30 September 2013

Mencari Damai

Damai itu milik semua
Damai itu adalah hak
Dan hak itu hakikat bagi setiap orang
Tentu saja dengan menuntaskan kewajibannya

Saat orang telah menjalankan tugasnya menjaga keamanan
Janganlah kau renggut hak damainya tersebut
Bukan mereka tidak ingin melawan
Mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti kalian

Tapi, sayang kalian tidak cukup dewasa mengerti mereka
Sampaikanlah kebaikan dengan cara yang baik
Bukan dengan mengobarkan api di tengah padang rumput
Jika Anda berlaku baik, orang lain juga akan menghargai Anda

Oleh Adityo D. Sudagung
06 September 2013

Sapa Pagi Sang Pelukis

Pagi yang indah
Sekali lagi Tuhan memberikan anugerah-Nya
Mentari pagi yang menenangkan
Membuat kita melupakan kesedihan

Pagi yang tenang
Saat burung bernanyi
Angin sepoi-sepoi menerpa
Dan pelukis yang merenung
Begitu syahdu tanpa ingin dilewatkan

Pagi yang cerah
Cahaya mentari yang indah
Berdiri gagah di cakrawala
Menyapaku hangat
Membangkitkan lagi jiwa yang lusuh

Oleh Adityo D. Sudagung
29 Agustus 2013

Ada Di Dalam Tiada

Merasakan hadirnya setelah ia menghilang
Tapi tiada merasa saat ia hadir
Bukankah ssat hadir ia ada?
Dan saat ia hilang maka ia tiada?

Kadang banyak misteri Tuhan yang tak mampu terjawab
Sejenak dipikirkan, namun sekejap ia terlupakan
Begitulah manusia, begitu gampang terlupa
Sibuk ia dengan kesenangan di depan matanya
Padahal ada sebagian hati menunggu kehadirannya
Saat ia kembali, ia hanya bertemu dengan sesal

Tiada lagi sebagian hati itu
Karena telah tergadai oleh senang sesaatmu
Inilah hidup, jalani dengan baik supaya tiada penyesalan

Oleh Adityo D. Sudagung
28 Agustus 2013

21 September 2013

Critical Review: International Relations in Indonesia: historical legacy, political intrusion, and commercialization

Hubungan Internasional di Indonesia mulai berkembang sejak tahun 1960-an. Adalah Universitas Gadjahmada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang menjadi universitas pertama menyediakan jurusan Hubungan Internasional. Hal ini dikarenakan kebutuhan pemerintah Indonesia untuk mendidik calon-calon diplomat. Hubungan Internasional kemudian ikut tumbuh seiring diawali kelahirannya di beberapa universitas tersebut. Fenomena ini dituliskan oleh Bob S. Hadiwinata dalam artikelnya yang mengulas perkembangan Hubungan Internasional di Indonesia mulai dari periode awal hingga tahun 2008. Pada tulisan berjudul “International relations in Indonesia: historical legacy, political intrusion, and commercialization, Hadiwinata memotret perkembangan Hubungan Internasional yang berkembang sangat pesat di Indonesia. Setidaknya terdapat beberapa argumen penting dalam tulisan ini yang dapat penulis kategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu sejarah, kondisi politik domestik, dan komersialisasi pendidikan.

Pada periode awal Hubungan Internasional dibawa dari luar Indonesia dikarenakan kebutuhan. Salah satu poin yang diutarakan oleh Hadiwinata adalah sejarah Indonesia mempengaruhi lahirnya Hubungan Internasional di Indonesia. Pengaruh besar Amerika Serikat pada tahun 1960-1970 dalam perkembangan Hubungan Internasional sangat jelas terasa. Salah satunya adalah penggunaan buku-buku Hubungan Internasional yang didominasi oleh pemikir Realis dari Amerika Serikat, seperti George F. Kennan, H. J. Morgenthau,  Kenneth Waltz, Ernst B. Haas, dan sebagainya. Bukti lainnya dapat terlihat pada salah satu buku terbitan Suwardi Wiriaatmadja, yaitu Pengantar Hubungan Internasional. Di mana dalam tulisan ini sangat terpengaruh oleh pemikiran Morgenthau dan Kennan.

Selain itu, hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat di era Orde Baru ikut berperan besar dalam perkembangan studi Hubungan Internasional. Seperti disebutkan dalam tulisan Hadiwinata ini, beberapa penstudi Hubungan Internasional melanjutkan studinya di Amerika Serikat. Hasil dari studi mereka ini mempengaruhi universitas tempat mereka bernaung, di mana mulai dibukanya beberapa mata kuliah Studi Kawasan di Indonesia. Studi Kawasan ini sendiri menjadi salah satu ciri khas Hubungan Internasional di Amerika Serikat. Ditambah lagi dengan pengalaman pahit pemerintah Indonesia dengan Komunisme mengakibatkan aliran Marxisme sangat diasingkan, bahkan menjadi salah satu aliran sesat di masa itu. Hal ini semakin memperkuat pengaruh pemikiran Realisme pada penstudi Hubungan Internasional di Indonesia.

Menurut penulis, perihal sejarah ini merupakan salah satu poin penting dalam perkembangan studi Hubungan Internasional di Indonesia. Sebagai ilmu yang memang berkembang dan lahir di Barat, sudah sepantasnya Indonesia sangat terpengaruh pada siapa yang pertama kali mempekenalkan ilmu tersebut. Layaknya seorang balita yang baru belajar berbicara, kata-kata yang pertama diucapkan dan teringat adalah kata-kata yang diajarkan pertama kali oleh orang tuanya. Begitu pun ilmu Hubungan Internasional yang diajarkan di Indonesia sangat terpengaruh oleh penyebar pertama dari ilmu tersebut. Di mana dalam hal ini Amerika Serikat melalui penstudinya yang ikut merumuskan kurikulum di UGM dan tujuan studi penstudi Hubungan Internasional generasi pertama yang memilih Amerika Serikat sebagai tempat studi. Ditambah dengan paham anti-komunisme yang berkembang di Indonesia pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, membuat pemikiran Marxisme sebagai asal dari Komunisme mendapat tentangan yang keras. Mengingat juga pada saat itu, kondisi dunia sedang dihadapkan pada pertentangan power antara dua kubu besar, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sehingga konsep-konsep seperti power, national interest, balance of power, dan sebagainya dirasa relevan untuk dijelaskan dalam studi Hubungan Internasional, khususnya di Indonesia. Sehingga pemikiran-pemikiran Realisme menjadi lebih mudah diterima.

Argumentasi kedua yang dipaparkan oleh Bob S. Hadiwinata adalah kondisi politik di Indonesia. Kondisi politik ini dijelaskan oleh Hadiwinata dalam empat penjelasan utama. Pertama, terdapat hubungan yang erat antara penstudi Hubungan Internasional dan birokrasi. Kedua, pengaruh pemerintah sangat kuat di kalangan akademisi. Ketiga, rasa nasionalisme yang tinggi di kalangan penstudi Hubungan Internasional terkait dengan arah kebijakan pemerintah. Keempat, posisi Indonesia di ASEAN tidak popular di kalangan penstudi Hubungan Internasional.

Pada poin pertama disebutkan bahwa beberapa penstudi ilmu sosial di Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan birokrasi. Keterkaitan ini terlihat dari diberikannya posisi menteri yang diserahkan kepada akademisi ilmu sosial. Beberapa nama seperti Emil Salim, Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardhana, Radius Prawiro, dan Mochtar Kusumaatmadja pernah menjabat sebagai menteri di era Orde Baru. Kondisi ini dipengaruhi oleh posisi menteri yang prestisius dan insentif sebagai penstudi yang tidak seberapa dibanding menjadi pejabat publik. Hadiwinata menjelaskan kondisi ini menjadi salah satu alasan kurang berkembangnya ilmu sosial dan hubungan internasional. Ketersediaan waktu penstudi yang menjadi birokrat tersita oleh tugas-tugasnya ketimbang menghabiskan waktu mengembangkan penelitian untuk kemajuan ilmu sosial. Penulis melihat hal ini menjadi sangat wajar karena merupakan pilihan realistis untuk mengabdi pada negara ketimbang melanjutkan pengajaran atau penelitian yang apresiasinya minim. Bahkan sampai sekarang apresiasi untuk penelitian dari berbagai pihak masihlah minim.

Kedua, kekuasaan pemerintah di era Orde Baru sangatlah kuat dimana salah satunya adalah di kampus. Beberapa kebijakan-kebijakan yang mengatur pergerakan di kampus sangatlah ketat. Mulai dari program “Naturalisasi kampus” dan pengontrolan organisasi sosial yang berdampak pada penggunaan akademisi ilmu sosial sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai kekuasaan. Pergerakan mahasiswa dan akademisi menjadi terbatas. Karena dalam beberapa kasus jika ditemukan pemikiran mereka bertentangan dengan pemerintah, maka dampaknya sangat besar. Diantaranya adalah penangkapan, pengasingan, perusakan citra diri, atau bahkan bisa saja diculik dan tidak kembali. Beberapa kasus yang disebutkan dalam tulisan Hadiwinata ini adalah pemberhentian Arief Budiman, Ariel Haryanto, dan George Aditjondro. Kondisi seperti ini menurut penulis semakin memperkuat alasan ilmu sosial, khususnya ilmu Hubungan Internasional tidak berkembang di Indonesia. Khususnya di era Orde Baru di mana semuanya sangat bergantung pada keinginan pemerintah. Kekuasaan yang hampir absolut menyebabkan penstudi tidak bisa mengembangkan ilmu secara keseluruhan. Ilmu-ilmu yang dikembangkan cenderung praktis dan hanya menguntungkan pemerintah.

Seperti juga disebutkan kemudian oleh Bob S. Hadiwinata bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan tidak lepas dari siapa yang mendonorkan dana penelitian. Sering kali penelitian hanya ditujukan untuk menjawab masalah atau isu yang berguna bagi pendonor. Baik dari pemerintah ataupun swasta yang berkepentingan. Hal ini ikut mempengaruhi poin ketiga mengenai rasa nasionalisme penstudi. Akibat dari orientasi penelitian yang ditujukan pada kebutuhan pemerintah mengakibatkan perkembangan objek kaji hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia saja. Mulai dari hubungan bilateral, kepentingan nasional, dan sebagainya.
Bahkan pada poin keempat disebutkan bahwa ASEAN sebagai tempat di mana Indonesia berada tidak menjadi menarik. Salah satunya akibat nasionalisme yang tinggi sehingga menjadikan penelitian terhadap negara di kawasan Asia Tenggara lainnya tidak menarik. Karena di Indonesia masih berkembang nasionalisme yang malah berujung pada sentimen pribadi terhadap suatu negara tertentu, contohnya Malaysia. Masyarakat secara umum atau bahkan penstudi tidak sedikit yang terjebak pada sentimen terhadap Malaysia. Hal ini mengingat beberapa sejarah dan beberapa kasus terbaru yang mengarahkan Malaysia sebagai public enemy. Belum lagi dihadapkan oleh kendala bahasa negara-negara Asia Tenggara lainnya yang tidak populer di Indonesia.

Penulis mengakui poin ketiga dan keempat merupakan kenyataan yang terjadi di kalangan mahasiswa Hubungan Internasional hingga saat ini. Merupakan alasan yang logis bagi para mahasiswa kemudian mengambil objek kaji yang lebih banyak sumber referensinya seperti di Eropa, Amerika, Timur Tengah, atau Amerika Latin. Tidak bisa dipungkiri bahan-bahan mengenai negara-negara di Asia Tenggara masih sangat minim. Disamping itu faktor biaya yang sangat besar untuk berpergian ke negara yang dikaji membuat para mahasiswa cenderung bermain aman dengan meneliti negara-negara yang lebih banyak referensinya di internet atau di perpustakaan.

Menurut penulis, salah satu masalah yang dihadapi oleh mahasiswa Hubungan Internasional adalah ketersediaan bahan rujukan. Buku-buku referensi untuk studi Hubungan Internasional masih sangat kurang di Indonesia, sehingga banyak penulis temukan rekan-rekan sesama mahasiswa yang lebih banyak memilih melakukan pencarian rujukan hanya sebatas artikel di internet. Ketersediaan buku di perpustakaan atau akses ke kedutaan sangat terbatas bagi para mahasiswa sarjana. Sehingga tidak sedikit yang merasa kapok menekuni studi Hubungan Internasional yang berujung pada hasil penelitian skripsi menjadi serba seadanya. Kondisi ini merupakan suatu proses seleksi alam yang tidak terkontrol. Mengingat peminat dari jurusan Hubungan Internasional di Indonesia meningkat sangat pesat, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan pesat pada jumlah penstudi atau penelitinya.

Menurut penulis, nasionalisme juga penting dalam perkembangan ilmu Hubungan Internasional di Indonesia. Supaya bisa menunjukkan nilai-nilai Indonesia yang dapat diadopsi bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Seperti contohnya, Deklarasi Juanda yang akhirnya diimplementasikan ke dalam United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) menunjukkan bahwa dari segi pemikiran orang-orang Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan orang-orang di negara maju. Meskipun di sisi yang lain nasionalisme yang membutakan justru membuat kita menjadi tinggi hati dan tidak bisa bersifat netral. Padahal ilmu Hubungan Internasional bersifat lebih luas dan tidak hanya sebatas pada Indonesia saja.

Kondisi pendidikan tinggi di Indonesia terkini kemudian dibahas dalam argumen keempat oleh Bob S. Hadiwinata dalam tulisan ini. Beliau menyebutkan mengenai komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini turut mendorong rendahnya kualitas penelitian Hubungan Internasional. Banyaknya jumlah peserta didik dan perkembangan jumlah jurusan Hubungan Internasional yang sangat pesat ternyata tidak didukung oleh sistem pendidikan yang baik dari pemerintah. Atas nama pemenuhan kebutuhan keuangan universitas, maka jumlah mahasiswa diutamakan dibanding dengan kualitas pengajaran dan kualitas penelitian.

Pengaruh yang dirasakan adalah habisnya waktu para peneliti Hubungan Internasional untuk mengajar dan melakukan proses bimbingan kepada mahasiswa. Demikian juga penulis melihat dampaknya pada para calon peneliti (mahasiswa sarjana) Hubungan Internasional. Dengan jumlah mahasiswa yang tidak sebanding dengan jumlah pengajar mengakibatkan proses penyerapan ilmu menjadi terhambat. Padahal para mahasiswa sarjana ini merupakan cikal bakal penerus dari para peneliti-peneliti yang sudah ada. Jika proses kaderisasinya saja sudah tidak baik, bagaimana menghasilkan peneliti dan penelitian yang baik pula.

Kemudian kebijakan dari pemerintah mengenai promosi golongan para penstudi yang lebih menitikberatkan pada poin pengajaran dan bimbingan. Hal ini mengakibatkan poin pengabdian pada masyarakat dan penelitian menjadi dinomorduakan, bahkan cenderung diabaikan. Menjadi wajar kemudian para dosen-dosen lebih mengejar untuk menghabiskan waktu untuk menambah poin dari mengajar dan proses bimbingan mahasiswa. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa ada sistem yang ikut menghambat proses perkembangan ilmu Hubungan Internasional di Indonesia.

Meskipun telah disinggung bahwa besar kemungkinan para lulusan sarjana ini melanjutkan studi ke negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, Jerman, Jepang, dan lainnya. Tetapi, sistem yang ada saat ini masih menyisakan masalah. Pada akhir tulisannya, Hadiwinata menyebutkan bahwa perlu dilakukan revolusi pada manajemen pendidikan tinggi. Pernyataan ini penulis lihat dilatarbelakangi oleh fenomena hubungan akademisi dan birokrat yang terus terpelihara, proses promosi golongan, prioritas waktu penstudi untuk mengajar saja sehingga kualitas penelitian tidak mengalami kemajuan. Walaupun penstudi muda melanjutkan studi di luar negeri, tetapi sekembalinya dari studinya mereka kembali melanjutkan sistem yang diwariskan tersebut.

Penulis melihat dari tulisan ini argumen-argumen yang disampaikan saling terkait. Mulai dari sejarah perkembangan Hubungan Internasional hingga sistem warisan sejarah tersebut. Kemudian ditambah dengan sistem terkini yang menuntut kampus untuk mencari dana lebih dari para mahasiswa (komersialisasi). Hal ini mengerucut pada dampak yang paling krusial seperti disebutkan oleh Bob S. Hadiwinta, yaitu kualitas penelitian dan perkembangan ilmu Hubungan Internasional yang berjalan di tempat. Meskipun tidak secara keseluruhan berjalan di tempat sejak tahun 1960an karena memang terdapat beberapa perkembangan yang baik pula.

Tetapi, jelas terdapat satu faktor penghambat perkembangan ilmu Hubungan Internasional yang penulis temukan dalam tulisan ini, yaitu terkait hasil publikasi dan penelitian. Buktinya adalah tidak adanya satu pun jurnal Hubungan Internasional yang terakreditasi nasional. Penulis melihat bukti ini adalah yang sangat menegaskan bahwa ilmu Hubungan Internasional masih belum terlalu berkembang di Indonesia. Penyebabnya sudah tampak mulai dari rentetan sejarah, pengaruh sistem kekuasaan yang mengekang perkembangan akademisi, preferensi kajian penelitian, sampai dengan waktu peneliti yang terbatas.

Penulis sampai pada kesimpulan bahwa perkembangan ilmu Hubungan Internasional tidak lepas dari pengaruh Amerika Serikat sebagai rujukan utama. Kemudian, ilmu Hubungan Internasional di Indonesia mengalami beberapa kendala dalam perkembangannya dikarenakan oleh pengaruh negara yang sangat kuat di era Orde Baru, masuknya akademisi ke dalam birokrasi pemerintahan, paham nasionalisme yang berlebihan, kajian yang hanya disesuaikan dengan kepentingan negara atau lembaga donor, dan yang terkini adalah komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Penulis menilai tulisan Bob S. Hadiwinata cukup komprehensif menjelaskan mengenai Hubungan Internasional di Indonesia sejak awal kelahirannya hingga tahun 2008. Hanya saja penulis melihat terdapat beberapa kali penyampaian alur yang maju mundur. Seperti pada sub-bab 1 mengenai sejarah, tapi kemudian dibahas kembali di sub-bab 2 dan 3. Sehingga pada beberapa bagian bacaan ini kurang mengalir dan membuat pembaca seolah kembali lagi ke penjelasan yang sebelumnya. Meskipun kemudian pada sub-bab 5 penjelasan mengenai komersialisasi sudah dapat memperjelas pembaca bahwa semua itu mengerucut pada gagasan merevolusi manajemen pendidikan tinggi di Indonesia.

Melalui tulisan tersebut, penulis mendapat beberapa tambahan informasi yang patut diapresiasi. Terutama mengenai sejarah studi Hubungan Internasional di Indonesia. Sudah sering penulis membaca mengenai ilmu Hubungan Internasional secara umum, isu-isu Hubungan Internasional dan perspektif yang digunakan dalam ilmu ini. Tetapi, baru lewat tulisan ini penulis dibawa menjelajahi sejarah dan perkembangan ilmu Hubungan Internasional di Indonesia. Mengutip dari pernyataan Presiden Soekarno pada peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1966, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”. Penulis berpendapat masalah-masalah yang dipaparkan oleh Hadiwinata sebenarnya dapat diperbaiki dengan mengulas kembali asal mula terjadinya masalah-masalah tersebut.

Dengan demikian, para penstudi Hubungan Internasional di Indonesia dapat memikirkan langkah-langkah untuk mengembangkan ilmu Hubungan Internasional, khususnya meningkatkan kualitas publikasi penelitian yang lebih baik. Walaupun nantinya tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa kubu yang membela sejarah dan beberapa yang ingin memperbaiki sejarah. Tetapi, bukankah perkembangan ilmu Hubungan Internasional sendiri juga dihiasi dengan Great Debates sehingga memunculkan isu-isu atau teori-teori baru yang memperkaya ilmu itu sendiri? Tidak ada salahnya kita berdebat selama dapat memunculkan pemikiran dan gagasan yang baru demi kemajuan ilmu Hubungan Internasional di Indonesia.

Oleh Adityo D. Sudagung

"International Relations in Indonesia: historical legacy, political intrusion, and commercialization", merupakan tulisan dari Bob S. Hadiwinata yang dipublikasikan pada tanggal 6 November 2008 pada International Relations of the Asia-Pasific Advance Access.