25 February 2015

Bapak Tua dan Sebungkus Nasi

"Dek, itu sendalnya kebalik.", suara itu terdengar sayup-sayup di telingaku. Suara itu berulang diucapkan hingga yang ketiga kali baru aku tersadar aku tidak sedang bermimpi.

"Oh, iya Pak. Terima kasih, terima kasih.", jawabku dengan nada yang panik bercampur kaget.

"Bapak perhatikan, Adek dari tadi hanya melamun. Tatapannya kosong. Waktu jalan masuk mesjid juga kayak yang linglung. Kalo bapak boleh tau ada apa toh?", tanya bapak itu dengan logat jawanya yang kental.

"Tidak, Pak. Tidak apa-apa.", jawabku singkat. Untuk apa juga aku cerita ke orang tak dikenal soal hati yang remuk ini. Kenal pun tidak. Siapalah bapak ini yang ingin tau betapa hancurnya hatiku saat ini. Tuhan pun hanya diam saat aku hancur, apalagi bapak ini bisa apa. Itu pikirku dalam hati.

"Anak muda seperti Adek ini ya kalau tidak patah hati ya paling masalah keuangan. Kalau bapak boleh lancang sepertinya masalah hati. Bapak jadi ingat waktu bapak muda dulu. Hahaha." ia menjelaskan dengan tawa yang lepas.

"Mari Dek kalau berkenan bapak ajak ke rumah makan di depan mesjid. Konon sehabis makan di sana urusan hati jadi lebih enteng. Makanya rumah makan itu namanya "Lega Hati". Saya juga tidak tahu, tapi sejak dulu saya muda sering mampir selepas sholat di mesjid kalau sedang ngegalau."

"Tidak, Pak. Terima kasih. Nanti saja saya belum lapar." jawabku masih singkat.

"Saya duluan kalau begitu. Siapa tau Adek mau menemani bapak tua ini bercerita silahkan mampir saja. Kalau pun tidak, bapak doakan urusan hatinya segera membaik." ucap Bapak Tua itu dengan nada yang menenangkan.

Ucapan itu seperti hujan di tengah padang pasir. Sejuk. Menyejukkan. Entah kenapa hatiku sedikit lebih riang setelah tersentuh kata-kata Bapak Tua itu. Sekalipun aku masih belum mau beranjak. Aku masih membatu dan kembali membuka lembar kenangan itu. Hingga aku disadarkan oleh bunyi perut yang mengganggu ditambah rasa sakit yang menusuk. Yak, sakit maagh-ku kumat. Ah, terpaksa kujilat air liurku sendiri dan melangkah ke rumah makan itu.

Tidak ada yang istimewa dari rumah makan ini. Pilihan lauk dan sayur yang biasa saja. Apalah yang spesial pikirku sampai Bapak Tua tadi begitu semangat mempromosikannya.

"Hey, Nak! Sini! Sudah dari tadi bapak tunggu. Mas, tolong teh manis hangat 1 lagi." teriak bapak itu yang memecah keramaian jam makan saat itu.

"Kenapa Bapak menunggu saya? Apa spesialnya saya sampai Bapak rela membuang-buang waktu untuk saya?"

"Ini bukan soal seberapa spesialnya Adek atau betapa berharganya waktu saya yang terbuang. Ini hanya soal nostalgia. Ini soal sebuah cerita lama. Bapak seperti teringat jaman muda bapak saat melihat Adek di ujung tangga tadi. Persis di tangga itu, persis dengan cara duduk seperti itu, dan mungkin saja persis dengan masalah yang sama, masalah hati. Adek habis patah hati? Baru saja diputuskan tanpa alasan yang jelas?"
Peramal kah bapak ini? Cenayang kah? Hebat sekali bapak ini membaca pikiranku. Tahu dari mana dia? Merinding aku saat bapak itu menerka-nerka apa yang terjadi padaku.

"Ya, dari wajah kagetmu jelas sudah jawabannya."

Tanpa menunggu lama bapak itu memesankan aku segelas teh manis hangat dan mempersilahkanku memilih makanan. Aku memang lapar. Jadi, ya apa salahnya sekedar makan bersama. Toh tujuan kami sama di sini, mengenyangkan perut.

Kami pun duduk berhadap-hadapan. Sepenglihatanku menu yang dimakan oleh Bapak Tua itu hanya nasi, sayur sop, tempe goreng, dan tahu goreng. Tapi, begitu lahap dan semangatnya Bapak Tua itu makan. Apa enaknya menu sesederhana itu pikirku? Walaupun menu makanku tidak lebih menyedihkan, hanya nasi seperempat dan ayam goreng. Lebih mewah memang, tapi menu itu tercampur aura senduku sehingga yang terlihat adalah menu makanan yang mengenaskan.

"Makan, Nak. Jangan terlalu banyak melamun di sini. Ini rumah makan. Bukan gua tempat bertapa. Lihatlah orang di ujung jalan itu. Untuk makan pun mereka harus meminta-minta dahulu. Itupun kalau tidak dipalak preman."

"Oh. Iya, Pak. Terima kasih. Mari, Pak." aku lagi-lagi hanya menjawab sepatah saja karena kaget.

"Alhamdulillah. Koki di sini tidak pernah mengecewakanku sejak dulu. Hahaha. Perut kenyang hati pun lega. Sembari kamu makan, ijinkan Bapak Tua ini sedikit bercerita."

Aku hanya mengangguk pelan sambil bersusah payah melawan keenggananku untuk makan. Bukannya tidak lapar, tapi urusan hati ini bikin kusut. Lenyap nafsu makanku seketika saat teringat wajahnya.

"Dulu aku juga duduk di sana saat aku patah hati. Persis termenung seperti Kamu tadi itu, tidak ada semangat hidup, bercampur kesal, semua aura negatif itu beradu di sana. Tidak lama datang seorang tua yang menyapaku. Ia menyodorkan sepotong roti."

"Mungkin kau lapar, Nak? Ini bapak ada roti. Siapa tau bisa mengganjal perutmu."

"Kamu tau apa reaksiku saat itu? Aku dulu lebih kejam daripada kamu yang menatap kosong dan menjawab dingin. Aku menoleh pun tidak dan bapak itu hanya meletakkan sepotong rotinya di samping tangga. Mungkin dia berharap aku mengambilnya."

Aku tanpa sadar terhisap oleh alunan kisah Bapak Tua ini. Tanpa terasa inilah suapan terakhirku. Ku tatap lekat-lekat Bapak Tua itu. Kali ini aku memutuskan meluangkan sedikit waktuku menyimak kisah nostalgia ini.

"Kejadian itu terjadi berulang kembali esok hari. Persis di tempat yang sama. Aku yang juga sama masih termenung selepas sholat."

"Dek, bapak tidak tahu apa yang bisa bapak bantu. Tapi, mudah-mudahan sebungkus roti ini bisa membantu."

Lagi-lagi Bapak Tua itu meletakkan sesuatu di sampingku. Kali ini tidak hanya sepotong roti, tapi sebungkus roti. Aku masih sama saja tidak menghiraukan.

"Kejadian itu berulang di hari ketiga. Kali ini bapak itu menyuguhkanku sebungkus nasi. Aku tahu itu dari rumah makan di depan mesjid. Persis makanan di sini dan persis juga apa yang aku makan barusan. Tidak ada ucapan terima kasih atau balik menatap. Aku hanya merenung kosong. Seolah bapak itu tidak ada."

"Semoga nasinya bermanfaat, Nak.", ucap bapak itu sambil berlalu.

"Taukah kamu? Ucapan “nak” itu yang menyadarkanku dari lamunan. Nak? Kapan terakhir ada orang yang memanggilku “nak” dengan begitu hangatnya? Mungkin benar kata orang dulu. Apa yang diucapkan dari hati akan selalu menyentuh ke hati."

"Saat aku tersadar dari lamunanku itu, aku hanya bisa melihat punggung bapak itu dari kejauhan. Punggungnya yang tertutup sekarung besar sampah. Bapak itu hanyalah seorang pemulung keliling. Tak lebih rapi penampilannya dariku. Bahkan mungkin tak lebih baik penghasilannya dibandingkan uang jajanku. Tapi, nasi bungkus di sampingku ini saksi kebaikan tak mengenal materi, kebaikan tak mengenal usia, kebaikan tak mengenal kelas sosial.", Bapak Tua itu berhenti sejenak sambil menatap ke luar ke arah tangga itu.

Ia kemudian menarik nafas panjang dan terlihat matanya berkaca-kaca.

"Satu suap, dua suap, tiga suap, hingga aku menyelesaikan suapan terakhirku. Tiap suapan itu begitu berarti. Entah tanpa sadar air mataku mulai menetes. Aku baru sadar betapa nikmatnya menyantap makanan. Selama beberapa hari ini makanan itu hanya sekedar lewat. Rasanya? Apa yang ku makan juga tak kuingat. Hanya wajahnya yang selalu teringat dan selalu hadir bersama kesedihan. Asal kamu tau, Dek, makanan yang ku makan inilah makanan yang diberikan bapak itu 30 tahun lalu."

Begitu penuh arti menu sederhana itu. Begitu malu aku jika ingat tadi aku sempat mengejek dalam hati. Aku hanya diam menunduk, tanpa berani memandang wajah Bapak Tua itu yang kembali melanjutkan kisahnya.

"Sebungkus nasi itu merubah alur hidupku, Dek. Dulu aku bahkan sempat berpikir untuk kabur saja ke ujung dunia. Lari sejauh-jauhnya. Meninggalkan kenangan itu di sini. Tapi, untuk apa? Sejauh apa pun aku lari aku juga masih mungkin teringat tentangnya. Jawaban kegundahanku itu ada di sebungkus nasi, Dek. Nasi yang terbungkus ketulusan dan kebaikan."

Bapak Tua itu berhenti sejenak. Aku bertanya-tanya akhir kisah itu. Aku mulai membayangkan berada di sana 30 tahun yang lalu.

"Aku memang tersenyum selepasnya, Dek. Tapi, aku juga bersedih sampai sekarang.", suara Bapak Tua itu mulai parau.

"Aku tak pernah tahu namanya. Aku tak pernah tahu rumahnya. Bahkan aku tak pernah sempat mengucapkan terima kasih. Tiga hari setelah kejadian itu aku selalu datang menunggu di tangga mesjid pada waktu dzuhur. Tapi, bapak itu tak pernah datang. Hari keempat aku sempatkan bertanya ke sini, ke tukang masak yang tadi mengantarkan makananku. Ajal tiada yang tahu, Dek. Selepas menemuiku, bapak itu tertabrak mobil di ujung jalan raya. Beliau meninggal di tempat dan entah setelahnya dikuburkan dimana karena beliau bukan orang asli sini."

Bapak Tua menyempatkan meminum teh manis di hadapannya, kemudian melanjutkan lagi.

"Belakangan aku baru tahu, 3 hari terakhir bapak itu selalu makan di sini. Di meja yang terdekat dengan tukang masak. Dia sering bercerita tentang anak lelakinya yang kabur entah kemana. Kabur gara-gara berselisih pendapat urusan melanjutkan sekolah di luar pulau. Bapak itu sangat menyesal tidak bisa membahagiakan anak laki-laki satu-satunya itu hingga masa tuanya. Makanya, saat dia melihat aku yang termenung di ujung tangga, dia selalu berkata kepada tukang masak, "Andai aku bisa membantu anak itu tersenyum kembali, mungkin orang tuanya akan sedikit bahagia." Kalimat itu terucap terus setiap hari, Dek, hingga dia memutuskan membelikanku sebungkus nasi."

Aku hanya bisa terdiam mendengarkan serentetan kisah sejarah ini. Ada ayah yang tak sempat membahagiakan anaknya. Begitu juga ada anak yang tak sempat membahagiakan ayah atau ibunya. Ada juga orang yang tak sempat mengucapkan terima kasih seperti kisah Bapak Tua ini.

"Dek, makanya aku bertekad sejak saat itu untuk banyak berbuat kebaikan sebagai ganti ucapan terima kasihku pada beliau. Juga sebagai pengusir kegalauanku. Saat kamu bisa berbuat baik ke orang lain, percayalah hatimu akan diliputi sedikit kebahagiaan. Bayangkan jika kau berbuat banyak kebaikan? Berapa banyak bahagia yang bisa kamu hadirkan sebagai ganti kesedihanmu?", lanjut Bapak Tua itu memecah keseriusanku menyimpulkan makna kisah ini.

"Kalau pun kau tak percaya, Dek. Setidaknya percayalah bahwa makanan di sini memang enak dan membuat hati lega. Itu saja sudah cukup. Kau sudah berbuat baik dengan tersenyum saat membayar masakan mereka.", kata Bapak itu menutup kisahnya.

Aku sekali lagi hanya mengangguk. Hanyut akan pemikiran-pemikiran baru yang hadir setelah ku dengar kisah ini.

"Terima kasih, Pak. Terima kasih."

"Sama-sama, Dek. Bapak hanya cerita saja. Tidak lebih. Kalau begitu, bapak ijin undur diri dulu. Percayalah bukan kebetulan kalau bapak melihat kamu termenung tadi. Sama halnya seperti Bapak Tua itu dulu melihat bapak. Tuhan selalu memberikan jalan bagi orang yang tidak berputus asa. Kalau ada jodohnya, suatu waktu kita berjumpa lagi. Semoga mukamu sudah tidak sekusut tadi, Dek.", Bapak Tua itu berlalu sambil menepuk bahuku dan menebar senyum yang sangat bahagia. Ia berjalan menuju kasir lalu berlalu meninggalkan rumah makan ini. 

Tidak terasa 20 tahun sejak pertemuan itu aku sudah tak pernah bertemu dengan Bapak Tua itu. Tapi, aku masih sering mampir ke rumah makan ini sesekali walaupun aku sudah tidak tinggal di komplek sekitar sini. Sekedar mengobati rindu akan menu sederhana yang melegakan hati ini. Sekarang tampaknya giliranku berkisah. Tampak di ujung sana pemuda dengan tampang kusutku yang dulu.

23-25 Februari 2015
D. Sudagung