22 December 2009

Perang Afghanistan: Antara Kepentingan dan Just War

Barack Obama, presiden Amerika Serikat saat ini, merencanakan untuk mengirim tambahan pasukan di Afghanistan sebanyak 30.000 personil. Kalimat ini terlontar saat ia membacakan pidato saat menerima penghargaan Nobel Perdamaian. Kontroversial memang, karena disaat menerima penghargaan nobel perdamaian ia malah mengeluarkan pernyataan penambahan pasukan. Pernyataan penambahan pasukan ini mengindikasikan akan diperpanjangnya perang. Namun, Obama berkilah kalau penambahan pasukan ini adalah suatu upaya untuk mewujudkan perdamaian. Ia juga menyebutkan bahwa perang Afganisthan adalah suatu perang dengan tujuan damai.

"A nonviolent movement could not have halted Hitler's armies. Negotiations cannot convince al-Qaida's leaders to lay down their arms," Obama said. "To say that force is sometimes necessary is not a call to cynicism, it is a recognition of history."[1] Pada intinya Obama menyatakan bahwa pengiriman ini untuk kepentingan nasional dan merupakan salah satu cara mencapai perdamaian di Afghanistan.

Benarkah demikian? Apakah perang yang berkobar selama 9 tahun lamanya itu adalah suatu bentuk perang damai (just war)? Atau perang damai (just war) itu hanya alibi pembenaran Amerika Serikat untuk menyerbu Afganisthan?

Pada tulisan ini saya akan memaparkan latar belakang dari perang Afghanistan, kemudian dilanjutkan dengan analisa kepentingan Amerika Serikat atau negara lainnya di Afghanisthan, serta ditutup dengan analisa mengenai perang Afghanistan yang dikatakan just war oleh Amerika Serikat.


Latar belakang Perang Afganisthan

Serangan 11 September telah berlalu 9 tahun silam, namun efek dari serangan itu masih terasa di negara asal para pelaku (menurut versi Amerika, talibanlah yang bertanggung jawab atas serangan tersebut). Dikirimnya pasukan untuk menumpas terorisme inilah yang menjadi suatu perang berkepanjangan selama 9 tahun lamanya dan masih berlangsung sampai sekarang.

Apakah Terorisme itu? Terorisme berasal dari bahasa latin Terrere. Dalam bahasa Inggris dipahami sebagai to frighten, yang artinya menakutkan atau mengerikan. Menurut kamus politik, terror berarti usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau sesuatu golongan. Biasanya tindakan tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan politik.[2]

Amerika Serikat menjadikan isu terorisme internasional ini sebagai alasan utama mereka mengadakan perang ke Afghanistan. Amerika yang berang karena sistem keamanan negaranya bisa ditembus dengan kasus peledakan WTC (World Trade Center), yang menewaskan ribuan warga Amerika Serikat.

Presiden Bush dalam pidatonya pada tanggal 11 September 2001 mengemukakan 4 alasan Amerika Serikat harus menyerang Afghanistan, yaitu:[3]

1C1. Chapter VI of United Nation Charter (Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368)

2.2. Intervention by Invitation

3.3. Humanitarian Intervention

4.4. Self Defence

Pada Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368, disebutkan bahwa PBB memperbolehkan suatu negara untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu terhadap sebuah negeri atau golongan yang melakukan maupun melindungi terorisme.[4]

Alasan kedua, ketiga, dan keempat menunjukkan bahwa Amerika melakukan penyerangan di Afghanistan karena diserang terlebih dahulu. Ditambah hal ini Amerika juga memposisikan diri sebagai negara yang diserang dan menganggap perlu melakukan pembelaan diri dengan melakukan penyerang balik ke Afghanistan yang merupakan markas milisi Taliban. Ditambah tuntutan rakyat saat itu yang meminta pihak pemerintah bertindak menghapus terorisme di dunia yang telah merenggut ribuan nyawa di Amerika khususnya.

Namun, tanpa disangka-sangka perang ini berlangsung berkepanjangan. Hingga tahun 2009 ini bahkan belum juga usai. Ditambah lagi permintaan penambahan pasukan oleh Panglima perang AS di Afghanistan Jenderal Stanley Mac Chrystal sebanyak 30.000 personil. Bahkan setelah pengiriman 30.000 pasukan, Panglima Amerika di Afghanistan Jenderal Stanley Mac Chrystal meminta penambahan 40.000 pasukan ke Afghanistan.[5]

Apakah yang menyebabkan perang ini begitu panjang? Salah satunya karena perlawanan rakyat Afghanistan lewat Taliban merupakan aksi perlindungan diri mereka atas serangan besar-besaran Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya ke tanah air mereka. Mereka berpendapat bahwa serangan itu tidak diprakarsai oleh mereka, melainkan merupakan rekayasa Amerika supaya mereka mendapat pembenaran atas serangan mereka di Afghanistan. Simpati masyarakat sipil Afghanistan terhadap militan Taliban juga semakin bertambah, hal ini dibuktikan dari hanya 50.000 rakyat saja yang mau mendukung Amerika Serikat mengusir Taliban dari Afghanistan. Pasukan Amerika serikat kewalahan menghadapi pejuang Afghanistan yang selalu memberikan perlawanan dan kini lebih 70% wilayah Afghanistan di bawah kontrol pejuang Afghanistan.[6]

Kepentingan AS dengan Perang Afghanistan

Amerika Serikat sejak peristiwa penyerangan WTC pada 11 September 2001 mulai mencanangkan program pemberantasan terorisme. Sedikitnya 900 pasukan Amerika telah tewas dan 600 pasukan koalisi tewas. Ini tentu belum termasuk dengan korban yang luka-luka, cacat permanen atau gangguan mental.[7]

Adakah kepentingan selain memberantas terorisme yang membuat Amerika bersikukuh untuk melanjutkan penambahan tentara guna menyelesaikan perang ini? Berikut ini beberapa pendapat mengenai kepentingan Amerika Serikat dan negara lain terhadap perang Afghanistan.

Terkait dengan isu terorisme global, khususnya yang dianggap merupakan aksi dari para milisi Taliban setidaknya Amerika Serikat memiliki dua kepentingan, yaitu:[8]

1. Vital

• Pencegahan penggunaan senjata pemusnah massal oleh terorisme dan penggunaannya untuk menyerang warga negara AS, properti AS, dan pasukan AS

2. Sangat Penting

• Kerawanan AS terhadap segala bentuk terorisme domestik maupun internasional diatasi dengan perilaku yang konsisten dengan cara liberal, prinsip-prinsip demokratis yand diadopsi dari konstitusi Amerika

• Negara-negara yang mendukung gerakan terorisme internasional atau menjadi perlindungan bagi teroris akan mendapatkan sanksi dan dihimbau untuk menghentikan aksi tersebut.

Selain itu, terdapat kepentingan lainnya yang dapat saya paparkan diantaranya adalah :

Pertama, Politik Hegemoni. Konsepsi Hegemoni, menurut K. J. Holsti dalam bukunya The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International Theory (1985) pada awalnya merujuk pada dominasi (kepemimpinan) suatu negara-kota Yunani terhadap negara-kota lain dan berkembang menjadi dominasi negara terhadap negara lain.[9]

Penyerangan terhadap negara-negara Timur Tengah adalah salah satu cara pembuktian Amerika Serikat untuk menunjukkan kedigdayaannya. Ditambah lagi di Timur Tengah terdapat “saudara tirinya”, yaitu Israel. Amerika membutuhkan legitimasi yang kuat di Timur Tengah supaya Israel bisa diakui oleh masyarakat interanasional terutama di kawasan Timur Tengah. Hal ini dilakukan dengan melakukan penyerbuan ke negara-negara Timur Tengah seperti Afghanistan.

Kedua, kepentingan keamanan negara. Demi keamanan dalam negeri dan aset-aset ekonominya, Amerika Serikat yang menampakkan diri sebagai polisi dunia telah menyerang negara yang belum tentu bersalah.[10]

Pada poin kedua ini, saya lebih melihat bahwa Amerika memiliki ketakutan tersendiri pasca penyerangan WTC pada 11 September 2001. Kekhawatiran ini memicu mereka untuk lebih dulu menyerang negara-negara yang terindikasi mampu melakukan teror. Meskipun belum terbukti secara otentik tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Contohnya, Taliban yang dituduh sebagai dalang dari tragedi 11/9 serta senjata pembunuhan massal di Irak.

Amerika juga berkepentingan menjagas stabilitas Afghanistan. Mereka akan secepatnya melatih pasukan Afganistan agar dapat mengambil alih perang dan bertanggung jawab atas keamanan negaranya.[11]

Ketiga, Membendung Arus Islam. Kebangkitan Islam yang baik di dunia Barat maupun Timur membawa kecemasan tersendiri bagi Amerika. “Keseleo lidah” dari mantan Presiden Bush yang menyatakan “Perang Salib” bagi teroris dimaknai oleh kalangan tertentu sebagai kepentingan Amerika untuk melunakkan gerakan-gerakan Islam yang mulai menjadi arus utama di masyarakat dan pemerintahan. Pembendungan Arus Islam lewat isu “war against terrorist” ini juga berlaku pada gerakan Al-Qaeda yang disinyalir memiliki perwakilan di beberapa negara di dunia.[12]

Amerika melihat bahwa perkembangan Islam ini bisa memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan negara mereka. Selain itu, juga mampu menekan kepentingan mereka di Timur Tengah terkait keberadaan Israel.

Kepentingan Pakistan dan India Terkait Perang Afghanistan

Selain Amerika, negara seperti India dan Pakistan juga mempunyai kepentingan terkait dengan perang Afghanistan. Pakistan contohnya, karena berada di perbatasan Afghanistan serta dianggap sebagai negara tempat pelarian dan persembunyian tentara Taliban. Mengingat pentingnya daerah perbatasan ini sehingga Pakistan juga ikut dalam membantu Amerika Serikat untuk menumpas terorisme. Keberadaan penyusup yang berlindung di Pakistan menjadi isu yang dibahas oleh pemerintahan Pakistan dan Afghanistan. Keikutsertaan Pakistan bertujuan untuk mempersempit ruang gerak tentara Taliban dan untuk meredakan ketegangan di wilayah perbatasan .

India yang merupakan salah satu negara yang terletak di sekitar daerah Afghanistan juga memiliki kepentingan dalam menjaga keamanan kawasan. Kekacauan di sekitar negara mereka juga turut berdampak pada ketidakamanan di negara mereka. Kekhawatiran penyusup Taliban dan adanya serangan bom di Mumbai juga merupakan salah satu alasan keterkaitan India dalam mendukung perang Afghanistan.

Perang Afghanistan merupakan Just War?

Gagasan tentang just war muncul pertama di Roma jus fetiale - kombinasi dari ritual agama dan peraturan hukum - namun teori konsisten pertama dikembangkan oleh gereja, dalam usaha untuk melayani Kaisar tanpa benar-benar meninggalkan janji kepada Tuhan. Bagi Augustinus dan Aquinas, just war mengembalikan pelanggaran perintah agama dan moral. Akibatnya, teologi Abad Pertengahan berkonsentrasi pada menentukan penyebab keadilan (jus ad bellum) dan mengabaikan peraturan dari perilaku (jus in bello).[13]

Berikut ini merupakan prinsip-prinsip just war,yaitu:[14]

1. 1. Penyebab harus adil

2. 2. Sebuah kewenangan yang sah harus memutuskan untuk memperbolehkan penggunaan kekerasan

3. 3. Maksud perang harus sesuai dengan hukum internasional

4. 4. Penggunaan kekuatan menjadi solusi terakhir

5. 5. Probabilitas keberhasilan harus tinggi

6. 6. Rasio keuntungan biaya harus positif

7. 7. Cara yang digunakan harus sesuai dengan hukum humaniter internasional

Saya akan menganalisa kasus Perang Afghanistan berdasarkan ketujuh poin tersebut. Pada poin pertama, menurut versi Amerika Serikat perang kali ini merupakan bentuk perlawanan dari serangan 11 September. Mereka berpendapat bahwa perang kali ini adalah bentuk dari self defence. Mereka juga menganggap bahwa jaringan terorisme Al-Qaeda yang bertanggung jawab atas serangan itu, sehingga mereka melakukan serangan balik dengan alasan war on terorism. Namun, perlu digaris bawahi bahwa beberapa tahun kemudian muncul fakta-fakta yang membantah keterlibatan Al-Qaeda dalam aksi 11/9. Bahkan fakta mengarah pada keterlibatan Amerika mensabotase tragedi 11/9. Sehingga mereka memiliki alasan untuk menyerang Al-Qaeda atau Afghanistan.

Pada poin kedua, Presiden Bush menggunakan kekuasaan eksekutif untuk mengaktifkan angkatan bersenjata Amerika Serikat tanpa mencari kongres secara resmi deklarasi perang terhadap Afghanistan. NATO dan PBB diminta untuk mendukung keputusan ini dan mereka lakukan.[15]

Untuk poin kedua ini, terlihat Amerika terkesan memaksakan untuk membenarkan pengiriman pasukannya. Karena kita tahu bahwa PBB dan NATO merupakan organisasi yang “dikuasai” oleh Amerika. Sehingga sangat mudah bagi Amerika untuk menekan kedua organisasi ini supaya melegitimasi aksi serangan mereka.

Amerika beralasan untuk melakukan just war termasuk penghapusan ancaman dan pemulihan atau pembentukan rezim yang sah mungkin untuk menegakkan hak asasi manusia dan hukum internasional. Hal ini memberikan mereka legitimasi untuk menyerang Al-Qaeda. Karena meraka berpendapat bahwa Al-Qaeda telah membahayakan rezim pemerintahan Afghanistan dan mengganggu keamanan dunia, serta menekan hak-hak perempuan. Sehingga Amerika mendapatkan pembenaran akan just war.

Namun, Amerika melupakan bahwa akibat serangan mereka banyak korban jiwa atau cacat maupun gangguan kejiwaan berjatuhan baik dari militer maupun sipil. Bukankah hal ini melanggar alasan penegakan hak asasi?

Mengenai poin keempat, Amerika melakukan pembenaran dengan alasan bahwa perundingan dengan Al-Qaeda tidak akan berhasil sehingga perang menjadi solusi satu-satunya. Namun, menurut salah satu sumber yang saya baca. Al-Qaeda dalam hal ini milisi Taliban bersedia menerima perundingan damai jika Amerika menarik mundur pasukannya. Dalam hal ini , dapat kita lihat bahwa Amerika memaksakan untuk melakukan perang padahal masih ada peluang untuk melakukan perundingan damai.

Pada poin probabilitas dan rasio keunntungan biaya, kita dapat sama saksikan bahwa Amerika mematok target bahwa mereka akan segera menumpas milisi Taliban dalam kurun beberapa minggu. Namun, kenyataanya dalam waktu 8 tahun perang tidak kunjung usai. Bahkan mereka berniat menambah pasukan. Selain itu, pengeluaran dari perang ini juga semakin membengkak belum lagi ditambah biaya kerusakan di Afghanistan dan biaya pengobatan masyarakat sipil yang menjadi korban.

Poin terakhir menjelaskan mengenai cara-cara yang sesuai dengan hukum humaniter internasional. Meskipun dalam proposalnya Amerika menyebutkan tentang perlindungan terhadap rakyat sipil, namun pada kenyataannya kita tidak dapat menyangkal kalau tetap saja jatuh korban dan hal ini diperparah dengan kuatnya perlawanan dari milisi Taliban. Sehingga semakin banyak korban yang berjatuhan di kedua belah pihak. Ditambah dengan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Taliban juga jadi faktor banyaknya korban dari rakyat sipil.

Kesimpulan

Pada kesimpulannya, saya melihat bahwa meskipun terlihat bahwa apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah suatu aksi yang heroik dengan kilah just war yaitu untuk membasmi terorisme. Namun, pada beberapa hal terlihat Amerika Serikat memaksakan untuk melakukan penyerangan. Mulai dari aksi balas dendam atas serangan terhadap WTC sampai pada tindakan mereka yang lebih memilih jalur perang ketimbang lewat perundingan damai.

Tindakan perlawanan yang dilakukan Taliban dengan bantuan rakyat adalah bentuk perlawanan terhadap aksi kesewenang-wenangan Amerika selama ini terhadap rakyat muslim pada umumnya dan khususnya terhadap saudara-saudara mereka di Afghanistan. Rakyat tidak akan mengadakan gerakan perlawanan jika mereka tidak merasa ditindas. Bahkan tuduhan sebagai aktor tragedi 11/9 yang belum terbukti keotentikannya menjadi tameng Amerika untuk memporak-porandakan Afghanistan. Hal ini juga membuat Taliban semakin menguatkan perlawanan mereka ditambah dengan dukungan dari rakyat Afghanistan.

Perang tidak akan berakhir jika masing-masing pihak masih mengedepankan ego tanpa memperhatikan nasib rakyat sipil disekitar daerah perang. Yang jadi korban tidak hanya tentara dan milisi, tapi rakyat sipil yang tidak berdosa juga menjadi korban. Apakah ini bentuk perang yang bertujuan damai? Apakah harus jatuh korban nyawa sia-sia untuk menciptakan kedamaian? Hal ini perlu jadi renungan dan menjadi perhatian kita semua maupun pemerintah negara-negara di dunia. Karena pada dasarnya semua manusia menginginkan perdamaian dan ingin kehidupan yang aman.



[2] Dikutip dari handout perkuliahan 1 Transnational Crime oleh Dr. H. Obsatar Sinaga, S.Ip, M.Si

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[15] Ibid.



17 December 2009

Banyak Jalan Menuju Harapan

Indonesia pernah dipimpin dan digerakkan oleh dua tokoh besar, yaitu Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Dua sosok panutan yang pernah dimiliki oleh Negara Indonesia. Ir. Soekarno yang terkenal sebagai seorang agigator yang ulung serta dianggap memiliki karisma yang amat luar biasa. Bahkan ada yang menyebutkan jika beliau berpidato, maka para “audiences” akan terdiam. Mohammad Hatta juga tidak kalah hebatnya, pola pikirnya yang tenang dan bijak menunjukkan kecerdasan beliau. Keduanya bahkan dijuluki “Dwitunggal” yang merupakan penganalogian dari kekompakan keduanya. Begitulah sejarah mencatat nama besar kedua founding father Indonesia ini.

Meskipun keduanya pernah dijuluki sebagai “Dwitunggal”, namun fakta juga menunjukkan bahwa keduanya kompak dari A-Z, dari permulaan saling kenal sampai akhir hayatnya. Beberapa pertentangan sempat mewarnai sejarah kehidupan dua tokoh besar ini baik selama masa pergerakan, maupun ketika Indonesia sudah merdeka. Pada tulisan ini yang akan saya membahas terutama mengenai dasar pemikiran mereka dan cara yang mereka gunakan pada masa pergerakan, khususnya masa kolonial Belanda, untuk menuju harapan yang satu, yaitu INDONESIA MERDEKA.

Perbedaan dan Pertentangan

Bung Karno, nama sapaan bagi Ir. Soekarno, merupakan seorang anti-Barat yang sangat gigih. Pemikiran beliau yang non-kooperatif membuatnya menjadi salah satu orang yang paling dicari oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Beliau bahkan sampai dipenjara di penjara Sukamiskin, Bandung karena beliau dituduh mengadakan pertemuan berbahaya dan berniat makar terhadap pemerintahan Kolonial Belanda. Kemunculan pola pikir beliau yang nasionalistis dan anti-kolonial ini dikarenakan beliau merupakan produk asli pendidikan lokal Hindia Belanda saat itu. Dari segi dasar pemikiran pada masa pergerakan, beliau lebih memilih jalur non-kooperatif dengan sama sekali melakukan perlawanan terutama lewat pidato dan orasinya serta lewat organisasi, seperti PNI (Partai Nasional Indonesia). Beliau juga menekankan pada prinsip kesatuan rakyat terutama dalam melakukan pergerakan. Serta pandangan beliau yang mendukung adanya “demokrasi sentralistis “ dibawah kepemimpinan yang mampu menyatukan pergerakan membawa rakyat menuju harapan yang lebih baik, yaitu MERDEKA.

Berkebalikan dengan Bung Hatta, sapaan bagi Mohammad Hatta, yang terpengaruh oleh pola pemikiran Barat karena beliau melanjutkan studi di Belanda. Beliau lebih berpikir secara realistis dan rasional. Dalam arti perjuangan dilakukan dengan cara yang non-kooperatif tapi lebih melihat realitas politik yang ada. Hal inilah yang menjadi cikal bakal pertentangan sengit antara Bung Hatta dan Bung Karno. Selain itu, Bung Hatta lebih menekankan pada prinsip kedaulatan rakyat dan lebih condong ke arah “demokrasi parlementer”. Hal ini dikarenakan pengalaman beliau selama hidup di Belanda yang melihat bahwa pemerintahan Belanda juga tidak bisa seenaknya dalam menjalankan pemerintahan, segala kebijakan dari pemerintahan Belanda bisa saja ditolak oleh parlemen.

Bertolak belakang memang pola pemikiran kedua Tokoh Besar Indonesia ini, dan memang sejarah juga mencatat bahwa terjadi pertentangan yang sengit selama masa pergerakan baik itu di media massa maupun dalam pidato-pidato mereka. Saling sindir dan kritik mengenai pola pikir dalam media massa merupakan salah satu bukti pertentangan antar kedua “founding father” ini.

Puncak dari pertentangan di masa pergerakan adalah ketika Bung Hatta ditunjuk oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk duduk di Twedee Kamer (Dewan Perwakilan Belanda di Hindia Belanda). Hal ini memicu pertentangan panjang antara kedua tokoh ini, karena Bung Karno menilai dengan masuk ke dalam Dewan maka Bung Hatta dinilai tidak lagi menjalankan non-kooperatif dan mau tunduk di bawah pemerintahan Kolonial Belanda. Bung Karno juga menyebutkan bahwa masuk ke Dewan tidaklah banyak membuat perubahan, sedangkan yang dibutuhkan dalam memerdekakan Indonesia adalah pergerakan rakyat.

Namun, hal ini dijawab oleh Bung Hatta dalam beberapa artikelnya yang menyebutkan bahwa masuk ke Twedee Kamer merupakan salah satu usaha untuk menekan pemerintahan Belanda supaya memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda (Indonesia). Hal ini tidak menyalahi prinsip non-kooperatif karena pada dasarnya ini hanyalah salah satu bentuk non-kooperatif dengan duduk sebagai pengkritik dan penentang kebijakan pemerintah Belanda di Hindia Belanda.

Perbedaan Bukanlah Hambatan Mencapai Harapan

Satu hal yang perlu dicatat bahwa meskipun mereka memiliki perbedaan yang amat bertolak belakang serta pernah terjadi pertentangan besar, mereka tetap memiliki satu harapan yang sama terhadap bangsa dan negara ini. Yaitu, mencapai Indonesia Merdeka. Satu harapan yang tidak pernag lepas dari benak dan sanubari mereka. Meskipun berbeda cara pandang dan pergerakan, tapi tujuan untuk mencapai Indonesia Merdeka tetap sama.

Perlu digarisbawahi bahwa perbedaan tidak selamanya menyajikan suatu kebuntuan dan pertikaian, tapi bisa membawa kepada kekayaan yang mampu dirangkum dalam suatu bentuk persatuan negara. Terbukti bahwa isi dari Undang-undang Dasar 1945 merupakan perwujudan dari kekayaan pola pemikiran bangsa Indonesia saat itu. Kalau masing-masing orang yang memiliki pemikiran berbeda itu tidak mempunyai harapan yang sama, maka saat ini kita mungkin tidak berada dalam naungan Indonesia yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945.

Sebuah pelajaran besar bagi kita generasi penerus dan para elit yang duduk di pemerintahan. Meskipun saling berbeda pemikiran, namun semangat mereka dalam mencapai kemerdekaan amatlah besar. Harapan yang satu, walaupun berbeda jalan yang dilalui tidaklah menyurutkan nyali supaya bisa meraihnya. Berjiwa besar menerima perbedaan merupakan salah satu poin besar yang mulai hilang di kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan elit. Bung Karno dan Bung Hatta telah mencontohkan bagaimana berdemokrasi yang baik, bagaimana saling mengkritik dan mengajukan pendapat pribadi, serta bagaimana menerima perbedaan dari lawan politik kita, tanpa melupakan harapan yang sama “Indonesia Merdeka”.

Salah satu kata-kata penyemangat hari ini guna menutup tulisan ini adalah "Kalau kita ndak punya harapan dan mimpi, orang kayak kita ini bakal mati boi!" (diucapkan dalam salah satu dialog Arai "Sang Pemimpi").



16 December 2009

Siapkah Masyarakat Asia Tenggara Menghadapi ASEAN Community 2015?

ASEAN Community (Komunitas ASEAN) adalah salah satu target yang dicanangkan terwujud pada tahun 2016 oleh ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional di kawasan Asia Tenggara. Komunitas ini memiliki semangat “menyatukan” seluruh warga masyarakat Asia Tenggara dalam suatu wadah komunitas besar. Di mana interaksi antar masyarakat tidak lagi terbatas oleh state bonderies. Semangat kebersamaan ini juga dilandasi oleh prinsip people to people interaction dan bukan lagi state to state interaction.

Terdapat tiga pilar yang menjadi dasar dari pembentukan komunitas ASEAN ini, yaitu komunitas politik keamanan ASEAN, komunitas ekonomi ASEAN, dan komunitas sosial budaya ASEAN. (sumber: http://www.waspada.co.id/)

Komunitas ASEAN 2015 lebih saya lihat sebagai suatu program integrasi negara-negara di Asia Tenggara yang dikhususkan pada integrasi masyarakatnya. Masyarakat Asia Tenggara diharapkan mampu lebih berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama masyarakat Asia Tenggara.

Bentuk interaksinya dapat berupa perdagangan, transfer teknologi, kerjasama di segala bidang, kunjungan ke negara-negara di Asia Tenggara, dan sebagainya. Interaksi yang semakin intens dan mudah merupakan salah satu indikator terciptanya integrasi ini.


Masalah yang Timbul Menuju Integrasi

Sebagai sebuah proyek besar dalam 6 tahun ke depan, tentunya hal ini memerlukan kesiapan yang matang supaya Komunitas ASEAN ini tidak hanya menjadi wacana. Namun, satu hal yang saya perhatikan mengenai kesiapan ini terdapat masalah utama, yaitu kurangnya sosialisasi.

Pertama, adalah masalah aturan main. Jika kita melihat tujuan yang ingin adalah integrasi masyarakat Asia Tenggara, maka yang menjadi landasan tentulah adanya suatu code of conduct yang mengatur mengenai bagaimana proses dan pelaksanaan integrasi itu. Pada pembahasan di atas juga sudah saya sebutkan mengenai ASEAN Charter. ASEAN Charter inilah yang merupakan aturan dasar dari pola interaksi dan aturan main dalam komunitas ASEAN itu sendiri. Namun, jika tujuannya adalah people centered maka sudah sewajarnya bahwa setidaknya masyarakat Asia Tenggara mengetahui dan memahami garis besar dari aturan tersebut. Pada kenyataanya hal ini masih jauh dari harapan.

Selain masalah aturan main, saya juga melihat bahwa sense of belonging masyarakat Asia Tenggara terhadap ASEAN itu sendiri masih kurang. Tidak usah jauh-jauh sampai melakukan penelitian besar-besaran di seluruh Asia Tenggara. Di masyarakat Indonesia saja, mungkin hanya segelintir orang yang tahu kegiatan-kegiatan yang dilakukan ASEAN. Atau, yang paling sederhana mungkin saja mereka tidak aware dengan tanggal berdirinya ASEAN. Apalagi kalau ditanya mengenai ASEAN Anthem. Jujur saya pribadi juga merasakan hal itu. Saya tidak memungkiri kalau sense of belonging saya terhadap ASEAN itu sendiri masih kurang. Bukan maksud mengeneralisasi pendapat pribadi saya, namun hal ini diakui oleh pembicara dari Deplu saat seminar Symphonising ASEAN di Bandung beberapa bulan yang lalu. Masalah sense of Belonging masih menjadi PR besar bagi pemerintah negara-negara di ASEAN. Bagaimana mengadakan integrasi dengan people centered kalau masyarakatnya saja tidak memiliki rasa memiliki terhadap ASEAN itu sendiri?

Usaha apa saja yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut

Melihat permasalahan yang saya utarakan di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa masalah yang krusial dalam menuju Komunitas ASEAN 2015 adalah sosialisasi. Baik itu sosialisi mengenai ASEAN itu sendiri meliputi program kerja dan kegiatannya, maupun hal-hal yang berkaitan langsung dengan masyarakat Asia Tenggara khususnya.

Untuk mencapai suatu hal yang besar memang tidaklah gampang, namun usaha secara terus menerus merupakan salah satu cara efektif. Maka, menurut saya ada beberapa usaha yang perlu dan harus dilakukan oleh pemerintah negara-negara ASEAN supaya komunitas berbasis pada masyarakat ini bisa terwujud. Usaha tersebut diantaranya dengan penggunaan media massa guna mensosialisasikan informasi mengenai ASEAN dan Komunitas ASEAN itu sendiri, mengadakan seminar atau forum bersama masyarakat mengenai Komunitas ASEAN meliputi keuntungan dan manfaat yang akan didapat oleh masyarakat, serta lebih merakyatkan ASEAN dalam artian meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa mereka merupakan elemen penting dari ASEAN dan komunitas ASEAN ke depannya.