan orang kota sini ya? Pantesan gak kenal. Bapak itu yang punya hotel dan mall di ujung jalan ini. Bapak itu juga yang punya tanah di sepanjang gang ini. Beliau sengaja memberi ijin kami-kami buat buka rumah makan. Katanya buat bagi-bagi rejeki. Beliau juga dulu kasi modal kami-kami. Syaratnya cuma 1, makanan kami harus enak supaya gang ini ramai. Orangnya baik banget, Mas. Sederhana lagi. Siapa yang nyangka coba orang seumuran beliau sudah sesukses itu.”

Aku cukup kaget dengan cerita mas-mas ini. Berarti tadi itu orang terkaya ke-5 di negeri ini yang sudah kuajak ngobrol dan kucurhati. Waduh. Bodohnya aku. Inilah nasib orang yang sibuk dengan skripsi tanpa ingat membaca koran dan menonton tv. Mungkin kota ini meledak aku juga tidak tahu saking sibuknya dengan skripsiku. Malam yang sangat spesial. Aku tidak hanya melanjutkan rutinitasku bertapa, tapi aku dapat kisah berharga dari orang hebat. Aku pun memutuskan pulang sambil tersenyum dan menyanyi riang selama di perjalanan. Belum pernah sebahagia ini saat aku ditimpa masalah.

——————————————————-

“Kenapa kau senyum-senyum dari tadi, Lek? Tidak biasanya kau pulang bertapa dengan wajah seceria ini, biasanya butuh 3 hari bagi kau untuk sembuh dari galau kau itu. ” Tetanggaku ini menyadarkanku kalau aku sudah di depan pintu kamar.

“Kau mau tahu ceritanya?” tanyaku dengan sangat ceria.


Selesai

31 Maret – 1 April 2015
Oleh D. Sudagung