09 October 2012

Kisah Penulis dan Buku

Sekarang aku membaca, menggali lembaran-lembaran buku yang sejak minggu lalu memenuhi kamarku. Buku berlapis kuning "emas", bertajuk menggunakan bahasa Inggris yang isinya tentu saja berbahasa Inggris. Satu yang aku sadari malam ini, buku itu tidak dibaca dari tengah atau dari bagian yang hanya kita anggap penting. Tapi, ibarat berenang ia meminta kita mulai dari tepian pantainya hingga ke tengah lautannya. Ini yang membuat aku sempat tenggelam sejak tujuh hari lalu. Si angkuh yang merasa hebat dan hanya ingin segera sampai ke tengah lautan dan menikmati birunya laut. Ternyata laut itu murka, laut itu menghukum kesombonganku. Aku terseret arus, aku terperangkap pusaran ombak di tengah lautan. 

Aku baru sadar kesalahan itu. Baru aku tersentak betapa angkuhnya manusia bodoh ini. Perlahan aku mengumpulkan sisa tenaga yang terkuras di tengah pusaran ombak. Sedikit demi sedikit aku mengayuhkan kakiku, mendayung dengan tanganku untuk menjauhi pusaran di tengah lautan. Setiap meter yang telah aku ulang, mengingatkan aku di tujuh hari yang lalu. Aku yang begitu bersemangat berenang ingin segera ke tengah, ternyata melupakan hal penting. Yaitu, urutan!
Layaknya membuat kopi panas di malam hari. Tidak serta merta kita meminum kopi itu apa adanya tanpa mengambil air, tanpa memasukkan air ke dalam teko, tanpa merebus air, dan tanpa menyeduhnya ke dalam gelas yang berisi kopi. Barulah jadi segelas kopi panas. Barulah cairan kopi itu masuk membasahi kerongkongan dan memberikan efeknya bagi si peminumnya.

Sekarang aku hanya gamang sambil menggenggam buku itu. Menarik nafas panjang untuk menenangkan batin yang bergejolak akibat mengingat aku tujuh hari yang lalu. Bilangan waktu itu mungkin tidak terlalu lama, baru satu minggu belum satu bulan atau satu tahun atau satu abad atau bilangan waktu yang lebih lama. Tetapi tetap saja, otak ini jadi tersesat akibat tindakanku di tujuh hari yang lalu. Sampai dengan saat ini aku masih mampu berjalan tegak, dada dibusungkan, sambil membanggakan apa yang kubaca. Ternyata itu belum seberapa, itu belum ada apa-apanya dan justru membutakanku dari alur laut yang harusnya dapat kulihat sejak awal. 

Perlahan aku bangun dari kegamangan. Ku buka lagi buku ini dari permulaan, bahkan dari satu halaman setelah halaman sampul. Hal-hal kecil itu begitu berkaitan. Hal-hal remeh yang sempat kulewati kini menjadi sekumpulan puing-puing yang mendorongku untuk melangkah. Mereka yang menyokong semangatku mengarungi lautan ilmu di dalam buku ini. Selangkah demi selangkah kini aku berenang menuju titik yang sama. Akan tetapi, kini dengan persiapan yang lebih matang. Aku tidak lagi si peminum bubuk kopi, aku tidak lagi si angkuh yang hanya berpikir untuk langsung ke tengah laut.

Kini aku menikmati setiap dayungan tanganku. Tiada lagi ayunan kaki yang sia-sia dalam perjalanan kali ini.

091012